Mimpi Quotes
Quotes tagged as "mimpi"
Showing 1-30 of 94
“Kalau mimpi kita ketinggian, kadang kita perlu dibangunkan oleh orang lain
- Marmut Merah Jambu -”
―
- Marmut Merah Jambu -”
―
“PERCAKAPAN DUA RANTING
kalau pernah kamu bertemu dulu, apa yang
kau inginkan nanti? sepi. kalau nanti kau
dapatkan cinta, bagaimana kau tempatkan
waktu? sendiri. bila hari tak lagi berani
munculkan diri, dan kau tinggal untuk
menanti? cari. andai bumi sembunyi saat
kau berlari? mimpi. lalu malam menyer-
gapmu dalam pandang tiada tepi? hati.
baik...aku tak lagi memberimu mungkin?
kecuali. baik..baik, aku hanya akan menya-
pamu tanpa kecuali? mungkin. dan jika
tetap seperti itu, embun takkan jatuh dari
kalbumu? sampai. akankah kau patahkan
tubuhmu hingga musim tiada berganti?
mari. lalu kau tumbuhkan bunga tanpa
kelopak tanpa daun berhelai-helai? kemari.
juga kau benamkan yang lain dalam jurang
di matamu? aku. katakan bahwa kau mene-
rimamu seperti aku memberimu?...
kau? ya. kau?...aku.
Besancon, oktober sebelas 1997.”
― Lalu Batu: Antologi Puisi
kalau pernah kamu bertemu dulu, apa yang
kau inginkan nanti? sepi. kalau nanti kau
dapatkan cinta, bagaimana kau tempatkan
waktu? sendiri. bila hari tak lagi berani
munculkan diri, dan kau tinggal untuk
menanti? cari. andai bumi sembunyi saat
kau berlari? mimpi. lalu malam menyer-
gapmu dalam pandang tiada tepi? hati.
baik...aku tak lagi memberimu mungkin?
kecuali. baik..baik, aku hanya akan menya-
pamu tanpa kecuali? mungkin. dan jika
tetap seperti itu, embun takkan jatuh dari
kalbumu? sampai. akankah kau patahkan
tubuhmu hingga musim tiada berganti?
mari. lalu kau tumbuhkan bunga tanpa
kelopak tanpa daun berhelai-helai? kemari.
juga kau benamkan yang lain dalam jurang
di matamu? aku. katakan bahwa kau mene-
rimamu seperti aku memberimu?...
kau? ya. kau?...aku.
Besancon, oktober sebelas 1997.”
― Lalu Batu: Antologi Puisi
“Impian itu seperti sayap. Dia membawamu pergi ke berbagai tempat. Kurasa, mamamu sadar akan hal itu. Dia tahu, kalau dia mencegah mimpimu, itu sama aja dengan memotong sayap burung. Burung tersebut memang nggak akan lari, tapi burung tanpa sayap sudah bukan burung lagi. Dan manusia tanpa mimpi, sudah bukan manusia lagi.”
― Let Go
― Let Go
“Anak-anak muda jaman sekarang itu lucu dan agak susah dimengerti. Mereka cukup bersemangat membuat berbagai macam proposal untuk kegiatan organisasi yang mereka ikuti. Tapi proposal hidup yang berisi visi dan strateginya meraih mimpi, justru lupa mereka buat sendiri.”
―
―
“Namun satu hal pasti yang dapat kutarik kesimpulan dari semua ini, paling tidak untuk diriku sendiri, adalah: beranilah bermimpi! Beranilah memiliki keinginan! Walau pikiran sadar kita menafikan kemungkinan-kemungkinan itu, tetap beranilah menetapkan tujuan. Karena nyatanya, ketika kita berani memutuskan untuk menggapai mimpi kita, alam bawah sadar kita justru bekerja membantu kemungkinan-kemungkinan mimpi tersebut menjadi kenyataan. Dengan dan lewat cara yang tak pernah kita duga sebelumnya.”
―
―
“Hidup adalah bagian terbaik dari mati.
Dan kau adalah bagian terbaik dari mimpi
(Selendang Pelangi, h. 38)”
―
Dan kau adalah bagian terbaik dari mimpi
(Selendang Pelangi, h. 38)”
―
“Nilai akhir dari proses pendidikan, sejatinya terrekapitulasi dari keberhasilannya menciptakan perubahan pada dirinya dan lingkungan. Itulah fungsi daripada pendidikan yang sesungguhnya.”
―
―
“Untuk setiap belati yang aku torehkan tidak ada yang bisa aku gugat selain diriku sendiri. Hanya dengan menjadi abu sebatang arang bisa mengetahui mengapa ia hadir dan diciptakan.
Pikiran mencideraiku, seperti luka yang membusuk dan tak kunjung sembuh. Jari jarinya meraba dalam kegelapan dan ia tidak menemukan apa apa selain kehampaan.
Aku tak pernah mengerti, mengapa cinta bisa jadi serumit itu. Seperti benang kusut yang tak kutemukan ujung pangkalnya. Ia tak mampu melukiskan diriku sebagaimana diriku yang sesungguhnya. Ia hanyalah diriku yang lain di dalam pikiran orang orang lain pula. Kita tak akan pernah bisa membuat penafsiran atas perasaan perasaan orang lain. Kita hanya bisa peduli atau tidak peduli. Orang bisa jadi makhluk yang sangat mengerikan.
Aku tak ingin menjadi seperti itu. Aku hanya ingin menjadikan diriku sendiri berbeda. Kita tidak ingin berjalan menuju ke satu titik hanya untuk menyatakan bahwa kita pantas untuk diterima, atau atas dasar alasan alasan lain yang dibuat buat.
Apakah salah untuk menjadi berbeda, meskipun itu hanya di dalam pikiran kita sendiri? Keseragaman tidak selalu membuat segala sesuatu menjadi lebih baik. Sebagaimana air mata selalu punya muara kesedihannya sendiri sendiri. Ini seperti hidup di dalam mimpi yang hanya punya dua warna. Aku tidak ingin menjadi orang orang semacam itu. Aku tak ingin hidup dari mimpi mimpi orang lain.”
―
Pikiran mencideraiku, seperti luka yang membusuk dan tak kunjung sembuh. Jari jarinya meraba dalam kegelapan dan ia tidak menemukan apa apa selain kehampaan.
Aku tak pernah mengerti, mengapa cinta bisa jadi serumit itu. Seperti benang kusut yang tak kutemukan ujung pangkalnya. Ia tak mampu melukiskan diriku sebagaimana diriku yang sesungguhnya. Ia hanyalah diriku yang lain di dalam pikiran orang orang lain pula. Kita tak akan pernah bisa membuat penafsiran atas perasaan perasaan orang lain. Kita hanya bisa peduli atau tidak peduli. Orang bisa jadi makhluk yang sangat mengerikan.
Aku tak ingin menjadi seperti itu. Aku hanya ingin menjadikan diriku sendiri berbeda. Kita tidak ingin berjalan menuju ke satu titik hanya untuk menyatakan bahwa kita pantas untuk diterima, atau atas dasar alasan alasan lain yang dibuat buat.
Apakah salah untuk menjadi berbeda, meskipun itu hanya di dalam pikiran kita sendiri? Keseragaman tidak selalu membuat segala sesuatu menjadi lebih baik. Sebagaimana air mata selalu punya muara kesedihannya sendiri sendiri. Ini seperti hidup di dalam mimpi yang hanya punya dua warna. Aku tidak ingin menjadi orang orang semacam itu. Aku tak ingin hidup dari mimpi mimpi orang lain.”
―
“Kesedihan telah memaksaku berdiri di ambang kehancuran. Seperti jurang menganga yang setiap hari menelan kemarahanku. Namun aku tidak sedang mengetuk pintu rumah orang hanya untuk meminta belas kasihan. Seperti ibu, aku telah jadi sebatang pohon yang keras kepala. Aku merasa memiliki batang yang kuat dan akar yang kokoh.
Walau terkadang, aku masih tergiur untuk menjadi sesuatu yang lain; seperti menara gereja, atau mungkin gapura di pinggir jalan. Ini bukan analogi dari apa yang orang lihat. Karena, tak semua orang bisa memahami kesendirian dan kesedihan orang lain. Walau mungkin orang bisa saja merasakan kehadiran Tuhan saat mereka melihat menara gereja.
Dalam sebuah gapura aku melihat gerbang menuju pintu rumah ibu. Ia adalah kerinduan yang tak henti hentinya mengalir. Seperti tetesan hujan yang menitik dari atap yang bocor. Tidak ada satu hal pun yang berubah, kecuali barangkali diriku sendiri.
Demikianlah, aku masih berkutat dengan keresahanku sendiri. Memimpikan laki laki perkasa itu terbang ke bulan, menunggangi seekor kuda yang tak lain adalah egonya sendiri. Aku tahu, kesedihan hanya akan memaksaku menjadi orang yang akan aku sesali. Hidup tidak selalu menawarkan kemewahan atau kebahagiaan. Aku hanya ditakdirkan untuk memilih. Dan semoga Tuhan hadir dalam diriku, walau cuma serupa sebatang lilin, dengan kerdip cahaya yang lemah.”
―
Walau terkadang, aku masih tergiur untuk menjadi sesuatu yang lain; seperti menara gereja, atau mungkin gapura di pinggir jalan. Ini bukan analogi dari apa yang orang lihat. Karena, tak semua orang bisa memahami kesendirian dan kesedihan orang lain. Walau mungkin orang bisa saja merasakan kehadiran Tuhan saat mereka melihat menara gereja.
Dalam sebuah gapura aku melihat gerbang menuju pintu rumah ibu. Ia adalah kerinduan yang tak henti hentinya mengalir. Seperti tetesan hujan yang menitik dari atap yang bocor. Tidak ada satu hal pun yang berubah, kecuali barangkali diriku sendiri.
Demikianlah, aku masih berkutat dengan keresahanku sendiri. Memimpikan laki laki perkasa itu terbang ke bulan, menunggangi seekor kuda yang tak lain adalah egonya sendiri. Aku tahu, kesedihan hanya akan memaksaku menjadi orang yang akan aku sesali. Hidup tidak selalu menawarkan kemewahan atau kebahagiaan. Aku hanya ditakdirkan untuk memilih. Dan semoga Tuhan hadir dalam diriku, walau cuma serupa sebatang lilin, dengan kerdip cahaya yang lemah.”
―
“Kamu salah kalau berpikir, bahwa cinta itu tentang dirimu sendiri, pukau dari pesona yang kamu tangkap sekilas. Apa yang membuatmu terperangkap dalam ilusi dan angan-angan. Apa yang membuatmu terlelap di dalam mimpi. Cinta itu tak selalu cantik dan menyenangkan. Ia kadang kasar, keras hati dan menyakitkan. Tapi justru di situlah letak esensinya. Ini bukan semata mata tentang dirimu. Sebab cinta tak pernah sendiri. Ia bisa saja sunyi, namun ia tak pernah sendiri.”
―
―
“jika bahagian terbaik dari hidup adalah mati maka bahagian terbaik dari tidur adalah mimpi.”
―
―
“Sewaktu tertidur, aku bermimpi bahwa aku tuhan. Lalu aku menjadi lupa, apa aku tuhan yang sedang tertidur dan bermimpi menjadi manusia, atau manusia yang sedang tidur dan bermimpi jadi tuhan.”
―
―
“Bertemu dengan orang yang satu visi denganmu adalah sebuah kesempatan yang diberikan Tuhan untuk mempermudah perjalananmu menggapai mimpi”
―
―
“Kalau kita, para warga negara, tidak memberikan dukungan kepada seniman-seniman kita, berarti kita telah mengorbankan imajinasi kita di altas realitas yang kejam, dan pada akhirnya kita jadi tidak percaya pada apapun, dan mimpi-mimpi kita tidak lagi berarti.”
― Life of Pi
― Life of Pi
“Masih bergelut dengan pikiran, berkutat dengan diri sendiri. Beranda masih kotor, rumah masih berantakan. Belum ada lagi mimpi, yang bisa aku bagi denganmu.”
―
―
“# Dulu, Kini dan Waktu yang Telah Hilang
Seperti geletar semu yang kaukirimkan padaku lewat layar ponselmu, haruskah kusambut dengan rasa haru? Sebab dulu, senyummu adalah rembulan yang menumbuhkan cinta di dadaku. Tapi kini, ia tak lagi berseri seperti kelopak melati yang layu di ujung hari.
Aku berharap, mungkin masih akan datang lagi waktu yang akan menyambut kehadiranku seperti dulu. Seperti penyair remaja, yang berusaha keras menciptakan beribu ribu mimpi demi menghidupkan cinta yang telah lama mati. Cinta yang pernah jadi milik kita dan kemudian pergi entah kemana?
## Perjalanan, Harapan dan Mimpi yang Tak Pernah Terkubur
Tetapi masih kuingat perjalanan itu, yang mengantarkanmu kepadaku. Kepada ciuman musim penghujan yang menumbuhkan pokok pohon kol banda di halaman rumah. Masih serupa mimpi yang datang lagi menghampiri. Penuh, seperti lembut bibirmu yang lekat menempel di bibirku, akankah ia abadi? Tapi itu ternyata cuma ingatan sekilas saja.
Sungguh, betapa kita pernah jalan berdua. Dari pintu gerbang sekolah sampai ujung jalan terjauh dari kerinduan kita pada puisi puisi yang ingin kita tulis bersama. Pada lukisan hujan yang akan menghidupkan semua ingatan yang kemudian kita jalin menjadi sebuah novel atau mungkin juga bahtera. Tak sebesar milik nabi Nuh, tapi cukuplah ia mengantarkanmu ke negri jauh. Negri harapan, di mana mimpi itu tak akan pernah terkubur.
### Waktu yang Tiba Tiba Menua dan Mimpi yang Telah Mati
Lalu, siapa yang telah menua di antara kita? Cuma kol banda yang masih tegak kokoh di depan rumah.
Atau barangkali cuma mimpi, yang terlanjur melupakan semua kisah yang telah dirajutnya sendiri. Mimpi yang dulu pernah menyatukan kita dan lalu mati. Terkubur entah di mana?”
―
Seperti geletar semu yang kaukirimkan padaku lewat layar ponselmu, haruskah kusambut dengan rasa haru? Sebab dulu, senyummu adalah rembulan yang menumbuhkan cinta di dadaku. Tapi kini, ia tak lagi berseri seperti kelopak melati yang layu di ujung hari.
Aku berharap, mungkin masih akan datang lagi waktu yang akan menyambut kehadiranku seperti dulu. Seperti penyair remaja, yang berusaha keras menciptakan beribu ribu mimpi demi menghidupkan cinta yang telah lama mati. Cinta yang pernah jadi milik kita dan kemudian pergi entah kemana?
## Perjalanan, Harapan dan Mimpi yang Tak Pernah Terkubur
Tetapi masih kuingat perjalanan itu, yang mengantarkanmu kepadaku. Kepada ciuman musim penghujan yang menumbuhkan pokok pohon kol banda di halaman rumah. Masih serupa mimpi yang datang lagi menghampiri. Penuh, seperti lembut bibirmu yang lekat menempel di bibirku, akankah ia abadi? Tapi itu ternyata cuma ingatan sekilas saja.
Sungguh, betapa kita pernah jalan berdua. Dari pintu gerbang sekolah sampai ujung jalan terjauh dari kerinduan kita pada puisi puisi yang ingin kita tulis bersama. Pada lukisan hujan yang akan menghidupkan semua ingatan yang kemudian kita jalin menjadi sebuah novel atau mungkin juga bahtera. Tak sebesar milik nabi Nuh, tapi cukuplah ia mengantarkanmu ke negri jauh. Negri harapan, di mana mimpi itu tak akan pernah terkubur.
### Waktu yang Tiba Tiba Menua dan Mimpi yang Telah Mati
Lalu, siapa yang telah menua di antara kita? Cuma kol banda yang masih tegak kokoh di depan rumah.
Atau barangkali cuma mimpi, yang terlanjur melupakan semua kisah yang telah dirajutnya sendiri. Mimpi yang dulu pernah menyatukan kita dan lalu mati. Terkubur entah di mana?”
―
“Dalam mimpi, apa-apa dan siapa-siapa, semua, adalah bukan apa adanya, tapi sebuah ujaran, penyampaian, pengingatan, peringatan, rekaman, perjalanan kehidupan, kenyataan.”
― The Original Dream
― The Original Dream
“Entah bagaimana, aku tahu ibu selalu larut dalam kebahagiaan. Seperti embun bening yang bergulir kesana kemari, bermain main dengan gembira di atas permukaan daun aglaonema yang tumbuh menyemak di dalam sanctuary itu.
Tapi selalu ada perasaan perasaan tertentu yang menakjubkan, namun seringkali tidak aku mengerti. Mengapa ibuku tak pernah beranjak pergi meninggalkan tempat persembunyiannya? Seolah ia terperangkap di sana di dalam kebahagiaan yang ia ciptakan sendiri.
Ia telah tumbuh dan tinggal di dalam sanctuary itu bertahun tahun lamanya. Tenggelam dalam dunia yang sepenuhnya asing dan tak dikenal. Dan setiap kali aku berusaha mengingatnya akan tumbuh sulur sulur baru yang kian rapat menutup sanctuary itu dari pikiranku.
Ibu telah jadi kenangan dari masa laluku. Tak ada yang tertinggal dari semua apa yang pernah ia ucapkan. Kata katanya telah menjelma menjadi lembar halaman buku yang kosong, tak sepenggal huruf pun yang dapat aku temukan berada di dalamnya.
Yang aku ingat kemudian adalah, ia menulis ulang seluruh kisahnya di dalam halaman buku buku yang kosong itu. Ibu memenuhi sanctuary-nya dengan aneka rupa buku buku yang semuanya bercerita tentang dirinya. Tentang segala apa yang ia pikir dan rasakan. Tentang bagaimana ia menghabiskan hari harinya dalam kebahagiaan. Dan sanctuary itu pun kemudian berubah menjadi sebuah perpustakaan raksasa, di mana ibu adalah sebuah ensiklopedi yang bisa aku baca setiap hari tanpa pernah merasa bosan.
Tangannya telah berubah menjadi sepasang sayap. Dan yang tinggal dalam ingatanku hanyalah wajahnya yang tersenyum samar saat ia tertidur. Namun, tak ada yang masih dapat aku kenali lagi dari masa lalunya, sebab ia telah menyatu dengan waktu dan sepenuhnya melebur dengan masa depan. Kecuali mungkin sebuah pikiran yang bahkan sang waktu tak mampu menghapus ingatan akan dirinya. Betapa ia sungguh berbahagia, setidaknya bagi dirinya sendiri. Ibu telah bertransformasi menjadi puisi, melebihi semua perasaan yang sanggup aku kisahkan kepada dunia.”
―
Tapi selalu ada perasaan perasaan tertentu yang menakjubkan, namun seringkali tidak aku mengerti. Mengapa ibuku tak pernah beranjak pergi meninggalkan tempat persembunyiannya? Seolah ia terperangkap di sana di dalam kebahagiaan yang ia ciptakan sendiri.
Ia telah tumbuh dan tinggal di dalam sanctuary itu bertahun tahun lamanya. Tenggelam dalam dunia yang sepenuhnya asing dan tak dikenal. Dan setiap kali aku berusaha mengingatnya akan tumbuh sulur sulur baru yang kian rapat menutup sanctuary itu dari pikiranku.
Ibu telah jadi kenangan dari masa laluku. Tak ada yang tertinggal dari semua apa yang pernah ia ucapkan. Kata katanya telah menjelma menjadi lembar halaman buku yang kosong, tak sepenggal huruf pun yang dapat aku temukan berada di dalamnya.
Yang aku ingat kemudian adalah, ia menulis ulang seluruh kisahnya di dalam halaman buku buku yang kosong itu. Ibu memenuhi sanctuary-nya dengan aneka rupa buku buku yang semuanya bercerita tentang dirinya. Tentang segala apa yang ia pikir dan rasakan. Tentang bagaimana ia menghabiskan hari harinya dalam kebahagiaan. Dan sanctuary itu pun kemudian berubah menjadi sebuah perpustakaan raksasa, di mana ibu adalah sebuah ensiklopedi yang bisa aku baca setiap hari tanpa pernah merasa bosan.
Tangannya telah berubah menjadi sepasang sayap. Dan yang tinggal dalam ingatanku hanyalah wajahnya yang tersenyum samar saat ia tertidur. Namun, tak ada yang masih dapat aku kenali lagi dari masa lalunya, sebab ia telah menyatu dengan waktu dan sepenuhnya melebur dengan masa depan. Kecuali mungkin sebuah pikiran yang bahkan sang waktu tak mampu menghapus ingatan akan dirinya. Betapa ia sungguh berbahagia, setidaknya bagi dirinya sendiri. Ibu telah bertransformasi menjadi puisi, melebihi semua perasaan yang sanggup aku kisahkan kepada dunia.”
―
“Song for Glenda
Nak, bolehkah aku duduk di sini menemanimu, di antara meja dan kursi yang dingin dan senyap ini? Aku tak hendak memulai percakapan tentang hujan, melainkan akan aku ceritakan padamu sebuah mimpi;
Adalah seekor tukik yang terpuruk di dalam pasir di sebuah pantai yang tersembunyi. Dia tengah merindukan sebuah rumah nan indah, serupa bayangan laut yang dulu pernah ia tinggali bersama ayah dan ibunya. Tetapi ia lupa di mana. Rumah itu berasa jauh dan tak tergapai dari dalam ingatannya.
Jadi, pergilah ia masuk ke dalam sebuah mimpi. Saat ia menggigil kedinginan karena demam dan ayahnya datang mengunjunginya, membawa selembar selimut dari lumut dan terbang bersama angin puting beliung yang berhembus entah dari mana.
Ia tahu, ia merindukan semua peristiwa yang mengekalkan ingatannya pada arti kebahagiaan. Ia tidak ingin lagi merasa sedih atau sendirian. Tapi ia tak menemukan apapun di masa lalunya, selain sebuah ceruk berupa lobang menganga yang tidak menawarkan apa apa selain kegelapan.
Ia tidak bisa melihat wajahnya sendiri. Bukan seulas senyum atau bahkan mata yang bening menerawang yang tergambar dalam mimpinya. Cuma bayangan muram dari hati yang pedih, rasa sakit dan mungkin juga amarah.
Entah mengapa, ia tak ingin lagi menoleh ke belakang, tapi ia tak sanggup melakukannya. Tiap kali ia memalingkan muka, yang ia lihat adalah sebuah bandul jam yang bergerak dari kanan ke kiri dan penunjuk waktu yang berjalan mundur selangkah demi selangkah.
Ia jadi ingin menyakiti dirinya sendiri, dengan hunjaman pecahan batu karang dan jarum jarum tajam serupa duri duri bulu babi. Ia kehilangan semua kosa kata cinta yang pernah diajarkan oleh ibunya dulu. Semua kalimat doa yang seakan terpaksa ia panjatkan hanya untuk memahami apa arti keberadaan dirinya sendiri. Mengapa semua makhluk harus hidup, hanya untuk menyelami makna penderitaan?
Ia hanya seekor tukik yang tak tahu bagaimana mesti menyikapi alam liar di luar sana. Tak tahu menafsir rasa khawatir di balik ancaman teriakan burung camar, atau barangkali juga resah gersik pasir yang tak mengisyaratkan apa apa selain sunyi. O dunia yang centang perenang ini, mengapa kini jadi begitu menakutkan dan tidak bersahabat.
Namun demikianlah, mimpi itu mesti berakhir. Saat ditemuinya senyap mencumbu tepian laut dan ombak yang bergelora tak henti hentinya bernyanyi. Tiba tiba saja, ia tak lagi merasa sendirian. Tiba tiba saja, ia merasa belaian tangan Tuhan menyentuh tempurung rentan di punggungnya. Dan kemudian ia melihat, matahari angslup perlahan, saat Tuhan membelah lautan hanya dengan sebuah senyum.”
―
Nak, bolehkah aku duduk di sini menemanimu, di antara meja dan kursi yang dingin dan senyap ini? Aku tak hendak memulai percakapan tentang hujan, melainkan akan aku ceritakan padamu sebuah mimpi;
Adalah seekor tukik yang terpuruk di dalam pasir di sebuah pantai yang tersembunyi. Dia tengah merindukan sebuah rumah nan indah, serupa bayangan laut yang dulu pernah ia tinggali bersama ayah dan ibunya. Tetapi ia lupa di mana. Rumah itu berasa jauh dan tak tergapai dari dalam ingatannya.
Jadi, pergilah ia masuk ke dalam sebuah mimpi. Saat ia menggigil kedinginan karena demam dan ayahnya datang mengunjunginya, membawa selembar selimut dari lumut dan terbang bersama angin puting beliung yang berhembus entah dari mana.
Ia tahu, ia merindukan semua peristiwa yang mengekalkan ingatannya pada arti kebahagiaan. Ia tidak ingin lagi merasa sedih atau sendirian. Tapi ia tak menemukan apapun di masa lalunya, selain sebuah ceruk berupa lobang menganga yang tidak menawarkan apa apa selain kegelapan.
Ia tidak bisa melihat wajahnya sendiri. Bukan seulas senyum atau bahkan mata yang bening menerawang yang tergambar dalam mimpinya. Cuma bayangan muram dari hati yang pedih, rasa sakit dan mungkin juga amarah.
Entah mengapa, ia tak ingin lagi menoleh ke belakang, tapi ia tak sanggup melakukannya. Tiap kali ia memalingkan muka, yang ia lihat adalah sebuah bandul jam yang bergerak dari kanan ke kiri dan penunjuk waktu yang berjalan mundur selangkah demi selangkah.
Ia jadi ingin menyakiti dirinya sendiri, dengan hunjaman pecahan batu karang dan jarum jarum tajam serupa duri duri bulu babi. Ia kehilangan semua kosa kata cinta yang pernah diajarkan oleh ibunya dulu. Semua kalimat doa yang seakan terpaksa ia panjatkan hanya untuk memahami apa arti keberadaan dirinya sendiri. Mengapa semua makhluk harus hidup, hanya untuk menyelami makna penderitaan?
Ia hanya seekor tukik yang tak tahu bagaimana mesti menyikapi alam liar di luar sana. Tak tahu menafsir rasa khawatir di balik ancaman teriakan burung camar, atau barangkali juga resah gersik pasir yang tak mengisyaratkan apa apa selain sunyi. O dunia yang centang perenang ini, mengapa kini jadi begitu menakutkan dan tidak bersahabat.
Namun demikianlah, mimpi itu mesti berakhir. Saat ditemuinya senyap mencumbu tepian laut dan ombak yang bergelora tak henti hentinya bernyanyi. Tiba tiba saja, ia tak lagi merasa sendirian. Tiba tiba saja, ia merasa belaian tangan Tuhan menyentuh tempurung rentan di punggungnya. Dan kemudian ia melihat, matahari angslup perlahan, saat Tuhan membelah lautan hanya dengan sebuah senyum.”
―
“Bukankah
cinta
itu manis?
seperti
secangkir kopi
yang
diseduh
istrimu
pagi-pagi
untuk
membangunkanmu
dari
mimpi.”
―
cinta
itu manis?
seperti
secangkir kopi
yang
diseduh
istrimu
pagi-pagi
untuk
membangunkanmu
dari
mimpi.”
―
“Mimpi merupakan sumber energi yang dapat membangkitkan jiwa, raga, dan sukma untuk menghasilkan lentera yang menyinari kehidupan”
―
―
“Ada perasaan yang kadang tak sanggup diungkapkan melebihi perasaan perasaanku. Apa yang bahkan tak mampu aku utarakan kepada seorang ibu. Bagaimana aku menyimpan semuanya sendiri, juga tentang mimpi mimpi yang tak pernah aku ceritakan kepada siapapun termasuk kepada ayahku. Demikian aku belajar untuk mengenali diriku sendiri.
Ibuku memiliki sebuah taman kecil yang tersembunyi di samping rumah. Taman yang ia sebut sebagai sanctuary. Tempat di mana ia menanam segala macam perasaan yang ia sebut sebagai kebahagiaan. Kebahagiaan yang tumbuh dari hal hal fana yang tidak aku kenal dan mungkin juga tidak sepenuhnya aku mengerti. Seperti tangan yang mengusik lelap tidurku dan berusaha menciptakan sebuah karya seni yang indah.
Ibu adalah sebuah lukisan yang memenuhi seluruh pikiranku. Ia lebih menakjubkan dari lukisan lukisan karya Rembrandt, Gustav Klimt, Claude Monet, Auguste Renoir atau bahkan Van Gogh sekalipun. Jeli matanya adalah kegairahan musim semi yang menumbuhkan rupa rupa tanaman di dalam taman itu. Ulas senyumnya dan lembut bibirnya adalah kehangatan ciuman matahari yang membuat bunga bunga bermekaran. Dan sentuhan tangannya adalah sihir, belaian sejuk angin yang membuat setiap pohon berbuah.
Dan setiap kali aku dapati ia menari. Ia menari dengan seluruh tawa riangnya. Sekujur tubuhnya menari bersama celoteh burung dan goyangan daun daun. Tangannya bergerak gemulai serupa awan berarak setiap kali ia menyebar benih, mencabut rumput, mematahkan ranting kering, atau memangkas daun daun yang menguning.
Ada lompatan perasaan yang tak terlukiskan setiap kali ia melakukan hal itu, seperti seolah ia sedang jatuh cinta lagi. Bukan kepada ayahku melainkan kepada dirinya sendiri. Sebab, di dalam diri ayahku aku temukan bayang bayang lain yang seakan tak mau pergi. Bayang bayang yang tak mampu meninggalkan dirinya bahkan di tengah kegelapan malam.
Ayah adalah sebuah patung kayu yang usang dan berdebu. Ia menyembunyikan segala sesuatu dan menjadikannya rahasia yang ia simpan sendiri. Seperti sebuah pintu yang terkunci dan anak kuncinya hilang entah kemana. Tapi ia tak pernah bertengkar dengan ibu. Mereka juga tak pernah beradu mulut atau menunjukkan amarah antara satu dengan yang lain. Sepanjang yang mampu aku ingat, mereka adalah pasangan yang harmonis. Walau tak pernah sungguh berdekatan dalam artian yang sebenarnya. Setelah bertahun tahun lamanya, mereka masing masing tenggelam dalam dunia yang mereka ciptakan sendiri.
Sejak kanak kanak, aku tak berani masuk ke dalam sanctuary ibuku. Aku hanya berani mengintip dari balik keranjang cucian dan tumpukan pakaian yang hendak dijemur. Dari balik ranting dan juga rimbun dedaunan yang tumbuh di dalam pot pot besar berwarna hitam yang menyembunyikan tubuh telanjang ibuku yang berkilauan ditempa matahari.
Pernah sebelumnya aku menangkap sebuah isyarat dari tarian hujan yang ia ciptakan, ketika merdu tawanya berderai di antara dengung suara pompa dan guyuran air yang turun tiba tiba dari langit. Suara hujan itu keras berdentang di atas genteng galvalum dan menimbulkan suara berisik. Dan raga ibu yang berpendar kehijauan seolah terbang ke langit menyambut suara guntur dan halilintar.
Kadang kadang aku menangkap bayangan tubuh ibuku berjalan hilir mudik di dalam sanctuary itu entah dengan siapa. Acap aku dengar ia tertawa tergelak gelak. Suaranya bergema seperti di dalam gua. Aku selalu mengira ia tak pernah sendirian, selalu ada orang orang yang datang menemaninya entah darimana.
Sering kulihat ia menjelma menjadi burung dengan warna bulu yang memesona atau menjadi bidadari yang cantik dengan sepasang sayap berwarna jingga keemasan. Dan dari balik perdu yang merayap di dinding, aku dapat melihat senyumnya yang sangat menawan, seperti menyentil kesadaranku dan membuatku terbangun dari mimpi.”
―
Ibuku memiliki sebuah taman kecil yang tersembunyi di samping rumah. Taman yang ia sebut sebagai sanctuary. Tempat di mana ia menanam segala macam perasaan yang ia sebut sebagai kebahagiaan. Kebahagiaan yang tumbuh dari hal hal fana yang tidak aku kenal dan mungkin juga tidak sepenuhnya aku mengerti. Seperti tangan yang mengusik lelap tidurku dan berusaha menciptakan sebuah karya seni yang indah.
Ibu adalah sebuah lukisan yang memenuhi seluruh pikiranku. Ia lebih menakjubkan dari lukisan lukisan karya Rembrandt, Gustav Klimt, Claude Monet, Auguste Renoir atau bahkan Van Gogh sekalipun. Jeli matanya adalah kegairahan musim semi yang menumbuhkan rupa rupa tanaman di dalam taman itu. Ulas senyumnya dan lembut bibirnya adalah kehangatan ciuman matahari yang membuat bunga bunga bermekaran. Dan sentuhan tangannya adalah sihir, belaian sejuk angin yang membuat setiap pohon berbuah.
Dan setiap kali aku dapati ia menari. Ia menari dengan seluruh tawa riangnya. Sekujur tubuhnya menari bersama celoteh burung dan goyangan daun daun. Tangannya bergerak gemulai serupa awan berarak setiap kali ia menyebar benih, mencabut rumput, mematahkan ranting kering, atau memangkas daun daun yang menguning.
Ada lompatan perasaan yang tak terlukiskan setiap kali ia melakukan hal itu, seperti seolah ia sedang jatuh cinta lagi. Bukan kepada ayahku melainkan kepada dirinya sendiri. Sebab, di dalam diri ayahku aku temukan bayang bayang lain yang seakan tak mau pergi. Bayang bayang yang tak mampu meninggalkan dirinya bahkan di tengah kegelapan malam.
Ayah adalah sebuah patung kayu yang usang dan berdebu. Ia menyembunyikan segala sesuatu dan menjadikannya rahasia yang ia simpan sendiri. Seperti sebuah pintu yang terkunci dan anak kuncinya hilang entah kemana. Tapi ia tak pernah bertengkar dengan ibu. Mereka juga tak pernah beradu mulut atau menunjukkan amarah antara satu dengan yang lain. Sepanjang yang mampu aku ingat, mereka adalah pasangan yang harmonis. Walau tak pernah sungguh berdekatan dalam artian yang sebenarnya. Setelah bertahun tahun lamanya, mereka masing masing tenggelam dalam dunia yang mereka ciptakan sendiri.
Sejak kanak kanak, aku tak berani masuk ke dalam sanctuary ibuku. Aku hanya berani mengintip dari balik keranjang cucian dan tumpukan pakaian yang hendak dijemur. Dari balik ranting dan juga rimbun dedaunan yang tumbuh di dalam pot pot besar berwarna hitam yang menyembunyikan tubuh telanjang ibuku yang berkilauan ditempa matahari.
Pernah sebelumnya aku menangkap sebuah isyarat dari tarian hujan yang ia ciptakan, ketika merdu tawanya berderai di antara dengung suara pompa dan guyuran air yang turun tiba tiba dari langit. Suara hujan itu keras berdentang di atas genteng galvalum dan menimbulkan suara berisik. Dan raga ibu yang berpendar kehijauan seolah terbang ke langit menyambut suara guntur dan halilintar.
Kadang kadang aku menangkap bayangan tubuh ibuku berjalan hilir mudik di dalam sanctuary itu entah dengan siapa. Acap aku dengar ia tertawa tergelak gelak. Suaranya bergema seperti di dalam gua. Aku selalu mengira ia tak pernah sendirian, selalu ada orang orang yang datang menemaninya entah darimana.
Sering kulihat ia menjelma menjadi burung dengan warna bulu yang memesona atau menjadi bidadari yang cantik dengan sepasang sayap berwarna jingga keemasan. Dan dari balik perdu yang merayap di dinding, aku dapat melihat senyumnya yang sangat menawan, seperti menyentil kesadaranku dan membuatku terbangun dari mimpi.”
―
“Mimpimu mungkin saja sudah dan akan dibunuh oleh orang-orang yang paling dekat denganmu, dan mereka akan selalu mengatasnamakan semua itu kebaikan, padahal hanya engkau yang lebih memahami dirimu sendiri.”
―
―
“Kau tak harus jadi sempurna untuk melakukan apa-apa. Kau tak harus jadi sempurna untuk mencoba dan terus berusaha. Kau tak harus jadi sempurna untuk bermimpi setinggi angkasa.”
― Jejak Memori
― Jejak Memori
“Apa yang terlintas di benak kalian saat mendengar musik dangdut yang diputar lewat pengeras suara
dan orang ramai berjoget di bawah
panggung saat acara tujuh belasan?
Adakah engkau melihat diri sendiri mencoba berkaca pada hati yang lapang? Goyangan tubuh kami bukan sekedar luapan kegembiraan. Semestinya, itu adalah perayaan kemerdekaan
yang sesungguhnya.
Apakah menurut kalian, mudah bagi kami melupakan kemiskinan dan sekat-sekat sosial yang memisahkan rumah gubuk emplek-emplekan dengan komplek elit di seberang kali?
Walaupun kami sudah terbiasa melupakan rasa lapar dan sekedar mengganjalnya dengan sepiring harapan yang kadang enggan mengunjungi kampung kami yang kumuh.
Sesungguhnya, bagi kebanyakan orang seperti kami, kebahagiaan itu sederhana saja. Sekalipun barangkali, lebih banyak lagi yang tidak perduli.
Tapi janganlah kalian rampas satu-satunya kebahagiaan kami yang tersisa;
Biarkan kami tidur nyenyak dan bermimpi. Di hari perayaan kemerdekaan ini, semoga Tuhan berkenan mengirimkan seorang pemimpin yang sungguh mau peduli pada rasa lapar kami.”
―
dan orang ramai berjoget di bawah
panggung saat acara tujuh belasan?
Adakah engkau melihat diri sendiri mencoba berkaca pada hati yang lapang? Goyangan tubuh kami bukan sekedar luapan kegembiraan. Semestinya, itu adalah perayaan kemerdekaan
yang sesungguhnya.
Apakah menurut kalian, mudah bagi kami melupakan kemiskinan dan sekat-sekat sosial yang memisahkan rumah gubuk emplek-emplekan dengan komplek elit di seberang kali?
Walaupun kami sudah terbiasa melupakan rasa lapar dan sekedar mengganjalnya dengan sepiring harapan yang kadang enggan mengunjungi kampung kami yang kumuh.
Sesungguhnya, bagi kebanyakan orang seperti kami, kebahagiaan itu sederhana saja. Sekalipun barangkali, lebih banyak lagi yang tidak perduli.
Tapi janganlah kalian rampas satu-satunya kebahagiaan kami yang tersisa;
Biarkan kami tidur nyenyak dan bermimpi. Di hari perayaan kemerdekaan ini, semoga Tuhan berkenan mengirimkan seorang pemimpin yang sungguh mau peduli pada rasa lapar kami.”
―
“Sejatinya Banda bagi kami adalah pengharapan, tempat asa dan cita kami gantungkan demi hidup yang lebih mulia.”
―
―
All Quotes
|
My Quotes
|
Add A Quote
Browse By Tag
- Love Quotes 98.5k
- Life Quotes 76.5k
- Inspirational Quotes 73.5k
- Humor Quotes 44k
- Philosophy Quotes 30k
- Inspirational Quotes Quotes 27.5k
- God Quotes 26.5k
- Truth Quotes 24k
- Wisdom Quotes 24k
- Romance Quotes 23.5k
- Poetry Quotes 22.5k
- Death Quotes 20k
- Life Lessons Quotes 20k
- Happiness Quotes 19k
- Quotes Quotes 18k
- Faith Quotes 18k
- Hope Quotes 18k
- Inspiration Quotes 17k
- Spirituality Quotes 15k
- Religion Quotes 15k
- Motivational Quotes 15k
- Writing Quotes 15k
- Relationships Quotes 14.5k
- Life Quotes Quotes 14.5k
- Love Quotes Quotes 14.5k
- Success Quotes 13.5k
- Time Quotes 12.5k
- Motivation Quotes 12.5k
- Science Quotes 12k
- Motivational Quotes Quotes 11.5k