Dampak lingkungan dari invasi Rusia ke Ukraina 2022
Dampak dari invasi Rusia ke Ukraina 2022 tidak hanya terjadi pada bidang militer, politik, dan ekonomi, tetapi juga pada bidang lingkungan dan kesehatan. Invasi Rusia ke Ukraina telah menghancurkan ribuan bangunan, pemukiman, bahkan hingga seluruh perkotaan. Ratusan ribu orang meninggal dunia atau luka-luka. Jutaan orang mengungsi ke negara lain yang lebih aman.[1][2] Penyerangan dan pemusnahan pada hutan, daratan, lautan, fasilitas industri, transportasi, dan infrastruktur telah menimbulkan dampak yang sangat serius dan meluas dengan konsekuensi jangka panjang bagi lingkungan dan manusia. Kerusakan dan kerugian terparah dialami oleh provinsi-provinsi di bagian timur Ukraina, termasuk Donetsk, Luhansk, Kharkiv, Zaporizhzhia, dan Krimea.[3][1][4][5] Aktivis dan media menyebut kerusakan serius pada lingkungan ini dengan ekosida.[2]
Dampak lingkungan ini tidak hanya dialami oleh Ukraina, tetapi juga memberikan ancaman bagi negara-negara di sekitarnya, bahkan ekosistem global. Dampak invasi tersebut pada lingkungan diperkirakan akan berlangsung selama bertahun-tahun hingga berabad-abad, bahkan ketika perang telah berakhir.[3] Dampak lingkungan dalam skala yang lebih luas dan jangka yang lebih panjang masih dihitung oleh para ahli. Mengingat perang masih berlangsung, sulit untuk mendapat data yang akurat dan menganalisis keseluruhan dampaknya pada berbagai dimensi lingkungan.[3][1][4][6]
Dampak lingkungan yang ditimbulkan invasi Rusia ke Ukraina pada 2022 dapat dibagi menjadi 3 macam: Pertama, kerusakan lingkungan akibat perang yang meliputi pencemaran, polusi, dan kerusakan pada berbagai sektor. Kedua, dampak secara langsung pada lingkungan dan manusia, seperti dampak pada area konservasi, dampak pada sumber air, peningkatan ancaman pada kesehatan penduduk, dan lain-lain. Ketiga, dampak secara tidak langsung yang meliputi dampak pada Ukraina, Rusia, dan negara-negara di sekitarnya.[3][7][8]
Kerusakan lingkungan akibat perang
[sunting | sunting sumber]Kerusakan lingkungan akibat perang dapat berlangsung selama bertahun-tahun hingga berabad-abad. Dampak lingkungan pada skala yang lebih kecil dapat dilihat pada aneksasi Krimea dan sebagian wilayah Donetsk dan Luhansk, negara bentukan Rusia yang memproklamirkan diri sebagai entitas terpisah dari Ukraina.[6][9] Dampak lingkungan yang lebih besar sedang terjadi selama invasi Rusia ke Ukraina pada 2022 yang telah berlangsung selama kurang lebih satu tahun. Menurut para ahli, telah terjadi kerusakan lingkungan yang masif dan masih akan terus berlangsung bahkan hingga konflik berakhir.[3][1][4][7]
Kerusakan akibat amunisi dan bahan peledak
[sunting | sunting sumber]Invasi Rusia ke Ukraina tidak terlepas dari penggunaan amunisi, ranjau darat, dan bahan peledak untuk menyerang dan menguasai wilayah musuh. Penggunaan amunisi dan bahan peledak, alat berat, kendaraan militer, dan logam telah mengakibatkan kerusakan akibat zat kimia beracun dan residu bahan logam yang digunakan. Residu bom dan misil yang meledak dapat membentuk kawah dan mengakibatkan polusi kimia pada tanah dan perairan. Ditambah lagi, sekitar 30 juta hektar lahan di Ukraina telah ditanam ranjau darat yang mana mengancam lingkungan sekitar karena rentan mencemari lingkungan dan membahayakan aktivitas penduduk.[1][10]
Pencemaran & limbah B3
[sunting | sunting sumber]Perang ini telah menyebabkan pencemaran dan pembuangan limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), termasuk limbah militer, limbah medis, dan limbah kimiawi dalam skala besar. Baik pihak Ukraina dan Rusia sama-sama bertanggung jawab atas terjadinya pencemaran dan pembuangan limbah dengan cara yang tidak aman dan merusak lingkungan.[3][1] Konflik dan perang terbuka menggunakan beragam gas, zat kimia, dan material yang dapat mengandung racun. Senjata dan peledak mengandung material, logam berat beracun dan polutan yang dapat mencemari lokasi ledakan dan lingkungan yang lebih luas. Konflik bersenjata juga meninggalkan puing-puing bangunan dan amunisi, kendaraan militer, dan ranjau darat. Apabila sampah dan limbah dibuang secara sembarangan ke sungai atau perairan lainnya atau dikubur dalam tanah sehingga menyebabkan pencemaran tanah. Selain itu, peledakan bangunan dan instalasi umum seperti ladang minyak, fasilitas umum, dan markas militer juga mengakibatkan pelepasan gas-gas berbahaya, seperti karbon dioksida, ke atmosfer yang memperparah kerusakan lingkungan.[1] Data dari konflik yang telah terjadi menunjukkan tingkat logam berat dan substansi beracun dalam lingkungan semakin tinggi yang meningkatkan risiko kesehatan dalam jangka panjang.[1][9]
Polusi udara
[sunting | sunting sumber]Peledakan berbagai fasilitas dan kebakaran hutan menimbulkan pelepasan asap dan zat beracun ke udara. Hal ini juga menyebabkan pencemaran dan polusi udara.[7]
Kerusakan di sektor infrastruktur
[sunting | sunting sumber]Baik Ukraina dan Rusia sama-sama mengalami kerusakan infrastruktur sebagai akibat dari perang yang berlangsung. Penyerangan terhadap fasilitas-fasilitas dan infrastruktur publik seperti jalan raya, jalan tol, rumah sakit, pemukiman, gedung perkantoran, dan infrastruktur penunjang lainnya telah menyebabkan kerusakan masif. Akibatnya, jaringan listrik, air, gas, dan telekomunikasi pun terputus di beberapa wilayah dan menghambat keberlangsungan hidup penduduk di medan perang. Reruntuhan dan puing-puing bangunan juga mengandung partikel debu dan zat-zat beracun seperti asbestos. Sisa-sisa amunisi dan bahan peledak juga mengandung bahaan B3 yang dapat mencemari lingkungan dan mengancam kesehatan penduduk.[1][10]
Kerusakan di sektor pertanian
[sunting | sunting sumber]Sebagian besar lahan pertanian, terutama di wilayah timur Ukraina, telah mengalami kerusakan akibat invasi Rusia ke Ukraina. Lahan-lahan pertanian produktif telah berubah drastis. Hal ini menyebabkan penurunan produksi pertanian secara drastis, kehilangan pendapatan dan pekerjaan bagi petani, dan kerentanan pangan. Kerugian di sektor pertanian tercatat berasal dari penurunan volume produksi, penurunan harga pokok pertanian, dan peningkatan biaya produksi seperti pupuk dan BBM. Sementara 54% kerugian berasal dari penurunan harga pokok komoditas ekspor seperti gandum, barley, jagung, dan biji bunga matahari. Hal ini juga berpengaruh pada krisis pangan dunia, mengingat Ukraina merupakan salah satu produser biji bunga matahari dan gandum terbesar di dunia dan penghasil kentang dan biji-bjian utama di Eropa. Ukraina juga memiliki sektor peternakan yang cukup besar, tetapi invasi telah membuat sektor peternakan terancam.[1][3]
Kerusakan di sektor industri
[sunting | sunting sumber]Sektor industri dan manufaktur Ukraina juga mengalami kerusakan yang dapat menimbulkan dampak lingkungan jangka pendek dan jangka panjang. Ukraina merupakan salah satu negara yang bergantung pada sektor pertambangan dan industri karena negara ini kaya akan sumber daya mineral, seperti batu bara, besi, baja, titanium, dan bauksit. Negara ini juga punya industri kimia yang maju, dengan produksi utama pupuk, pestisida, petrokimia, dan farmasi. Sedangkan industri alat berat memproduksi berbagai produk seperti truk, kereta lokomotif, kereta barang, turbin, dan generator listrik.[1] Per Juni 2022, tercatat ada 7 insiden pelepasan zat kimia industri beracun di wilayah industri akibat aktivitas militer yang telah dikonfirmasi pemerintah Ukraina. Zat kimia industri beracun ini bervariasi, mulai dari amonia dalam bentuk gas dan cair dan asam nitrat. Terdapat pula 1 kasus destruksi gudang obat dan bahan mentah di pabrik farmasi yang dikonfirmasi. Selain itu, terdapat dugaan pelepasan agen perang kimia berdasarkan rekaman video dan berita yang mengklaim pelepasannya di pabrik Mariupol Azovstal.[1]
Dampak pada sistem ekologi
[sunting | sunting sumber]Serangan militer seringkali meluluhlantakkan vegetasi dan menghancurkan ekosistem lokal untuk menghilangkan pelindung alami bagi musuh dan membuat wilayah tersebut tak bisa ditinggali oleh penduduk hingga memaksa mereka meninggalkan wilayahnya. Hal ini punya dampak yang siginifikan pada tanah, air, dan keanekaragaman hayati.[1]
Sumber air
[sunting | sunting sumber]Kerusakan pada infrastruktur air mengakibatkan warga kesulitan mengakses sumber air bersih dan menurunkan kualitas air. Selain itu, sumber air juga tercemari dengan polutan seperti timbal, arsenik, dan logam berat karena penggunaan bahan kimia dan bahan peledak yang di sungai dan danau sehingga tidak aman untuk digunakan penduduk. Sekitar 1,4 juta penduduk Ukraina tidak memiliki akses air bersih; sementara 4,6 juta lainnya hanya memiliki akses terbatas.[3][7] Menurut UNICEF, sekitar 13,6 juta penduduk kekurangan akses air untuk kebutuhan sanitasi dan kebersihan. Wilayah yang paling terdampak ialah Druzhkivka, Donetsk, Kostiantynivka, Berdyansk, Mariupol, Mykolaiv, Popasna, Primorska, Izium, Rubizhne, Sumy, Lysychansk, Trostianets, Sievierodonetsk, Kharkiv, and Chernihiv.[3]
Keanekaragaman hayati
[sunting | sunting sumber]Ukraina memiliki keberagaman habitat yang tinggi, di antaranya ekosistem stepa, hutan beech purba, lahan gambut, padang rumput alpine, dan ekosistem lahan basah pesisir yang menjadi tempat tinggal berbagai macam spesies. Negara ini menjadi bagian dari "Jantung Hijau Eropa", wilayah ekologi yang membentang dari Eropa Tengah hingga Eropa Timur. Meski wilayahnya tidak terlalu luas, Ukraina menjadi habitat bagi 35% keanekaragaman hayati di Ukraina dengan sekitar 70.000 spesies flora dan fauna, termasuk bison Eropa, beruang cokelat, lynx, serigala, dan ikan sturgeon yang sangat langka.[5]
Invasi Rusia ke Ukraina juga berdampak pada keanekaragaman hayati di dalam dan di luar wilayah yang dilindungi. Aksi militer dari pasukan Rusia dan Ukraina mengancam habitat spesies yang dilindungi, termasuk burung dan mamalia. Selain itu, invasi terjadi menjelang musim semi ketika hewan mulai mencari pasangan dan makanan serta membesarkan anak-anak mereka. Di musim semi, unggas air bermigrasi di sepanjang pesisir Ukraina, beruang mengakhiri masa hibernasi, dan spesies ungulata liar melahirkan anak. Konflik ini telah menimbulkan disrupsi pada kehidupan hewan-hewan liar dan mengancam keberlangsungan sebagian besar spesies.[5]
Wilayah konservasi
[sunting | sunting sumber]Menurut data dari Kementerian Lingkungan dan SDA Ukraina, setidaknya 30% atau 900 wilayah yang dilindungi seluas 1,2 juta hektar telah mengalami kerusakan akibat penyerangan, pengeboman, pencemaran minyak, dan agresi militer. Sekitar 200 wilayah seluas 2,9 juta hektar Jaringan Zamrud (Emerald Network)—jaringan kawasan konservasi negara-negara Eropa―juga terancam. Sebanyak 24 kawasan konservasi di provinsi Donetsk, Luhansk, Zaporizia, Kherson, Mykolaiv, Kharkiv, Sumy, Chernihiv, Kyiv, dan Krimea juga berhenti beroperasi akibat invasi.[5][6]
Konflik menyebabkan terjadinya pengurangan wilayah konservasi dan berkurangnya sumber daya untuk menjaga dan mengelola wilayah konservasi seperti hutan lindung dan taman nasional. Salah satu alasannya karena sumber daya Ukraina dikerahkan untuk perang dan petugas konservasi kini berubah jadi tentara untuk berperang demi negaranya. Penggundulan dan degradasi hutan terjadi secara masif untuk memenuhi kebutuhan sumber daya. Akibatnya, wilayah konservasi menjadi semakin terancam. Hal ini juga berpengaruh pada keberlangsungan ekosistem lokal dan meningkatkan kemungkinan berkurangnya populasi spesies tanaman dan hewan yang dilindungi serta ancaman kepunahan. Ancaman perburuan spesies dilindungi atau penebangan liar juga meningkat karena sebagian petugas konservasi mendaftar sebagai tentara atau tidak mampu menjalankan operasi penegakan hukum yang optimal akibat ketiadaan sumber daya.[5][7]
Dampak kesehatan
[sunting | sunting sumber]Bahan kimia B3 yang mencemari udara, tanah, dan air tanah memiliki dampak yang signifikan bagi kesehatan manusia. Uranium terdeplesi dan bahan beracun dalam peledak dapat menimbulkan iritasi kulit, gagal ginjal, hingga risiko kanker. Zat kimia beracun juga berdampak pada kesehatan reproduktif, saluran pernafasan, dan darah. Perang juga meningkatkan bahaya pada lingkungan fisik seperti ledakan dan kebakaran.[1] Selain itu, perang juga meningkatkan penyebaran penyakit di Rusia dan Ukraina. Penyakit menular seperti diare, malaria, dan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) semakin meningkat karena berkurangnya layanan kesehatan yang memadai. Meningkatnya penyebaran penyakit dan dampak kesehatan akibat perang juga meningkatkan angka kematian dan orang sakit di kedua negara.[1][7]
Dampak tidak langsung
[sunting | sunting sumber]Salah satu dampak lingkungan tidak langsung Perang Rusia-Ukraina adalah migrasi penduduk secara besar-besaran. Perang ini memaksa jutaan orang penduduk Rusia dan Ukraina mengungsi ke wilayah atau negara lain yang lebih aman. Sekitar sepertiga penduduk Ukraina telah mengungsi. Per Agustus 2022, terdapat 6,8 juta pengungsi dari Ukraina yang tercatat mengungsi ke negara-negara Eropa lain, mayoritas perempuan dan anak-anak. Sekitar 6,6 juta orang lainnya diperkirakan telah meninggalkan tempat asal dan mengungsi ke wilayah lain yang lebih aman.[3]
Perpindahan atau migrasi penduduk dalam jumlah besar dalam waktu yang relatif singkat ini memberikan tekanan pada sumber daya alam dan fasilitas umum negara lain. Negara yang menjadi tujuan pengungsi seperti Polandia, Jerman, dan Prancis belum tentu dapat memberikan ruang yang layak bagi para pengungsi untuk bertahan hidup. Migrasi secara besar-besaran juga berpengaruh pada sistem pertanian, peternakan, dan perkebunan di wilayah asal yang ditinggal para pekerja.[3]
Wilayah dengan kerusakan lingkungan parah
[sunting | sunting sumber]Pada umumnya, wilayah timur Ukraina mengalami kerusakan lingkungan yang lebih parah dibanding wilayah-wilayah lainnya akibat Perang Rusia-Ukraina. Wilayah Donbas, yang terdiri atas Donetsk dan Luhansk, diperkirakan mengalami kerusakan yang paling parah. Meski demikian, krisis lingkungan di wilayah ini diduga disebabkan oleh kondisi-kondisi yang ada sebelum perang, di antaranya sejarah penambangan skala besar, industri dan manufaktur yang padat dan uji coba nuklir.[8] Wilayah Donbas pada awalnya adalah area pertambangan batu bara. Donbas adalah singkatan dari Donetsky Bassein yang berarti "cekungan batu bara Donetsk" karena punya cadangan batu bara yang telah ditambang selama lebih dari 200 tahun di wilayah seluas 60.000 km².[8]
Sebelum terjadi Perang Rusia-Ukraina, wilayah ini telah di ambang kerusakan lingkungan parah. Kondisi tersebut semakin diperparah dengan kondisi konflik yang memicu pelepasan zat-zat kimia yang berbahaya bagi para penduduk.[8]
Proposal ganti rugi kerusakan lingkungan
[sunting | sunting sumber]Pada 18 Oktober 2022, media Amerika Serikat, TIME, melaporkan bahwa Kementerian Lingkungan Ukraina akan menuntut Rusia melalui hukum internasional untuk membayar kerugian dan kerusakan lingkungan akibat perang.[11] Pembayaran ganti rugi untuk kerusakan lingkungan akibat perang memang jarang terjadi, tetapi sudah ada preseden sebelumnya. Misalnya, Dewan Keamanan PBB memaksa Irak membayar ganti rugi atas kerugian yang dialami Kuwait sebesar 52 miliar dolar AS, di mana 3 miliar dolar di antaranya untuk membayar kerusakan lingkungan selama Perang Teluk I. Pada kasus Ukraina, kerusakan dan kerugian diperkirakan jauh lebih besar, dengan estimasi mencapai 350 miliar dolar AS.[11]
Referensi
[sunting | sunting sumber]- ^ a b c d e f g h i j k l m n o "The Environmental Impact of the Conflict in Ukraine: A Preliminary Review". UNEP - UN Environment Programme (dalam bahasa Inggris). 2022-10-14. Diakses tanggal 2022-12-24.
- ^ a b Harrison, Emma Graham (2022-08-27). "Toxins in soil, blasted forests – Ukraine counts cost of Putin's 'ecocide'". the Guardian (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-01-09.
- ^ a b c d e f g h i j k "Ukraine Rapid Damage and Needs Assessment". World Bank (dalam bahasa Inggris). 31 Juli 2022. Diakses tanggal 2022-12-20.
- ^ a b c Pearce, Fred (2022-08-29). "Collateral Damage: The Environmental Cost of the Ukraine War". Yale E360 (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-12-24.
- ^ a b c d e Vykhor, Bohdan (2022-06-13). "Assessing the environmental impacts of the war in Ukraine". WWF (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-12-24.
- ^ a b c "Nature and War: How Russian Invasion Destroys Ukrainian Wildlife" (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-01-09.
- ^ a b c d e f "Environmental impacts of the war in Ukraine and prospects for a green reconstruction". Organisation for Economic Co-operation and Development (dalam bahasa Inggris). 1 Juli 2022. Diakses tanggal 2022-12-20.
- ^ a b c d Hook, Kristina; Marcantonio, Richard (2022-02-13). "Environmental dimensions of conflict and paralyzed responses: the ongoing case of Ukraine and future implications for urban warfare". Small Wars & Insurgencies. 0 (0): 1–29. doi:10.1080/09592318.2022.2035098. ISSN 0959-2318.
- ^ a b Dathan, Jennifer (3 Juli 2020). "The broken land: The environmental consequences of explosive weapon use - Syrian Arab Republic | ReliefWeb". reliefweb.int (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2023-01-07.
- ^ a b Ana, G.R.E.E.; Sridhar, M.K.C.; Olakunle, E.O.; Gregory, A.U. (2007-02-27). "Bomb explosions, environment and health: a Nigerian experience". Disaster Prevention and Management (dalam bahasa Inggris). 16 (1): 6–14. doi:10.1108/09653560710729767. ISSN 0965-3562.
- ^ a b de la Garza, Alejandro (18 Oktober 2022). "Ukraine Wants Russia to Pay for the War's Environmental Impact". Time (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2022-12-24.