Memayu hayuning bawana
Memayu hayuning bawana (aksara Jawa: ꦩꦼꦩꦪꦸꦲꦪꦸꦤꦶꦁꦧꦮꦤ) adalah filosofi atau nilai luhur tentang kehidupan dari kebudayaan Jawa.[1] Memayu hayuning bawana jika diartikan dalam bahasa Indonesia bisa berarti "mengalir dalam hembusan alam"[2] ataupun "memperindah keindahan dunia". Orang Jawa memandang konsep ini tidak hanya sebagai falsafah hidup namun juga sebagai pekerti yang harus dimiliki setiap orang.[1] Filosofi memayu hayuning bawana juga kental terasa dalam ajaran kejawen.[3][1]
Konsep Memayu Hayuning Bawana
[sunting | sunting sumber]Memayu Hayuning Bawana memiliki relevansi dengan wawasan kosmologi Jawa atau kosmologi kejawen. Kejawen memiliki wawasan kosmos yang tidak lain sebagai perwujudan konsep memayu hayuning bawana.[1] Memayu hayunig bawana adalah ihwal space culture atau ruang budaya dan sekaligus spiritual culture atau spiritualitas budaya.[1] Dipandang dari sisi space culture, ungkapan ini memuat serentetan ruang atau bawana. Bawana adalah dunia dengan isinya. Bawana adalah kawasan kosmologi Jawa.[1] Sebagai wilayah kosmos, bawana justru dipandang sebagai jagad rame. Jagad rame adalah tempat manusia hidup dalam realitas.[1] Bawana merupakan tanaman, ladang dan sekaligus taman hidup setelah mati.[1] Orang yang hidupnya di jagad rame menanamkan kebaikan kelak akan menuai hasilnya.[1]
Selain itu, memayu hayuning bawana juga menjadi spiritualitas budaya.[1] Spiritualitas budaya adalah ekspresi budaya yang dilakukan oleh orang Jawa di tengah-tengah jagad rame (space culture).[1] Pada tataran ini, orang Jawa menghayati laku kebatinan yang senantiasa menghiasi kesejahteraan dunia. Realitas hidup di jagad rame perlu mengendapkan nafsu agar lebih terkendali dan dunia semakin terarah. Realitas hidup tentu ada tawar-menawar, bias dan untung rugi.[1] Hanya orang yang luhur budinya yang dapat memetik keuntungan dalam realitas hidup.[1] Dalam proses semacam itu, orang Jawa sering melakukan ngelmu titen dan petung demi tercepainya bawana tentrem atau kedamaian dunia.[4] Keadaan inilah yang dimaksudkan sebagai hayu atau selamat tanpa ada gangguan apapun.[1] Suasana demikian oleh orang Jawa disandikan ke dalam ungkapan memayu hayuning bawana.[1]
Memayu hayuning bawana memang upaya melindungi keselamatan dunia baik lahir maupun batin.[1] Orang Jawa merasa berkewajiban untuk memayu hayuning bawana atau memperindah keindahan dunia, hanya inilah yang memberi arti dari hidup.[1] Di satu fisik secara harafiah, manusia harus memelihara dan memperbaiki lingkungan fisiknya.[1] Sedangkan di pihak lain secara abstrak, manusia juga harus memelihara dan memperbaiki lingkungan spritualnya.[1] Pandangan tersebut memberikan dorongan bahwa hidup manusia tidak mungkin lepas dari lingkungan.[1] Orang Jawa menyebutkan bahwa manusia hendaknya arif lingkungan, tidak merusak dan berbuat semena-mena.[5][6]
Rujukan
[sunting | sunting sumber]- ^ a b c d e f g h i j k l m n o p q r s t Suwardi Endraswara (2013). Memayu Hayuning Bawana. Yogyakarta: Narasi. hlm. 15-33.
- ^ YULIA NURSETYAWATHIE, DKK ; (2011). KHAZANAH KEUNIKAN BUMI JAWA (dalam bahasa Indonesia). TIGA ANANDA. ISBN 978-602-9111-59-0.
- ^ "Memayu Hayuning Bawana, Ambhrasta dur Hangkara". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-05-17. Diakses tanggal 15 Mei 2014.
- ^ Heniy Astiyanto (2006). Filsafat Jawa: Menggali Butir-Butir Kearifan Lokal. Yogyakarta: Warta Pustaka. hlm. 117.
- ^ "Mencari Jati Diri "Memayu Hayuning Pribadi"". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-05-17. Diakses tanggal 15 Mei 2014.
- ^ "Mamayu Rahayuning Jiwa, Mamayu Rahayuning Keluarga, Mamayu Hayuning Sesama, Mamayu Hayuning Bawana". Diarsipkan dari versi asli tanggal 2014-05-17. Diakses tanggal 15 Mei 2014.
Pranala luar
[sunting | sunting sumber]- Kutipan tentang Memayu hayuning bawana di Wikikutip