Lompat ke isi

Perang Goguryeo-Sui

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Perang Goguryeo-Sui
Tanggal598 - 614
LokasiManchuria, Laut Kuning, Laut Bohai, wilayah utara Korea
Hasil Kemenangan Goguryeo
Pihak terlibat
Kerajaan Goguryeo Dinasti Sui, Cina
Tokoh dan pemimpin
Raja Yeongyang
Eulji Mundeok
Gang Yi-Sik
Go Geon-Mu
Kaisar Yang dari Sui
Yang Liang
Gao Jiong
Yuwen Shu
Yu Zhongwen
Lai Hu'er
Lai Huni
Zhou Luohou
Kekuatan
sekitar 200.000 3-5 juta
Korban
tidak jelas tidak jelas, diperkirakan lebih dari setengah pasukan gugur

Perang Goguryeo-Sui (598-614) adalah perang besar antara Dinasti Sui, Cina melawan Kerajaan Goguryeo, Korea. Selama tahun 598 hingga 614, Cina beberapa kali melakukan kampanye militer menyerbu Korea, tetapi selalu gagal karena perlawanan yang sengit dari bangsa Korea dan ganasnya cuaca. Perang ini menyebabkan huru-hara di dalam negeri Cina karena pemberontakan dari rakyat yang diperas harta dan tenaganya untuk membiayai perang. Akibatnya stabilitas nasional pun goyah dan berujung pada runtuhnya Dinasti Sui tahun 618.

Latar belakang

[sunting | sunting sumber]

Pada tahun 589, Kaisar Wen (Yang Jian), sang pendiri Dinasti Sui, menaklukan Dinasti Chen dan berhasil menyatukan Cina yang sebelumnya terpecah-belah dalam Zaman Dinasti Selatan dan Utara. Setelah penyatuan itu, Cina menjadi negara adidaya di Asia dan negara-negara sekitarnya menyatakan tunduk padanya. Korea sendiri saat itu sedang dalam Zaman Tiga Negara. Goguryeo, salah satu dari tiga negara itu, menolak untuk tunduk pada Cina. Raja Pyeongwon dan penerusnya Raja Yeongyang menuntut status sama dan sejajar dengan Cina.

Kaisar Wen sangat marah atas kelancangan Goguryeo yang sering melakukan serangan kecil di sepanjang perbatasan utara kedua negara. Pada tahun 596, Kaisar Wen mengirim nota diplomatik ke Goguryeo setelah utusan Sui mendapati diplomat Goguryeo sedang menjalin persekutuan dengan Tujue Timur (suku pengembara Turki di wilayah utara Cina). Dalam nota diplomatik tersebut Cina menuntut agar Goguryeo membatalkan aliansi militer dengan Tujue; menghentikan serangan di perbatasan; dan mengakui Cina sebagai penguasa tertinggi. Ultimatum ini ditanggapi dingin oleh Raja Yeongyang, tahun berikutnya, ia bersama suku Mohe (nenek moyang suku Manchu di utara Cina) melakukan serbuan besar terhadap pos-pos jaga Cina di wilayah yang sekarang menjadi Provinsi Hebei.

Perang pertama (598)

[sunting | sunting sumber]

Kaisar Wen mengirim putra bungsunya, Yang Liang, dengan didampingi oleh penasehat kaisar Gao Jiong dan Laksamana Zhou Luohou, memimpin pasukan sebesar 300.000 (termasuk angkatan darat dan laut) untuk menaklukan Goguryeo

Setiba di Korea, Yang Liang dan pasukannya menghadapi musim hujan yang datang lebih awal. Hujan lebat menghambat gerak laju pasukan dan transportasi peralatan perang. Mereka pun harus menghadapi perlawanan sengit dari pasukan Goguryeo sehingga jatuh banyak korban. Yang Liang sadar bahwa ia sendirian tidak akan sanggup mencapai kemenangan, maka ia memutuskan untuk bergabung dengan angkatan laut yang dipimpin Zhou.

Zhou sendiri mengalami masalah cukup serius, situasi di laut saat itu tidak bersahabat, gelombang besar dan badai sering terjadi sehingga banyak kapal yang karam sebelum mencapai tujuan. Ketika mereka tiba di pesisir, pasukan Goguryeo telah siap menyambut mereka. Pertempuran antara angkatan laut Sui melawan angkatan laut Goguryeo yang berkekuatan 50.000 dibawah pimpinan Laksamana Gang Yi-Sik itu terjadi sekitar Laut Bohai. Armada Sui menderita kerugian besar akibat sergapan musuh dan ganasnya alam.

Baik di laut maupun di darat Cina telah kalah, catatan sejarah menyebutkan sekitar 90% pasukan Sui gugur dalam perang itu, sementara kerugian di pihak Goguryeo tidak sebesar itu. Yang Liang tidak punya pilihan lain selain mundur. Kekalahan ini merupakan tamparan keras bagi Kaisar Wen yang sepanjang hidupnya baru pernah mengalami kekalahan sebesar ini. Sebelum ia sempat mengirim ekspedisi militer untuk membalas kekalahannya ia sudah keburu meninggal tahun 604, diduga dibunuh oleh putranya sendiri, Yang Guang.

Perang kedua (612)

[sunting | sunting sumber]

Persiapan

[sunting | sunting sumber]

Yang Guang naik tahta pada tahun 604 dengan gelar Kaisar Yang dari Sui. Proyek besar pada masa pemerintahannya adalah pembangunan Kanal Besar yang menghubungkan dua sungai besar di utara dan selatan Cina. Kanal ini juga berfungsi sebagai jalur transportasi besar-besaran untuk keperluan perang. Jutaan rakyat meninggal dalam pembangunan kanal ini, tetapi kaisar tidak peduli, ia malah memamerkan keagungannya dengan berlayar bersama selir-selirnya di kanal itu diatas sebuah perahu mewah. Perbuatannya ini membangkitkan kemarahan rakyat.

Setelah proyek Kanal Besar rampung, ia mulai merekrut prajurit pada tahun 611. Mereka yang terpilih dikumpulkan di pos militer Zhuozhou (sekarang Beijing) sebelum diberangkatkan ke Korea. Menurut Kitab Sui, pasukan itu adalah yang terbesar (sekitar 1.138.000 prajurit siap tempur)yang pernah dimobilisasikan hingga masa ditulisnya kitab itu. Jumlah ini belum termasuk pasukan pendukung yang bertanggung jawab atas penyediaan logistik dan transportasi peralatan, yang konon jumlahnya juga tidak sedikit. Jumlah keseluruhan pasukan tersebut hingga kini masih diperdebatkan, perkiraan sementara adalah 3-5 juta lebih. Mereka mulai diberangkatkan pada awal 612 dan pemberangkatan itu membutuhkan waktu sepanjang 40 hari karena jumlahnya yang sedemikian besar. Pasukan itu membentuk barisan sepanjang 400 km bila dibariskan.

Kampanye militer di Manchuria

[sunting | sunting sumber]

Menghadapi invasi ini, Raja Yeongyang mengambil keputusan dengan bijak dan tepat. Ia melepaskan wilayah-wilayah penyangga yang telah didudukinya pada perang tahun 598 dengan pertimbangan wilayah-wilayah itu tidak cocok untuk menghadapi musuh dengan kekuatan besar. Pasukan Goguryeo ditarik mundur hingga ke wilayah Sungai Liao. Dengan demikian mereka telah meraih satu keuntungan yaitu, lapisan es sungai itu meleleh lebih dini dari biasanya. Ketika pasukan Sui yang dipimpin langsung oleh kaisar tiba disana, sungai itu telah mencair seluruhnya. Kaisar Yang segera memerintahkan untuk membangun tiga jembatan untuk menyeberangi sungai. Karena keterbatasan bahan, jembatan itu tidak cukup panjang untuk mencapai seberang, pasukan Goguryeo memanfaatkan kesempatan ini untuk melakukan sergapan sehingga berhasil mematahkan serangan pertama lawan. Namun tak lama kemudian Cina memperpanjang jembatan itu sehingga mereka berhasil menyeberangi sungai dengan lancar, lalu terus maju mengepung benteng-benteng Goguryeo.

Sebelum kampanye itu, Kaisar Yang telah mengingatkan para jenderalnya agar tidak sembarangan mengambil keputusan sendiri mengenai pergerakan pasukan, mereka diharuskan melapor terlebih dahulu untuk menerima instruksi selanjutnya. Perintah inilah yang membuat pasukan Sui tidak dapat bermanuver dengan efektif karena luasnya medan dan juga ganasnya cuaca. Ketika mereka mengepung Benteng Yodong, komandan pasukan harus mengirim pembawa pesan dulu ke kaisar untuk melaporkan mengenai tawaran menyerah musuh. Ketika pembawa pesan itu kembali, pasukan Goguryeo sudah keburu memulihkan diri dan meneruskan pertahanannya. Memanfaatkan kelemahan sistem militer Sui, Benteng Yodong dan benteng-benteng Goguryeo bangkit moralnya untuk terus bertahan. Hingga bulan Juli, setelah lima bulan berperang, pasukan Sui tidak berhasil merebut satupun benteng Goguryeo. Kaisar Yang menyadari bahwa diperlukan sebuah perubahan yang fundamental dalam strateginya.

Penyerbuan ke Pyongyang

[sunting | sunting sumber]

Sementara itu di front lain, Cina juga mengirim pasukan besar ke Pyongyang, ibu kota Goguryeo. Serangan ini dilakukan lewat dua jalur yaitu darat dan laut. Pasukan darat yang dikirim berjumlah 305.000 dan angkatan lautnya sebesar 200.000.

Penyerbuan melalui laut

[sunting | sunting sumber]

Angkatan laut Sui tiba lebih awal dari angkatan darat, mereka mendarat di Sungai Daedong. Mengetahui angkatan darat musuh belum tiba, Raja Yeongyang mengirim pasukan kecil untuk memerangi angkatan laut Sui yang baru tiba itu. Setelah beberapa pertempuran singkat, pasukan Goguryeo berpura-pura kalah dan mundur ke kota. Komandan angkatan laut Sui, Lai Huni, merasa inilah saat baginya untuk mengukir prestasi, ia segera mengerahkan 100.000 pasukan untuk mengepung Pyongyang.

Ketika pasukan Sui mencapai benteng di bagian luar, tempat itu telah kosong, tidak ada satu prajuritpun di atas tembok kota dan gerbang telah terbuka. Ketika memasuki benteng mereka menemukan barang-barang berharga dan senjata yang ditinggalkan begitu saja. Curiga dengan gelagat aneh ini, Lai melarang pasukannya menjarah benda-benda itu. Ketika mereka melewati sebuah kuil besar, pasukan Goguryeo menyergap mereka, tetapi pasukan Sui yang dalam keadaan siaga berhasil menghalau mereka dan mundur. Gagalnya sergapan itu menyebabkan Lai berpikir bahwa strategi Goguryeo telah berhasil dipatahkan sehingga ia memperbolehkan prajuritnya mengambil barang-barang yang tertinggal di benteng tadi.

Lai tidak sadar bahwa musuh telah memancing pasukannya dalam kondisi tidak siaga. Ketika pasukannya sedang sibuk menjarahi barang, pasukan terkuat Goguryeo yang berjumlah ribuan datang dan menyergap mereka. Dalam keadaan bingung dan pasukannya kocar-kacir, Lai tidak banyak memberikan perlawanan berarti. Ia terpaksa mundur ke laut dengan pasukannya yang tinggal ribuan orang. Kegagalan ini membuat Lai patah semangat, ia tidak berani lagi bergerak sendiri dan terpaksa harus menunggu angkatan darat tiba lalu bergabung dengan mereka untuk menyerang Pyongyang.

Penyerbuan angkatan darat

[sunting | sunting sumber]

Sementara itu, pasukan darat yang dipimpin oleh Yuwen Shu dan Yu Zhongwen juga menghadapi masalah. Walaupun transportasi perbekalan dari Tiongkok berjalan lancar, tetapi begitu memasuki wilayah Goguryeo, pasukan itu harus menghadapi risiko disergap musuh dalam perjalanan. Untuk itu, Kaisar Yang memerintahkan agar setiap prajurit membawa sendiri perbekalannya masing-masing. Solusi ini bukannya memecahkan masalah malah menimbulkan masalah baru karena dengan demikian beban prajurit akan semakin bertambah. Banyak yang membuang makanan itu karena menghambat gerakan dan memilih untuk mengambil apa saja yang ditemui di jalan untuk dimakan. Ketika mencapai Sungai Yalu, kurangnya perbekalan menjadi masalah yang serius.

Raja Yeongyang mengirim komandan lapangan, Jenderal Eulji Mundeok ke kemah Sui dengan penawaran negosiasi damai, tetapi tujuannya adalah untuk mengamati kekuatan musuh. Yu Zhongwen atas perintah rahasia kaisar yang memerintahkan untuk menangkap Raja Yeongyang atau Eulji bila jatuh ke tangan mereka segera menahan Eulji. Namun para penasehatnya, termasuk Liu Shilong dari departemen urusan dalam negeri, mengatakan bahwa menawan negosiator musuh bukanlah tindakan yang bijak karena tidak sesuai dengan etika perang. Yu akhirnya membebaskan Eulji dan membiarkannya kembali ke Goguryeo. Belakangan Yu sangat menyesali keputusannya, ia berusaha memancing Eulji kembali dengan alasan untuk mendiskusikan masalah lebih jauh. Eulji yang telah mengetahui tujuan Yu tidak menanggapi surat itu.

Kedua komandan tertinggi Sui sibuk berdebat mengenai tindakan apa yang harus diambil selanjutnya. Yu bersikeras agar Eulji harus diburu, selain itu ibu kota Pyongyang juga harus direbut. Maka pasukan Sui pun digerakan ke selatan menuju ke Pyongyang. Strategi Eulji adalah menghadapi serangan lawan tujuh kali dalam sehari, setiap kalinya diakhiri dengan pura-pura kalah dan mundur. Dengan demikian, pasukan Sui yang merasa diri telah di atas angin akan terpancing dan masuk semakin jauh ke wilayah Goguryeo. Pasukan Sui terpancing dan terus mengejar hingga 20 km dari Pyongyang. Yu Zhongwen akhirnya menyadari bahwa selama ini ia sedang membuang-buang tenaga sia-sia, pasukannya telah dilanda kelelahan sehingga tujuan mereka mencaplok kota Pyongyang pun tidak mungkin lagi dilakukan dengan tenaga yang sudah sedemikian terkuras.

Yu kini menghadapi dilemma, maju dan mundur adalah pilihan yang sulit baginya. Eulji mengirim surat berisi puisi yang mengolok-olok ketidakbecusan Yu sebagai komandan tertinggi. Melihat pasukan Sui sudah tidak bisa maju dan mundur, Eulji mengirim utusan. Ia mengajukan proposal yang menyatakan bahwa negaranya akan menyerah dan mengakui kekuasaan Cina dengan syarat Cina menarik mundur pasukannya dari Goguryeo. Kesempatan ini digunakan Yu untuk menarik mundur pasukannya dan kembali ke Tiongkok.

Pertempuran Sungai Salsu

[sunting | sunting sumber]

Ketika pasukan Sui tiba di Sungai Salsu (sekarang Sungai Chongchon), air di sungai itu dalam keadaan dangkal karena Eulji telah memutus aliran sungai dengan membangun bendungan. Saat setengah dari pasukan itu tengah menyeberangi sungai, Eulji memerintahkan bendungan dibuka dan sehingga air menenggelamkan ribuan pasukan Sui. Pasukan Goguryeo keluar dari persembunyian dan menyerang sisa pasukan Sui. Catatan sejarah menulis bahwa pasukan Sui harus berlari sejauh 200an km untuk menyelamatkan nyawa mereka. Pertempuran Sungai Salsu ini merupakan kemenangan terbesar Goguryeo terhadap Sui. Dari 305.000 pasukan Cina yang menyeberangi Sungai Liao hanya 2700 yang kembali hidup-hidup.

Perang ketiga (613)

[sunting | sunting sumber]

Pada tahun 613, Kaisar Yang kembali mengirim pasukan menginvasi Liaodong, tetapi sekali lagi berhasil dipukul mundur oleh Korea. Ketika kaisar sedang sibuk memimpin penyerbuan, Yang Xuan'gan, putra perdana menteri Yang Su, yang menaruh dendam pada kaisar, melakukan pemberontakan. Khawatir diserang dari dua front, Kaisar Yang terpaksa mundur dari Liaodong dan memerintahkan pasukannya untuk menumpas pemberontakan Yang.

Perang keempat (614)

[sunting | sunting sumber]

Pemberontakan Yang Xuan’gan berhasil ditumpas dalam waktu singkat. Setelahnya Kaisar Yang kembali mengirim pasukan ke Korea tahun 614. Walaupun ia berhasil menembus garis depan pertahanan Goguryeo tanpa mencaplok benteng perbatasan, pasukannya tidak dapat maju lebih jauh ke seberang Sungai Liao karena sergapan musuh yang sering menghadang dan gangguan terhadap jalur perbekalannya. Yeongyang berniat untuk mengakhiri perang yang melelahkan ini dengan menawarkan perdamaian dan mendeportasi Husi Zheng, seorang sekutu Yang Xuan’gan yang kabur ke Goguryeo setelah kekalahannya. Merasa perang ini semakin sia-sia dan menguatnya tekanan dari dalam negeri, Kaisar Yang terpaksa menerima tawaran damai Raja Yeongyang dan menarik mundur seluruh pasukannya dari Korea.

Pasca perang

[sunting | sunting sumber]

Kampanye militer yang gagal ini telah menyebabkan Sui kehilangan jutaan rakyatnya. Ketidakpuasan terhadap pemerintah pusat mulai timbul dimana-mana. Pemberontakan Yang Xuan’gan walaupun telah ditumpas namun bibit-bibit pemberontakan itu telah menyebar ke berbagai daerah. Pemberontakan petani meletus dimana-mana menentang kesewenang-wenangan sang kaisar. Ketika ibu kota sudah dalam keadaan kritis karena dibayangi pemberontakan, Kaisar Yang memindahkan ibu kotanya ke Jiangdu (sekarang Yangzhou, Jiangsu). Pemberontakan terus meluas, bahkan para pejabat dan jenderal-jenderal Sui pun mulai ikut melawan kaisar. Pada tahun 618, Kaisar Yang dibunuh dalam sebuah kudeta yang dipimpin oleh jenderalnya, Yuwen Huaji. Sementara itu, Goguryeo walaupun meraih kemenangan dalam perang ini, tetapi kekuatan dan sumber dayanya banyak terkuras. Hal ini menyebabkan runtuhnya kerajaan itu pada tahun 668 karena diserang lawannya, Kerajaan Silla yang beraliansi dengan Cina yang saat itu telah dikuasai Dinasti Tang.