Didakhe

Risalah Kristen awal
(Dialihkan dari Didache)

Didakhe (bahasa Yunani: Διδαχή, Didakhé, artinya Ajaran),[1] yang juga dikenal dengan judul Ajaran Tuhan Melalui Dua Belas Rasul Kepada Bangsa-Bangsa (bahasa Yunani: Διδαχὴ Κυρίου διὰ τῶν δώδεκα ἀποστόλων τοῖς ἔθνεσιν, Didachḕ Kyríou dià tō̂n dṓdeka apostólōn toîs éthnesin), adalah risalah (tertib gereja purba) anonim Kristen Purba dalam bahasa Yunani Koine, yang oleh para sarjana modern diperkirakan berasal dari abad pertama[2] atau (kurang umum) abad kedua Tarikh Masehi.[3]

Naskah Didakhe

Kalimat pertama risalah ini berbunyi "Inilah ajaran Tuhan kepada bangsa-bangsa melalui dua belas rasul".[a] Karya tulis yang sebagian isinya merupakan katekismus tertulis paling tua yang masih lestari ini terdiri atas tiga bagian utama, yaitu bagian yang membahas hal-ihwal etika Kristen, bagian yang membahas hal-ihwal upacara-upacara Kristen seperti Baptis dan Ekaristi, serta bagian yang membahas hal-ihwal organisasi Gereja. Bab-bab awal Didakhe membahas ihwal Jalan Kehidupan orang-orang sadik dan Jalan Kematian orang-orang fasik. Doa Bapa Kami disajikan secara utuh. Pembaptisan dilakukan dengan cara benam, atau dengan cara dirus apabila cara benam muskil dipakai. Puasa diwajibkan setiap hari Rabu dan hari Jumat. Dua ragam Doa Syukur Agung disajikan. Organisasi Gereja masih berada di tahap perkembangan awal. Para rasul dan nabi yang hidup berkelana adalah orang-orang terpandang, yakni orang-orang yang melayani umat selaku "imam-imam kepala" dan kemungkinan besar merayakan Ekaristi. Para uskup dan diakon setempat juga berwibawa, dan tampaknya menggantikan para pelayan umat yang hidup berkelana.[2]

Didakhe dianggap sebagai karya tulis pertama dari ragam sastra tertib gereja.[2] Risalah ini menyingkap cara pandang umat Kristen Yahudi terhadap diri mereka sendiri, dan cara mereka mengadaptasikan amalan mereka bagi umat Kristen dari bangsa-bangsa lain.[4] Dalam beberapa segi, risalah ini mirip dengan Injil Matius, mungkin karena keduanya berasal dari komunitas-komunitas yang serupa.[5] Bab-bab awalnya, yang juga muncul di dalam karya-karya tulis Kristen Purba lainnya semisal Surat Barnabas, tampaknya dipetik dari sebuah sumber Yahudi yang sudah ada sebelumnya.[2]

Didakhe dianggap sebagai salah satu karya sastrawan Kristen angkatan kedua, yang dikenal dengan sebutan "Bapa-Bapa Apostolik". Oleh sejumlah Bapa Gereja, risalah ini dianggap sebagai bagian dari Perjanjian Baru,[b] Kendati dicap Bapa-bapa Gereja lainnya sebagai karya tulis yang disangsikan keasliannya atau karya tulis nonkanonis.[6][7] Pada akhirnya, Didakhe tidak tersenarai di dalam kanon Perjanjian Baru. Penemuan naskah ini pada akhir abad ke-19 menimbulkan gema yang hebat di kalangan ilmiah gereja, sebab sarjana-sarjana patristik telah mengetahui keberadaan apa yang disebut "Ajaran Rasul-rasul", namun mereka tidak pernah menemukan satu pun petunjuk tentangnya sampai penemuan tersebut.

 
Judul "Didakhe" dalam naskah yang ditemukan tahun 1873

Didakhe berisi 16 pasal yang umumnya dikelompokkan menjadi 4 bagian, yaitu:

  • Bagian 1, Pasal 1-6: perilaku orang Kristen (dua jalan).
  • Bagian 2, Pasal 7-10: bagian liturgi, atau ritual, berisi ajaran-ajaran yaitu:
  • Bagian 3, Pasal 11-15: mengenai pelayanan dan para rasul yang berkeliling
  • Bagian 4, Pasal 16: menunggu kedatangan Tuhan.

Penemuan Naskah yang Memuat Didakhe

sunting

Pada tahun 1873, Philotheos Bryennios, Direktur Sekolah Tinggi Teologi Yunani di Konstantinopel, yang kemudian menjadi uskup metropolitan kota Nikomedia, menemukan sebuah manuskrip di perpustakaan Diyor Al-Qabr Al-Muqaddas (Monastery of the Most Holy Sepulchre) di Konstantinopel (Istanbul), yang berada dalam pengawasan Patriarkhal Bizantium Ortodoks Yerusalem, yang berisi beberapa naskah klasik yang sangat penting. Manuskrip itu lalu dipindahkan dari Yerusalem ke Istanbul pada tahun 1680, lalu dipindahkan lagi ke Perpustakaan Patriarkhal Romawi Ortodoks, dan diberi nomor 54. Karena itu, di kalangan ilmiah, manuskrip, tersebut populer dengan nama "Manuskrip Yerusalem" (Jerusalem Codex) dan dalam bahasa Latin disebut Hierosolymitanus: 54 (sehingga kemudian lebih dikenal sebagai Codex Hierosolymitanus).

Manuskrip yang baru ditemukan itu mendapatkan perhatian yang luar biasa dari kalangan ilmiah. Ia menjelaskan banyak segi yang samar samar tentang sejarah awal kehidupan gereja, sehingga ia pantas di perhatikan sedemikian rupa oleh para ahli liturgis dan para bapa Manuskrip ini disalin satu orang penyalin saja, yang bernama Leon An­-Nasikh Al-Khati' (the notary and sinner: si penyalin yang banyak dosa), bertarikh dengan kalender Yunani tahun 6564, sama dengan tahun 1056 Masehi, atau kurang lebih pertengahan abad ke-11. Manuskrip ini terdiri dari 120 lembar (240 halaman) dan lembar 76b sampai 80 berisi "Didakhe" atau "Ajaran 12 Rasul" (The Teaching of the Twelve Apostles).

Pada tahun 1876, atau dua tahun setelah ditemukannya Manuskrip Yerusalem, yang disebut oleh Bryennios dengan "Jerusalem Codex", Metropolit Philotheos Bryennios mempublikasikan Dua Surat Klemens dengan disertai pengantar dan catatan-catatan, di Jerman, ketika ia berada di Institut Katolik yang lama di kota Bonn. Para sarjana patristik menyambut baik karya tersebut, yang menunjukkan ketelitian dan keahliannya yang tinggi dalam penyuntingan teks, berkat studinya pada para tetua ahli di Madrasah Jerman. Metropolit Bryennios menyebutkan bagian-bagian lain dari manuskrip itu di dalam karyanya tersebut, dan apa yang disinggungnya tentang Ajaran Dua Belas Rasul segera memicu perhatian para peneliti, di antaranya Lightfoot dan lain-lain. Bryennios juga menerbitkan bagian-bagian lain dari manuskrip yang ditemukan itu bagi para peneliti Jerman. Pada akhir tahun 1883, para archbishop (uskup besar) telah mempublikasikan di Konstantinopel leks "Ajaran Dua Belas Rasul" (Didakhe), disertai dengan pendahuluan dan catatan-catatan kaki.

Pada pendahuluan buku baru itu Bryennios menyebutkan bahwa Ajaran Dua Belas Rasul itu baru pertama kalinya diterbitkan, bersama dengan beberapa pendahuluan dan analisis terhadap Ringkasan Perjanjian Lama karya St. Yohanes Si Mulut Emas, di samping bagian lain manuskrip itu yang belum pemah diterbitkan.

Tak lama setelah publikasi Manuskrip tersebut, pada bulan Januari 1884, sebuah naskah Didakhe yang dipublikasikan oleh Bryennios sampai ke Jerman, lalu segera diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman, dan dipublikasikan pada tanggal 3 Februari pada tahun yang sama. Setelah itu, naskah itu segera diterjemahkan dari bahasa Jerman ke dalam bahasa Inggris, dan dipublikasikan di Amerika pada tanggal 28 Februari 1884, atau pada bulan dan tahun yang sama dengan munculnya terjemahan dalam bahasaJerman. Pada bulan Mei 1884, sebelum berakhinya tahun tersebut, dipublikasikan teks Didakhe dalam bahasa [nggris terjemahan langsung dari bahasa Yunani oleh pimpinan para diakon (archdiacon) yang bernama Farrar. Sepanjang tahun itu, Didakhe telah menjadi buah bibir dan dibahas dalam berbagai artikel. Tak kurang dari lima puluh judul di dalam berbagai koran dan majalah di Eropa Barat dan Amerika membahas kejadian terpenting tahun itu, yaitu ditemukannya "Ajaran Dua Belas Rasul". Shaff menyebutkan judul-judul artikel tersebut dalam karyanya Tarikh AI-Kanisah AI-Mosihiyyah (Sejarah Gereja Masehi).

Dalam Manuskrip Yerusalem terdapat beberapa judul untuk Didakhe. Judul pertama ringkas, dan judul kedua lebih panjang. Judul pertama adalah "Ajaran Dua Belas Rasul", sedangkan judul yang lebih panjang yang terletak segera setelahnya adalah "Ajaran Tuhan Kepada Bangsa-bangsa melalui Dua Belas Rasul."

Bryennios dan Harnak, dua orang yang pertama kali mempublikasikan teks Didakhe, berpendapat bahwa judul pertama yang ringkas tak lain dari ringkasan judul kedua yang panjang. Tapi mereka berbeda pendapat dalam masalah substansi judul yang panjang. Bryennios, diikuti oleh Schaff, berpendapat bahwa judul itu hanya berlaku pada lima bagian pertama Didakhe, yaitu bagian-bagian yang dikirimkan kepada bangsa­-bangsa yang menerima Risalah Injil. Sedangkan Hamack berpendapat, judul yang panjang adalah judul yang berlaku pada seluruh kitab Didakhe, karena seluruh teks buku ini merupakan ajaran bagi orang-orang yang menerima Tuhan. Meskipun mereka tidak sepakat tentang kandungan makna judul yang panjang tersebut, tetapi Jean-Paul Audet berpendapat bahwa judul "Ajaran-ajaran Para Rasul" adalah judul asli teks Didakhe, yaitu teks yang sampai kepada kita dari Manuskrip Yerusalem. Dalam hal ini, mungkin Audet bersandar kepada judul yang sama yang disebutkan oleh Eusebius dari Caesarea dalam karyanya TorikhAl-Konisah. Namun, kita tidak boleh mengabaikan analisis lain, bahwa judul ringkas Didakhe muncul dalam terjemahan Latin dalam bentuk tunggal, yaitu "Ajaran Para Rasul" (Doctrina Apostolorum), bukan dalam bentuk jamak, sebagaimana yang dikatakan oleh Audet.

Judul yang panjang itu tampaknya muncul sebagai pengagungan dan penjelasan tambahan bagi judul yang ringkas. Tapi perlu diperhatikan bahwa keberadaan kata "Tuhan" di dalam judul yang panjang itu mem­buktikan bahwa ia merupakan penambahan terhadap judul tersebut yang masuk belakangan, dan pada waktu yang sama sesuai dengan bagian Evangelis yang terdapat dalam bagian pertama teks Didakhe, yaitu bagian yang menjelaskan tentang "DuaJalan", (1:3-2:1) di samping isyarat tentang "Injil Tuhan" (lihat 8:2,15:4, 9:3,11:3,15:3), yaitu pada bagian liturgis dan pengajaran di dalam Didakhe. tampaknya tambahan itu muncul pada periode belakangan dalam penulisan karya sastra tersebut, sehingga jelaslah bahwa judul yang panjang mengiringi penambahan-penambahan terhadap teks asli yang terjadi belakangan.

Dari sisi yang lain, judul yang penjang tak ubahnya resonerui dari ajaran AI-Masih kepada para Rasul yang kudus pada akhir Injil St. Matius (28: 19), "Pergilah, jadikanlah semua bangsa murid saya." Analisis ini menjelaskan mengapa judul tersebut muncul belakangan daripada teks Didakhe dalam bentuk asli, yang boleh jadi belum mengetahui keberadaan St. Matius.

Sementara itu, Riddle berpendapat bahwa judul yang panjang adalah judul asli Didakhe, sedangkan judul yang pendek merupakan ringkasan yang sering digunakan untuk menyebut Didakhe, dan tidak memiliki kaitan dengan apa yang ada dalam Kisah Para Rasul (2:42) dalam istilah "Pengajaran para rasul", yaitu, "Mereka bertekun dalam pengajaran para rasul, dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa."

Sedangkan kata "bangsa-bangsa" yang terdapat di dalam judul yang panjang, menurut banyak peneliti, seperti Bryennios, menunjukkan bahwa pengarang Didakhe adalah seorang Masehi keturunan Yahudi. Akan tetapl, penelifi-peneliti lain, seperti Brown, menolak hal itu.

Karakter Bahasa Didakhe

sunting

Bahasa Didakhe menunjukkan pada periode peralihan dari kitab-kitab Perjanjian Baru kepada bahasa gereja Yunani yang langsung mengikuti safar-safar kanonik. Kutipan-kutipan dari safar-safar tersebut menyerupai kutipan-kutipan yang ada di dalam surat-surat para rasul, Didakhe mengutip kebanyakan materinya dari Injil St. Matius daripada Injil lain, khususnya pada pasal-pasal 5-8, yaitu Kotbah Yesus di atas bukit. Meskipun demikian, materi kotbah Yesus di bukit yang terdapat dl dalam Injil tetap lebih banyak daripada yang terdapat di dalam Didakhe.

Beberapa bagian Didakhe menunjukkan bahwa pengarang cukup mengetahui Injil Lukas. Selain itu, di dalam Didakhe terdapat beberapa istilah dan konsep yang memiliki bandingannya di dalam Injil Yohanes. Bahkan, di dalam Didakhe terdapat beberapa hal yang mendorong kami unluk menylmpulkan bahwa pengarangnya mengetahui sejumlah surat Rasul Paulus, terutama Surat Paulus kepada Jemaat di Roma dan kepada Jemaat di Korintus, juga Dua Surat St. Petrus. 103] Kecuali pada bagian tersebut, pengarang Didakhe jarang mengisyaratkan kepada safar-safar yang lain di dalam Perjanjian Baru. Dan jelas sekali, pengarang Didakhe tidak mengetahui kitab-kitab hukum.

Keaslian Teks Didakhe

sunting

Yang dimaksud dengan keaslian adalah kajian tentang kesesuaian substansial (substantial identity) antara Manuskrip Yerusalem dengan karya yang dikenal dan disebut oleh para penulis Kristen awal sebagai "Ajaran Rasul-rasul" ("De Doctrino Apostolorum"; "Teachings of the Apostles"), atau judul lain yang serupa.

Tak dapat diragukan, teks itu berasal dari zaman Apostolik. Bukti­-bukti internal teks tersebut menegaskan hal itu. Pada sisi lain, tidak ada alasan untuk meragukan umur naskah itu, atau kesesuaiannya dengan edisi yang diterbitkan oleh Bryennios.

Klemens dari Aleksandaria (M. 216 M) menegaskan keberadaan naskah tersebut, bukan saja karena dia banyak mengutipnya, tetapi juga karena dia menyebutkan di dalam bukunya Stromata teks yang terdapat di dalam Didakhe, 3: 5 secara harfiah, yaitu, "Anakku, janganlah kamu berdusta, karena dusta membawa kepada pencurian," dan menisbahkan teks tersebut kepada Al-Kitab Al-Muqaddas.

Eusebius dari Kaisarea (M. 340 M), pada paragrafnya yang terkenal di dalam bukunya Tarikh Al-Kanisah, yang mengkaji kitab-kitab Perjanjian Baru yang kanonik, menyebut "Ajaran-ajaran Rasul-rasul" sebagai salah satu karya yang tidak legal (spurious works). Bentuk jamak ("ajaran-ajaran") yang dipakai oleh Eusebius dalam menyebut judul karya ini, tidak mengalihkan perujukannya dari naskah yang sedang kita bicarakan, karena Athanasius (M. 373 M) dengan jelas mengisyaratkan kepada naskah ini dengan menggunakan bentuk tunggal ("Ajaran"), dalam perkataannya, "Ajaran yang disebut dengan Ajaran Rasul-rasul." Setelah menyebutkan kitab-kltab suci yang diakui oleh gereja sebagai kitab-kitab kanonik, Athanasius mengatakan, "Selain kitab-kitab tersebut, ada kitab-kitab lain yang tidak diakui sebagai kitab kanonik (tidak diakui sebagai kitab-kitab suci). Para bapa berpendapat bahwa kitab-kitab itu dapat dibaca oleh orang-orang yang ingin mencari pengetahuan dan ketakwaan. Kitab-kitab itu adalah, Hikmah Sulaiman, Hikmah Ibn Sirach, Ester, Yehodit, Thopia, dan Ajaran yang disebut dengan Ajaran Rasul-rasul dan Gembala." Sebab, hingga zaman Paus Athanasius Apostolis, gereja belum mengakui kekanonan kitab-kitab tersebut, dan baru diakui belakangan, serta disebut sebagai kitab-kitab kanonik kedua.

Rufinus (M. 410 M), di dalam karyanya, Tarikh Al-Kanisah, mengulas sebuah karya yang ringkas, yang disebut `Dua Jalan'. Uraiannya memberikan kita data yang sangat penting untuk kajian kritis terhadap Didakhe.

Peneliti lain yang telah mengulas Didakhe adalah Nicephorus (M. 828 M), atau dua ratus tahun setelah Leon the Notary and Sinner menulis naskah yang diketemukan itu.

St. Irenaeus (M. 202 M.) dan St. Klemens dari Aleksandria (M. 216 M.) melontarkan ungkapan-ungkapan yang menunjukkan mereka berdua mengetahui Didakhe.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa manuskrip yang ditemukan ini sebenarnya merupakan karya yang diulas baik oleh Eusebius dari Caesarea maupun Athanasius Apostolis.

Waktu Penulisan

sunting

Melalui kajian yang mendalam terhadap teks-teks Didakhe untuk mengetahui waktu penulisannya, peneliti-peneliti modern memastikan bahwa Didakhe ditulis pada abad pertama Masehi. Berdasarkan apa yang telah dipaparkan pada bagian otentisitas teks Didakhe, waktu penulisannya tidak mungkin melewati seperempat pertama abad kedua Masehi, dan apabila telah terbukti bahwa Didakhe lebih tua daripada Surat Barnabas, maka ia tidak mungkin ditulis setelah tahun 120 M.

Teks-teks Didakhe secara internal menunjukkan waktu penulisannya

  • Struktur bahasanya yang sederhana menunjukkan waktu penulisannya, yaitu periode yang langsung mengikuti masa Rasul-rasul, atau yang sekarang disebut sebagai periode apostolis. Sesungguhnya, kesederhanaan struktur bahasa juga merupakan fakta yang sangat penting dalam mengkaji legalitas kitab-kitab Perjanjian Baru.
  • Belum berkembangnya konsep agama Kristen di dalam teks Didakhe merupakan akibat yang wajar dari belum berkembangnya heretisme pada masa itu. Itulah yang ditegaskan oleh gaya bahasa naskah Didakhe. Agama Kristen pada awalnya adalah pandangan hidup yang menjadi dasar bagi ajaran-ajaran para rasul, dan semakin luas agama Kristen itu berkembang, semakin besar pula perjuangan orang-orang Kristen melawan heretisme yang mereka hadapi.
  • Aturan gereja yang dikemukakan oleh Didakhe belum serumit yang dikemukakan oleh Surat-surat St. Ignatius, karena di dalam Didakhe disebutkan guru-guru yang berkeliling, yang disebut Didakhe sebagai Rasul-rasul dan Nabi-nabi (pasal 10), dan keberadaan mereka tidak diakui lagi oleh gereja setelah pertengahan kedua abad kedua Masehi, atau bahkan setelah seperempat pertama kedua Masehi.

Dengan demikian jelas bahwa sejarah Didakhe lebih tua daripada sejarah Surat-surat Ignatius.

Didakhe ditulis untuk jemaat Kristen yang tumbuh di beberapa perkumpulan lokal yang sekarang tidak dapat diketahui lagi. Belum berkembangnya format ajaran-ajaran yang ada di dalam naskah ini meyakinkan bahwa karya sastra ini, dalam bentuknya yang terakhir, telah ditulis pada akhir abad pertama Masehi. Naskah ini tidak mungkin ditulis pada masa hidup Rasul-rasul yang kudus. Selain itu, di dalam pasal 16 naskah ini tidak ada petunjuk apa pun tentang peristiwa hancurnya Yerusalem pada tahun 70 Masehi. Karena itu, jika ia ditulis seorang Kristen Yahudi, seperti dikatakan FX. Funk, sebagai kemungkinan yang paling mendekati kenyataan, maka tidak disebutkannya peristiwa tersebut berimplikasi adanya interval satu generasi, sehingga orang dapat membatasi periode penulisannya antara tahun 80-100 Masehi.

Posisi naskah ini di dalam Manuskrip Yerusalem adalah setelah Surat-surat Klemens kepada jemaat di Korintus ("The two Epistles of Clement to the Corinthians") dan sebelum Surat-surat Ignatius ("Twelve Epistles of Ignatius"). Itu boleh jadi menandai urutan kronologis karya-karya tersebut. Selain itu, gaya bahasanya yang sangat sederhana nyaris memastikan pendapat bahwa masa hidup penulisnya sangat berdekatan dengan masa hidup Rasul-rasul.

Bryennios dan Harnack menentukan waktu penulisan Didakhe antara tahun 120 sampai 160 Masehi. Mereka mengatakan bahwa Surat Barnabas dan "Kitab Ar-Ra'i" karya Hermas ( "Gembala Hermas" ) lebih dulu ditulis daripada Didakhe. Tetapi Funk, Schaff, Light foot, dan Don Capoli menyatakan bahwa yang ditulis lebih dahulu adalah Didakhe, yaitu pada akhir abad pertama Masehi, atau antara tahun 70-90 Masehi. Mereka membuktikan pendapat itu dengan kandungan pasal 7, 8, 10:1, dan 11: 3. Sedangkan Hilgenfeld menyatakan, waktu penulisan Didakhe adalah antara tahun 160-190 Masehi. Para peneliti Inggris dan Amerika pada umumnya menyatakan waktu penulisan Didakhe antara tahun 80-­120 Masehi. Dengan demikian, disimpulkan bahwa Didakhe ditulis pada akhir abad pertama Masehi atau awal abad kedua Masehi. == Tempat Penulisan ==Para peneliti berbeda pendapat tentang tempat penulisan Didakhe. Kecenderungan untuk menyatakan bahwa penulisnya adalah seorang Kristen Yahudi tidak cukup untuk menunjukkan tempat penulisannya, apakah di Aleksandria, Antiokhia, Yerusalem, atau tempat-tempat lain. Kesesuaiannya dengan Surat Barnabas menguatkan pendapat bahwa ia ditulis di Mesir. Sebab doa penutup jamuan Ekaristi yang disebut Didakhe, "Karena engkaulah yang memiliki kekuatan dan kemuliaan sampai selama­-lamanya," hanya menyebut kata 'kekuatan' dan 'kemuliaan', dan doa yang seperti itu lebih populer di Mesir daripada di tempat-tempat lain.

Harnack, R. Glover, R.A. Kraft, dan Voobus dengan jelas menyata­kan bahwa Didakhe ditulis di Mesir. Kajian-kajian mereka menyatakan, berbeda dengan teks-teks Didakhe yang berbahasa Latin ("Doctrina Apostolorum"), Jerussalem Codex, Apostolic Constitutions, banyak bukti­bukti klasik di dalam kitab Didakhe memiliki akar Koptik atau Ethiopia.

Tentang hal tersebut, dapat ditambahkan, doa penutup jamuan (Didakhe, 8: 2) sesuai dengan doa penutup jamuan yang terdapat di dalam terjemahan-terjemahan Koptik yang sangat klasik terhadap Injil Matius. Dari sisi lain, St. Clement dari Aleksandria menganggap Didakhe sebagai salah satu teks kanon. Hal ini menunjukkan bahwa karya ini telah beredar di Mesir di gereja-gereja klasiknya (Lihat juga Ar-Risalah AI-Fashihah: 29 karya Paus Athanasius Apostolis), selain Eusebius dari Caesarea menukil berita-berita Didakhe dengan bersandar kepada ajaran bapa-bapa gereja Aleksandria.

Akan tetapi, dari sisi lain, para peneliti seperti Adam, J.P Audet, Diet, Knopf, daa lain-lain menyatakan bahwa tempat penulisan Didakhe adalah Siria, dengan alasan kesesuaiannya dengan "Apostolic Constitutions". Selain itu, kata `masehi' yang terdapat pada pasal 4: 2 digunakan pertama kali di Antiokhia. Mereka mengatakan, pasal 11-13 juga menegaskan bahwa Didakhe ditulis di Siria, lebih khusus lagi di Siria Barat, di mana bahasa Yunani, yaitu bahasa yang digunakan untuk menulis Didakhe, dominan. Alasannya, perbuatan-perbuatan buruk yang disebutkan dalam bagian `dua jalan' (Didakhe, 2: 2 dan 3: 4) dengan jelas menunjuk kepada masyarakat yang bercorak Helenistik atau Yunani (Didakhe, 4:1). Dengan demikian, pertama-tama, Didakhe ditujukan kepada masyarakat pedesaan dari kalangan orang-orang yang tidak mengenal Tuhan yang masuk ke dalam ajaran Kristen. Pasal 13 Didakhe juga menegaskan hal ini.

Tetapi, tidak dapat dipastikan bahwa Didakhe berasal dari Antiokhia, atau ditulis di kota Antiokhia. Sebab, adat istiadat yang berasal dari Paulus dan Lukas - yang populer di Antiokhia - adalah adat istiadat yang berbeda dengan Didakhe. Hal ini menegaskan bahwa ia tidak berasal dari Antiokhia. Selain itu, St. lgnatius dari Antiokhia tidak mengenal Didakhe, karena ia tidak mengutip Didakhe sedikit pun di dalam surat­-suratnya, yaitu surat-surat yang memperlihatkan aturan-aturan yang sangat berbeda dengan Didakhe.

Adam, pada saat membuktikan bahwa Didakhe berasal dari Suriah, mengatakan bahwa terjemahan Didakhe yang berbahasa Koptik berasal dari naskah berbahasa Suryani yang sudah hilang. Dia menambahkan, Didakhe beredar dan populer dengan cepat di Mesir seperti halnya banyak karya sastra lain di gereja Kristen pertama, seperti Injil Lukas, setelah teks Didakhe dalam bentuknya yang terakhir diubah agar sesuai dengan terjemahan Koptik dan Ethiopia. Pengubahan itu dapat kita lihat dengan jelas pada pasal 9:4, "Sebagaimana roti yang dipecah-pecah disebarkan di atas gunung, kemudian dikumpulkan sehingga menjadi satu, demikianlah disatukan gereja-Mu dari ujung bumi hingga Kerajaan-Mu." Lafal 'di atas gunung' adalah pengubahan dan penambahan terhadap teks asli Didakhe.

Demikianlah, Didakhe menjadi objek pertentangan para peneliti, sebagian menyatakan ia ditulis di Mesir, sebagian lain menyatakan ia ditulis di Siria. Di atas tumpukan kajian yang sangat banyak tersebut, yang dapat kita lakukan hanyalah membaca teks Didakhe secara cermat, untuk menangkap keindahan gereja pertama sebagai kelompok yang sederhana yang diikat oleh rasa kasih, sayang, dan harmoni, baik di Mesir maupun di Siria.

Sedangkan pendapat bahwa Didakhe ditulis di Palestina, ditolak oleh orang-orang menggarisbawahi tiadanya ajaran-ajaran Paulus di dalam Didakhe. Namun, jika benar Didakhe merupakan karya yang ditujukan kepada orang-orang yang belum dibaptis, maka itu cukup untuk menjelaskan tiadanya ajaran-ajaran Paulus di dalamnya.

Identitas Penulis

sunting

Semua usaha untuk menemukan identitas penulis Didakhe tidak berhasil, terutama karena kurangnya data tentang hal ini yang kita milikl sekarang. Asumsi yang paling mendekati kenyataan adalah ia ditulis oleh seorang Kristen Yahudi (Jewish Christian), atau paling tidak oleh orang Kristen yang berasal dari penganut agama Yahudi, karena ia menyebutkan makanan yang diharamkan Perjanjian Lama, yang tidak berubah sampai sekarang kecuali tentang keharaman makanan persembahan bagi berhala; Dan, karena ia mencela kemunafikan orang-orang Farisi, seolah-olah ia bergaul dan mengenal mereka.

Penulis mengarahkan bukunya kepada orang yang dia sebut anaknya, karena ia sering mengulang kata 'Wahai anakku.' Dia juga menerangkan beberapa aktivitas gereja pertama yang didirikan orang­orang Kristen yang hidup pada awal abad kedua Masehi, terutama tata cara ibadah mereka. Karena itu, kita tidak dapat memandang naskah ini sebagai bukti yang pasti tentang iman gereja secara umum pada masa itu, apalagi Didakhe segera menghilang dari peredaran.

J.P Audet berpendapat bahwa penulis ini mungkin sama dengan penulis L.e Vademacum bagi salah seorang Rasul yang berkeliling di gereja pertama.108] Bagaimanapun keadaannya, Rasul yang berkeliling ini telah melakukan dengan cermat ajaran tentang Rasul-rasul yang berkeliling yang terdapat di dalam Didakhe pasal 11: 3-6. Akan tetapi, kajian-kajian modem tidak menyetujui pendapat Audet.

Bahwa penulis Didakhe adalah lebih dari satu orang, atau lebih dari satu penulis yang menulis buku itu dalam dua periode: Pertama, menulis pasal 1: 1 sampai pasal 11: 2; Kedua, menulis pasal 11: 3 sampai 16: 8. Alasannya, Didakhe pasal 11-13 tidak mungkin ditulis orang yang menulis pasal 14-15. Dengan demikian, tidak dapat menisbahkan semua pasal Didakhe pada satu orang penulis.

Penerima Didakhe

sunting

Bagian pertama teks Didakhe - yaitu bagian tentang akhlak - mengisyaratkan pada seorang guru yang memberikan nasihat kepada anak atau muridnya. Sementara bab 4: 2 yang menyatakan, "Berusahalah setiap hari untuk bertemu dengan orang-orang kudus supaya kamu terhibur oleh kata-kata mereka," menunjukkan adanya jemaat Kristen yang di dalamnya terdapat orang-orang kudus yang ketakwaannya populer di kalangan mereka. Selain membedakan antara guru yang memberi nasihat dengan murid yang mendengarkannya, bagian ini juga menunjukkan adanya jemaat Kristen yang berdomisili pada satu tempat dalam waktu yang cukup lama yang memungkinkan munculnya generasi orang tua dan generasi anak-anak. Namun, awal pasal 7 memperlihatkan bahwa kitab Didakhe adalah surat yang ditujukan kepada sekelompok jemaat yang pada awalnya belum memiliki aturan gereja tertentu. Fungsi-fungsi liturgis jemaat itu belum dilakukan oleh abdi-abdi gereja yang tetap. Itulah yang kita lihat pada pasal 15, di mana untuk pertama kali muncul tingkatan uskup dan diakon, yang secara perlahan-lahan menempati posisi Rasul-rasul, pengabar-pengabar gembira, dan Nabi-nabi yang berpindah-pindah dan tidak menetap di satu tempat; untuk memikui tugas-tugas tersebut pada periode awal sejarah gereja.

Jika bagian pertama Didakhe sangat terpengaruh oleh ajaran Yahudi, maka istilah 'uskup' dan 'diakon' (pasal 15:1) menegaskan bahwa jemaat yang dikirimi karya sastra ini adalah orang-orang mukmin yang sebelumnya tidak mengenal Tuhan, sebab jika kita menemukan istilah uskup dan diakon pada masa apostolis - tanpa menyebut istilah tetua - maka itu menunjukkan kita sedang berhadapan dengan jemaat Masehi yang terbentuk dari bangsa-bangsa non-Yahudi atau bangsa yang tidak mengenal Tuhan.

Dengan demikian, jelas bahwa Didakhe dikirimkan kepada jemaat Kristen yang berasal dari bangsa yang tidak mengenal Tuhan. Hal ini tidak menghalangi kemungkinan pasal 7-16 mengisyaratkan kepada penulis Kristen Yahudi, sebab terlalu berlebihan bila dikatakan bahwa awal pasal 8:1 dan 2 memperlihatkan karakter yang tidak dimiliki oleh penulis Kristen Yahudi.

Selain itu, dinyatakan di sini bahwa pasal 16 yang menjelaskan penantian terhadap kedatangan Tuhan untuk kedua kalinya di kalangan jemaat yang dikirimi Didakhe itu, mengungkapkan adat istiadat Yahudi yang telah baku dan tertanam di dalam gereja Kristen pertama.

Ringkasnya, Didakhe adalah teks yang menghimpun adat istiadat yang saling bertentangan yang diberikan formula baru pada masa tertentu oleh penulis yang tidak kita ketahui yang sulit kita tentukan, tetapi memiliki kekuasaan yang kuat terhadap sekelompok jemaat Kristen yang mungkin berasal dari kalangan bangsa yang tidak mengenal Tuhan. Karena itu, judul panjang Didakhe, yaitu "Ajaran Tuhan kepada Bangsa­bangsa.", dengan tegas menjelaskan asumsi tersebut.

Andresen, seorang sarjana Jerman, membandingkan teks Didakhe 14: 3, "Karena Aku adalah raja yang agung, kata Tuhan, dan nama-Ku dihormati semua manusia," dengan nubuat Malakhi 1: 11, "Sebab nama-Ku besar di antara bangsa-bangsa, firman Tuhan semesta alam," untuk menjelaskan judul panjang Didakhe seperti ini, "Ajaran Tuhan Melalui Dua Belas Rasul kepada Gereja Bangsa-bangsa."

Tema-tema Utama Teks Didakhe

sunting

Didakhe tetap bukan merupakan teks karya sastra yang utuh dan lengkap sampai munculnya di dalam Manuskrip Yerusalem. Sebagaimana telah disebutkan, teks ini memiliki beberapa bagian yang tidak sama panjangnya.

  • Bagian pengajaran dan akhlak yang menjadi pendahuluan buku, pada intinya adalah ajaran-ajaran tentang 'dua jalan', jalan kehidupan dan jalan kematian. Bagian ini dimuat dalam 6 pasal pertama, dimulai tanpa pendahuluan, dengan ungkapan berikut, "Terdapat duajalan, yaitu Jalan Kehidupan dan Jalan Kematian." Jalan kehidupan dimuat dalam 4 pasal pertama di dalam karya sastra ini dalam bentuk terakhimya, sedangkan pasal 5 memuat pembicaraan tentang jalan kematian, dan pasal 6 kesimpulan ajaran tentang dua jalan itu, disertai peringatan, "Hati-­hatilah kamu, jangan sampai ada orang yang menyesatkanmu dari ajaran ini, karena dengan begitu ia mengajarkan apa yang tidak berhubungan dengan Tuhan."
  • "Dua jalan" ini menunjukkan kesatuan enam pasal pertama Didakhe. Akan tetapi, sebenarnya, keenam pasal itu memuat unsur-unsur yang sangat bertentangan satu sama lain. Meskipun demikian, dapat dikatakan bahwa ajaran ini pada umumnya berkarakter sangat serupa, bahkan mungkin sangat sesuai, dengan ajaran sastra dan akhlak gereja pada periode-periode awalnya.
  • Bagian liturgis, dimuat pada empat pasal berikutnya, dari pasal 7 sampai pasal 10. Bagian ini, dengan bahasa yang lebih pasti, berbicara tentang pembaptisan, puasa, doa harian, dan jamuan ekaristi. Dari kandungan bagian ini, jelas bahwa keutuhan penulisannya tidak dapat dipastikan.
  • Setelah peralihan yang tampak sebagai sinopsis awal bagi apa yang telah disebutkan (pasal 11:1 dan 2), bagian aturan dimuat dalam lima pasal, dari pasal 11 sampai pasal 15. Di dalam pasal-pasal itu teks Didakhe menetapkan jenis penerimaan terhadap Rasul-rasul, Nabi-nabi, dan pengganti-pengganti mereka, juga terhadap orang-orang Kristen yang datang dari luar kalangan jemaat. Bagian ini secara umum terlihat sebagai karya sastra yang struktur asasinya tidak utuh.
  • Di bagian terakhir, bagian eskatologi (tentang Akhirat), yang menutup buku dan dimuat pada pasal 16, terdapat bagian yang hilang dari Manuskrip Yerusalem, yang menyulitkan kita untuk memberikan konsep yang teliti tentang teks asli.

Didakhe 16: 2 menyatakan, "Sering-seringlah kamu berkumpul untuk mempelajari hal-hal yang pantas bagi jiwa-jiwa kamu, karena iman kamu pada setiap zaman tidak akan berguna, jika pada saat yang terakhir kamu tidak menjadi orang-orang yang sempuma." sesuai dengan Surat Barnabas 4: 9 dan 10, yaitu, "Waspadalah kamu pada hari-hari terakhir. Semua hari hidup kita dan iman kita tidak berguna sedikit pun, jika kita tidak melawan sebagai anak-anakTuhan, dengan perlawanan yang aktif, melawan zaman dosa dan rintangan yang menghadang ini, karena takut kegelapan merasuk ke dalam diri kita. Hendaknya kita menjauhi kebatilan-kebatilan, dan membenci secara total perbuatan-perbuatan jalan yang jahat. Janganlah kamu memakai pakaian kesatuan, dan janganlah kamu menganggap diri­dirimu terbebas, tetapi berkumpullah bersama-sama untuk mempelajari yang berguna bagi orang banyak."

St. Ignatius dari Antiokhia berkata, "Jika kamu memiliki iman yang sempuma dan kasih yang sempuma, maka kamu tidak akan tertipu oleh siapapun. Kedua kebajikan itu adalah awal dan akhir kehidupan. Iman adalah awal, dan kasih adalah akhir. Kesatuan dari keduanya adalah Tuhan. Semua kebajikan lain mengiringi manusia untuk mengantarkannya kepada Tuhan." (Suratnya kepada jemaat di Efesus 14: 1)

Gambaran eskatologis tentang akhir dunia seperti terdapat dalam Didakhe 16: 3-8 pada umumnya memiliki corak materi tersendiri, yang lebih dalam daripada ajaran-ajaran terdahulu. Ajaran tentang akhir dunia, yang muncul sebagai pasal terakhir dalam Didakhe itu, sebagaimana di dalam kitab-kitab Perjanjian Baru, sangat menarik perhatian kita, kaitannya dengan penulis Didakhe yang ingin menutup bukunya dengan bagian eskatologis yang dasar-dasamya berasal dari unsur-unsur yang bercorak Perjanjian baru.

Prigent, B.C. Butler, dan Giet menetapkan bahwa pasal 16 Didakhe ini secara langsung bersandar kepada pasal 24 Injil Matius. Sebaliknya, setelah kajian yang luas yang tidak meyakinkan kami, Willy Rordrop dan Andre Tuilier—penulis kajian tentang Didakhe di dalam Sources Chretiennes, 248 mengatakan, "Kami sepakat dengan G. Glover bahwa Didakhe tidak mengambil teks apa pun dari Perjanjian Baru. Demikian juga halnya teks doa (resension) yang terdapat di dalam Didakhe 8: 2, yang oleh kedua sarjana tersebut dikatakan sangat mirip dengan teks Injil Matius pasal 6: 9-13. Teks doa di dalam Didakhe berbeda dengan teks doa yang terdapat di dalam Injil.

Referensi

sunting
  • Audet, Jean-Paul, La Didache, Instructions des Apôtres, J. Gabalda & Co., 1958.
  • Draper, Jonathan, ed. 1996. The Didache in Modern Research (Leiden, New York, dan Koln)
  • Holmes, Michael W., ed., The Apostolic Fathers: Greek Texts and English Translations, Baker Academic, December 1, 1999. ISBN 978-0-8010-2225-8
  • Lightfoot, Joseph Barber, et al., Apostolic Fathers Diarsipkan 2007-09-27 di Wayback Machine., London: Macmillan and Co. 1889.
  •   Artikel ini memuat teks dari suatu penerbitan yang sekarang berada dalam ranah publikHerbermann, Charles, ed. (1913). "nama artikel dibutuhkan". Catholic Encyclopedia. New York: Robert Appleton. 

Catatan kaki

sunting
  1. ^ Liddell, Henry George; Scott, Robert (1940). "διδαχή". A Greek–English Lexicon. Direvisi dan diperluas oleh Sir Henry Stuart Jones, dibantu Roderick McKenzie. Oxford: Clarendon Press.
  2. ^ a b c d Cross & Livingstone 2005, hlm. 482.
  3. ^ Britannica, The Editors of Encyclopaedia. "Didachē". Encyclopedia Britannica, 18 Oktober 2021, https://www.britannica.com/topic/Didache. Diakses tanggal 28 Desember 2023.
  4. ^ Milavec 2003b, hlm. vii.
  5. ^ Kesalahan pengutipan: Tag <ref> tidak sah; tidak ditemukan teks untuk ref bernama Matthew and the Didache
  6. ^ Atanasius Surat Pesta 39 (mengeluarkan karya-karya tulis tersebut dari kanon, tetapi menganjurkannya untuk dibaca) pada tahun 367
  7. ^ Nikeforus di dalam Stikhometria

Pranala luar

sunting


Kesalahan pengutipan: Ditemukan tag <ref> untuk kelompok bernama "lower-alpha", tapi tidak ditemukan tag <references group="lower-alpha"/> yang berkaitan