Lompat ke isi

Revolusi sosial

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Revolusi Oktober dalam lukisan The Bolshevik, karya Kustodiev.

Revolusi sosial merupakan suatu doktrin diktator proletariat Trotskyisme yang berasal dari Leon Trotsky[1] yang juga dikenal sebagai paham dari Komunis Internasional keempat[2] terhadap struktur kelas serta penciptaan aturan-aturan sosial yang baru.[3] Dalam suatu pergolakan, maka akan terbuka suatu zaman baru dalam kehidupan masyarakat dikarenakan terjadinya transformasi yang luas dan fundamental.[3]

Ciri-ciri

[sunting | sunting sumber]

Revolusi sosial berlangsung secara besar-besaran dan tiba-tiba dengan menggunakan kekerasan.[4] Pemberontakan yang ditandai oleh perubahan penguasa tanpa ada perubahan sistem kelas sosial atau distribusi kekuasaan dan pendapatan di kalangan kelompok masyarakat tidak termasuk ke dalam revolusi sosial.[4] Para orang revolusioner menentang pengikut gerakan reformasi, karenan orang-orang ini berkeyakinan bahwa reformasi yang berarti tidak mungkin tercipta bilamana sistem sosial yang ada tetap berlaku.[4] Mereka berpandangan bahwa perubahan mendasar hanya mungkin terlaksana bila sistem sosial yang berlangsung dapat diganti dan kaum elit disingkirkan.[4] Penyingkiran kaum elit sering kali dilaksanakan dengan cara menghukum atau mengasingkan mereka.[4] Pada kebanyakan revolusi, beberapa kelompok bersatu untuk meruntuhkan rezim penguasa.[4] Setelah itu terjadilah persaingan sengit antar-kelompok untuk memperebutkan kekuasaan.[4]

Salah satu bentuk tindakan revolusi sosial yang dilakukan adalah terorisme.[5] Terorisme termasuk ke dalam pergerakan revolusi yang menggunakan taktik pengeboman. penculikan, penyekapan, pembajakan dan pembunuhan.[5]

Penyebab revolusi sosial

[sunting | sunting sumber]

Skocpol (1979), Taylor (1984), dan Goldstone (1986) merumuskan alasan-alasan terjadinya sebuah revolusi sosial.[3]

  • Pertama, dikarenakan adanya kekuatan politik yang sangat terpusat pada negara, maka para bermunculan kaum petinggi pemerintahan yang sentralistis, misalnya sistem monarki Prancis sebelum tahun 1789, masa kekuasaan Tsar Rusia sebelum 1917 dan rezim Kuomintang di Cina sebelum 1949.[3] Sistem ini menimbulkan kemarahan dan serangan kolektif.[3]
  • Kedua, aliansi militer dengan rezim yang mapan diperlemah, sehingga militer tidak lagi dapat menjadi sarana yang diandalkan untuk menghancurkan kekacauan domestik.[3]
  • Ketiga, krisis politik terjadi dan membuat rezim yang ada menjadi tidak berdaya sehingga berujung pada kejatuhannya.[3] Krisis ini diakibatkan lagi akan jatuhnnya militer. Contohnya adalah kekalahan Cina oleh Jepang dalam Perang Dunia II.[3]
  • Keempat, lapisan penting masyarakat dikerahkan untuk melakukan pemberontakan yang membawa kaum elit baru naik ke atas kursi kekuasaan.[3] Revolusi kaum petani biasanya berasal dari pengambilalihan tanah oleh tuan tanah, peningkatan secara mencolok pajak atau sewa tanah atau karena masalah kelaparan.[3] Pemberontakan-pemberontakan masyarakat urban umumnya dipicu oleh naiknya harga bahan-bahan konsumsi dan tingginya angka pengangguran.[3]

Hubungannya dengan perubahan sosial

[sunting | sunting sumber]

Suatu perubahan sosial dan kebudayaan dapat pula bersumber pada sebab-sebab yang berasal dari luar masyarakat itu sendiri.[6]

Lingkungan alam fisik

[sunting | sunting sumber]

Terjadinya berbagai bencana alam menyebabkan masyarakat yang mendiami daerah-daerah itu terpaksa harus meninggalkan tempat tinggalnya.[6] Apabila mereka mendiami tempat yang baru, mereka harus menyesuaikan diri dengan keadaan alam yang baru yang akan mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan pada lembaga-lembaga organisasi mereka.[6] Penyebab yang bersumber pada lingkungan alam fisik kadang-kadang ditimbulkan oleh tindakan masyarakat itu sendiri.[6]

Peperangan dengan negara lain memicu perubahan-perubahan karena negara yang menang akan memaksakan kebudayaannya pada negara yang kalah.[6] Setelah Perang Dunia II banyak negara yang kalah mengalami perubahan dalam lembaga kemasyarakatannya, contohnya Jerman dan Jepang.[6]

Kebudayaan masyarakat lain

[sunting | sunting sumber]

Kebudayaan yang disebarkan oleh bangsa lain dapat mengakibatkan revolusi.[6] Hubungan yang dilakukan secara fisik antara dua kelompok masyarakat mempunyai kecenderungan untuk menimbulkan pengaruh timbal balik, yakni masing-masing masyarakat dapat memengaruhi masyarakat lainnya.[6] Apabila pengaruh dari masyarakat tersebut diterima tidak karena paksaan, hasilnya dinamakan demonstration effect.[6] Proses penerimaan pengaruh kebudayaan asing di dalam antropologi budaya dinamakan akulturasi.[6] Apabila salah satu dari 2 kebudayaan yang bertemu mempunyai taraf teknologi yang lebih tinggi, maka yang terjadi adalah proses imitasi, yaitu peniruan terhadap unsur-unsur kebudayaan lain.[6]

Setiap masyarakat atau kelompok yang melakukan revolusi memiliki komponen yang berbeda-beda, yakni ideologi, program atau pencapaian tujuan, taktik untuk memilih program atau pemimpin.[7]

Ideologi dari sebuah pergerakan menyuarakan dan membela kepentingan.[7] Beberapa pergerakan sosial melingkupi suatu variasi kelompok dan pandangan bahwa tidak ada nilai dan kepercayaan yang sejenis dan konsisten yang dapat ditunjukkan sebagai ideologi.[7] Contohnya adalah pergerakan feminis yang memperjuangkan kesetaraan kaum wanita dengan laki-laki.[7]

Banyak pergerakan sosial harus mencapai tujuan yang spesifik yang bisa menjadi basis para anggota serta pemimpinnya.[7] Contohnya, pergerakan para petani umumnya menuntut keadilan sosial. Pergerakan hak asasi manusia dimotivasikan oleh pandangan kesetaraan (ideology of quality).[7]

Untuk mencapai tujuan pergerakannya, sebuah kelompok harus menyusun taktik.[7] Pergerakan revolusi menggunakan bentuk yang paling drastis dengan aksi secara langsung untuk mencapai tujuan mereka.[7] Mereka sering kali mengorganisasikan pendukung dalam kelompok gerilya dan sering kali melakukan aksi teror.[7] Hal ini dimaksudkan untuk mengacaukan struktur sosial dan memaksa para otoritas untuk menggunakan penekanan yang akan menggerakkan opini publik melawan pemerintah.[7]

Kepemimpinan

[sunting | sunting sumber]

Gaya-gaya kepemimpinan berbeda dalam berbagai bentuk pergerakan. Beberapa pemimpin memiliki figur karismatik dan dianggap orang-orang yang luar biasa, dengan pemahaman yang sangat banyak mengenai situasi kontemporer, akar sejarahnya dan kemungkinan pada masa depan serta bagaimana cara mencapainya.[7] Pemimpin dengan karisma menggunakan magnetisme personal untuk menarik banyak pengikut, menuntun pergerakan mereka melewati krisis.[7]

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Trotsky, Leon (1970). My life: an attempt at an autobiography. Pathfinder Press. hlm. 602. 
  2. ^ John G. Wright, "Trotsky's Struggle for the Fourth International", Fourth International, August 1946.
  3. ^ a b c d e f g h i j k Rafael Raga, Maran (2001). Pengantar Sosilogi Politik, Suatu Pemikiran dan Penerapan. PT Rineka Cipta, Jakarta. ISBN 979-518-437-7. 
  4. ^ a b c d e f g Horton, Paul B (1984). Sosiologi, Edisi Keenam. Erlangga. ISBN 65-01-007-6. 
  5. ^ a b Kendall; Linden & Murray (2000). Sociology in our times. Nelson Thomson Learning, Ontario. ISBN 0--17-616679-3. 
  6. ^ a b c d e f g h i j k Seokanto, Soerjono (2009). Sosiologi, suatu pengantar. PT RajaGrafindo, Persada Jakarta. ISBN 979-421-009-9. 
  7. ^ a b c d e f g h i j k l Rose; Glazer & Glazer (1982). Sociology, Inquiring into Society. St.Martin's, Press New York. ISBN 0-312-73984-2.