Lompat ke isi

Syarif Saif al-Alam

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Sayyid Abdullah
Sultan Syarif Saif al-Alam Syah
Kesultanan Aceh
Berkuasa1815–1819
PendahuluAlauddin Jauhar ul-Alam Syah
PenerusSultan Alauddin Jauhar ul-Alam Syah
Kematian1828
-
AgamaAgama Islam

Sultan Syarif Saif al-Alam Syah (meninggal tahun 1828) adalah sultan Kesultanan Aceh. Ia memerintah pada tahun 18151819 setelah berhasil menggulingkan takhta sultan sebelumnya Sultan Alauddin Jauhar ul-Alam Syah.

Latar Belakang

[sunting | sunting sumber]

Nama aslinya adalah Sayyid Abdullah. Ia merupakan putra Tuanku Sayyid Husein Al-Aidid (lebih dikenal sebagai Habib Husein), seorang saudagar kaya dari Penang pulau lepas pantai barat Semenanjung Malaya yang telah menjadi koloni Inggris sejak tahun 1786. Keluarganya diakui sebagai keturunan sultan Aceh Sultan Jamalul Alam Badrul Munir (1703-1726). dimasa lampau seorang putri sultan telah menikah dengan seorang Sayyid yang melahirkan Sayyid Husein[1][2] Keluarga itu meninggalkan Aceh pada tahun 1770–an dan selanjutnya menetap di Kepulauan Riau kemudian diketahui pindah ke Kuala Selangor sebelum akhirnya menetap di Penang. Sayyid Husein memiliki usaha perdagangan yang cukup luas di Aceh. Ia mengumpulkan lada dari pantai barat dan sirih dari Pidie yang dibarter dengan kain.[3]

Pemberontakan Menentang Sultan Jauhar ul-Alam Syah

[sunting | sunting sumber]

Sayyid Husein Al-Aidid suatu ketika bermasalah dengan Sultan Jauhar ul-Alam Syah, tepatnya pada awal abad kesembilan belas ketika sultan berupaya mengontrol perdagangan yang membangkitkan ketidakpuasan dari para pedagang Aceh dan para uleebalang, sementara Inggris pada saat yang sama sedang berusaha membujuk sultan untuk diberikan akses gratis bagi kapal dagang Inggris yang masuk ke pelabuhan Aceh. Masalah tersebut membuat Sayyid Husein melibatkan diri dalam gerakan untuk menggulingkan Sultan Alauddin Jauhar ul-Alam Syah. Pemberontakan bersenjata meletus pada bulan Oktober 1814, dan pada bulan April tahun 1815 Sayyid Husein dinobatkan menjadi sultan Aceh oleh para panglima dari tiga sagi. Ia tetap meneruskan tahta Sultan kepada putranya Sayyid Abdullah Al-Aidid pada bulan November tahun yang sama. Sultan Sayyid Abdullah bin Sultan Sayyid Husein Al-Aidid mengambil nama tahta Sultan Syarif Saiful Alam Syah.[4]

Perang Sipil

[sunting | sunting sumber]

Ketika Sultan Alauddin Jauhar ul-Alam Syah kembali ke Aceh pada tahun 1816 dan mulai menggalang kekuatan melawan Syarif Saiful Alam Syah. Perseteruan bersenjata kembali terjadi namun kedua belah pihak tak pernah cukup memiliki kekuatan untuk menjatuhkan lawannya. Para uleebalang juga kini tidak lagi memberikan dukungan sepenuhnya buat Syarif Saiful Alam Syah sebagaimana yang diikrarkan sebelumnya. Karena hal itu maka Sultan yang merasa tidak terlalu aman di istana memilih pindah ke tempat kediamannya ditepi pantai.[5]

Menurut sumber yang bisa dipercaya, Sultan mengandalkan dukungan ayahnya secara finansial. 200 orang prajurit bayaran direkrut di Penang untuk mendukung Sultan. Tetapi Inggris tidak pernah tertarik melibatkan diri secara langsung. Pada tahun 1816 Sayyid Husein ditangkap oleh penguasa kolonial Inggris dengan tuduhan terlibat dalam aksi pembajakan. Hal ini disebabkan oleh adanya penyerangan terhadap Kapal-kapal dagang Inggris oleh pendukung Syarif Saiful Alam Syah di wilayah yang mendukung Sultan Alauddin Jauhar ul-Alam Syah.[6] Namun tidak berselang lama ia dibebaskan.[6]

Sementara itu ketika Perang Napoleon di Eropa usai. Inggris menjadi tertarik untuk mencari solusi di Aceh yang diharapkan akan mendukung kepentingan perdagangan lada. Sebuah misi di bawah John Coombs mengunjungi Aceh pada tahun 1818 dan menjumpai Syarif Saiful Alam Syah yang mengajukan klaim bahwa dirinya adalah pihak yang memegang hak penuh untuk takhta sultan Aceh. Coombs melakukan sebuah perjanjian dengannya yang oleh sultan disahkan dengan penuh semangat. Tahun berikutnya misi lain diberangkatkan bawah pimpinan Coombs yang bergabung dengan Thomas Stamford Raffles yang sedang dalam perjalanannya Raffles mendirikan koloni baru di Singapura pada bulan Februari. Misi ini tiba ke Aceh pada bulan Maret, tetapi Raffles mengambil posisi lain dari Coombs tahun lalu. Klaim tahta sultan dianggap tidak sah dan Sultan Alauddin Jauhar ul-Alam Syah menjadi alternatif pemilik sah tahta Sultan.[7] Inggris sekarang mengikat perjanjian dengan Sultan Alauddin Jauhar ul-Alam Syah pada bulan April 1819. Sayyid Husein yang telah kehilangan uang dalam jumlah besar pada petualangannya dan putranya di Aceh tidak melihat kesempatan lagi untuk mempertahankan posisinya tanpa didukung oleh Inggris. Akhirnya Sultan meninggalkan Aceh pada awal tahun 1820 dan berlayar menuju Kolkata untuk memohon peninjauan atas kasusnya. Ia tidak mendapatkan dukungan dari pemerintah kolonial dan kembali ke Penang pada bulan Juli tahun 1820. Menetap disana dan melupakan segala ambisi kekuasaannya di Aceh.[8] Namun kepergiaannya itu tidak juga mendatangkan kedamaian di Aceh.[9]

Setelah Kehilangan Tahta

[sunting | sunting sumber]

Bekas Sultan itu sekarang menetap di Penang di mana ia menerima kompensasi 6.000 dolar per tahun. Ayahnya Sayyid Husein telah kehilangan minat untuk tahta Aceh dan melanjutkan aktivitas perdagangan nya. Ia meninggal pada tahun 1826 dan dimakamkan di lingkungan sebuah masjid di Penang. Seorang putra Sayyid Husein bernama Sayyid Agil, berusaha menjadi sultan Deli pada 18261827 tetapi tidak berhasil. Pada tahun 1828 Syarif Saiful Alam meninggal ketika sedang dalam perjalanan melaksanakan Ibadah Haji ke Mekkah.

Referensi

[sunting | sunting sumber]
  1. ^ Menurut Zainuddin (1961), p. 413, dia keturunan Sultanah Kamalat Syah (16881699).
  2. ^ Lee (1995), p. 291.
  3. ^ Lee (1995), p. 219.
  4. ^ Lee (1995), pp. 217-24.
  5. ^ Lee (1995), p. 246. Djajadiningrat (1911), p. 208, mengatakan ia pindah ke Kuta Meugat.
  6. ^ a b Lee (1995), pp. 256-7.
  7. ^ Lee (1995), 292.
  8. ^ Lee (1995), pp. 299-301.
  9. ^ Djajadiningrat (1911), p. 210.

Pranala Luar

[sunting | sunting sumber]
  • Djajadiningrat, Raden Hoesein (1911) 'Critische overzicht van de in Maleische werken vervatte gegevens over de geschiedenis van het soeltanaat van Atjeh', Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 65, pp. 135–265.
  • Lee Kam Hing (1995) The Sultanate of Aceh: Relations with the British, 1760-1824. Kuala Lumpur: Oxford University Press.
  • Zainuddin, H.M. (1961) Tarich Atjeh dan Nusantara, Jilid I. Medan: Pustaka Iskandar Muda.
Didahului oleh:
Sultan Alauddin Jauhar ul-Alam Syah
Sultan Aceh
18151819
Diteruskan oleh:
Sultan Alauddin Jauhar ul-Alam Syah