Teori disonansi kognitif
Teori disonansi kognitif merupakan sebuah teori dalam psikologi sosial yang membahas mengenai perasaan ketidaknyamanan seseorang akibat sikap, pemikiran, dan perilaku yang saling bertentangan dan memotivasi seseorang untuk mengambil langkah demi mengurangi ketidaknyamanan tersebut.[1][2] Istilah disonansi kognitif pertama kali dipopulerkan oleh seorang psikolog bernama Leon Festinger pada tahun 1950an.[3]
Teori disonansi kognitif memiliki sejumlah anggapan atau asumsi dasar diantaranya adalah:
- Manusia memiliki hasrat akan adanya konsistensi pada keyakinan, sikap, dan perilakunya.[1] Teori ini menekankan sebuah model mengenai sifat dasar dari manusia yang mementingkan adanya stabilitas dan konsistensi.[1]
- Disonansi diciptakan oleh inkonsistensi biologis.[1] Teori ini merujuk pada fakta-fakta harus tidak konsisten secara psikologis satu dengan lainnya untuk menimbulkan disonansi kognitif.[1]
- Disonansi adalah perasaan tidak suka yang mendorong orang untuk melakukan suatu tindakan dengan dampak-dampak yang tidak dapat diukur.[1] Teori ini menekankan seseorang yang berada dalam disonansi memberikan keadaan yang tidak nyaman, sehingga ia akan melakukan tindakan untuk keluar dari ketidaknyamanan tersebut.[1]
- Disonansi akan mendorong usaha untuk memperoleh konsonansi dan usaha untuk mengurangi disonansi.[1] Teori ini beranggapan bahwa rangsangan disonansi yang diberikan akan memotivasi seseorang untuk keluar dari inkonsistensi tersebut dan mengembalikannya pada konsistensi.[1]
Salah satu contoh dari disonansi kognitif adalah fabel dari Aesop yang berjudul "Serigala dan Anggur".[4] Dikisahkan seekor serigala lewat didekat sebuah pohon anggur.[4] Serigala tersebut lapar dan tergiur akan anggur ranum itu namun tidak sanggup mengambilnya.[4] Karena kecewa tidak bisa mendapatkan anggur, ia kemudian pergi dengan beranggapan bahwa anggur tersebut pastilah masam.[4]
Tingkat Disonansi
[sunting | sunting sumber]Merujuk kepada jumlah inkonsistensi yang dialami seseorang.[1] Tiga hal yang merujuk kepada tingkat disonansi seseorang:
- Tingkat kepentingan, yaitu seberapa signifikan tingkat masalah tersebut berpengaruh pada tingkat disonansi yang dirasakan.[1]
- Rasio disonansi, yaitu jumlah disonansi berbanding dengan jumlah konsistensi.[1]
- Rasionalitas merupakan alasan yang dikemukakan oleh seseorang yang merujuk mengapa suatu inkonsistensi muncul.[1]
Mengatasi Disonansi
[sunting | sunting sumber]Ada banyak cara untuk mengatasi disonansi kognitif, namun cara yang paling efektif untuk ditempuh adalah:
- Mengurangi pentingnya keyakinan disonan kita.[1]
- Menambahkan keyakinan yang konsonan.[1]
- Menghapus disonansi dengan cara mengubah persepsi (rasionalisasi).[1]
Kritik Terhadap Teori
[sunting | sunting sumber]- Teori ini dinilai kurang memiliki kegunaan karena teori ini tidak menjelaskan secara menyeluruh kapan dan bagaimana seseorang akan mencoba untuk mengurangi disonansi.[1]
- Kemungkinan pengujian tidak sepenuhnya terdapat dalam teori ini. Kemungkinan pengujian berarti kemampuan untuk membuktikan apakah teori tersebut benar atau salah.[1]
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r West, Richard dan Turner, Lynn H. 2008. Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan Aplikasi. Jakarta: PT. Salemba Humanika. Bab 7.
- ^ Kracht, C., & Woodard, D., Five Years (Hanover: Wehrhahn Verlag, 2011), p. 123.
- ^ (Inggris) Cognitive Consequences of Forced Compliance, Classics in the History of Psychology. Diakses pada 16 Januari 2012.
- ^ a b c d (Inggris) Elster, Jon (2001). Sour Grapes: Studies in the Subversion of Rationality. Cambridge University Press. Hapus pranala luar di parameter
|title=
(bantuan)