Lompat ke isi

Joglo Kudus

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Rumah adat Kudus, juga disebu joglo pencu atau joglo Kudus adalah rumah tradisional asal Kabupaten Kudus[1] yang mencerminkan perpaduan kebudayaan masyarakat Kudus.

Ciri khas

[sunting | sunting sumber]

Rumah adat Kudus memiliki atap genteng yang disebut atap pencu dengan bangunan yang didominasi seni ukir yang sederhana khas Kabupaten Kudus yang merupakan perpaduan gaya dari budaya Jawa (Hindu), Persia (Islam), Tiongkok dan Eropa (Belanda). Rumah ini diperkirakan mulai dibangun sekitar 1500-an M dengan 95% kayu jati asli. Joglo Kudus mirip dengan Joglo Jepara tetapi perbedaan[2] yang paling tampak adalah bagian pintunya. Joglo Kudus hanya memiliki 1 pintu sedangkan Joglo Jepara memiliki 3 pintu.

Tata ruang

[sunting | sunting sumber]

Joglo pencu memiliki 4 tiang penyangga dan 1 tiang besar yang dinamakan saka geder yang melambangkan bahwa Allah bersifat Esa. Joglo pencu memiliki 3 bagian[3] ruangan yang disebut jaga satru, gedhongan, dan pawon. Di halaman rumah, ada sumur di sebelah kiri yang dinamakan pakiwan ('kamar kecil').

Jaga satru

[sunting | sunting sumber]

Jaga satru adalah bagian depan rumah. Dalam bahasa Jawa, jaga satru secara harfiah berarti 'menjaga' (jaga) 'musuh' (satru). Walau begitu, ruangan ini sering digunakan sebagai tempat menerima tamu yang berkunjung.

Gedhongan

[sunting | sunting sumber]

Gedhongan adalah ruang keluarga. Ruangan ini biasa digunakan untuk tempat tidur kepala keluarga.

Pawon dalam bahasa Jawa berarti 'dapur'. Ruangan ini digunakan untuk memasak, belajar, dan menonton televisi.

Keunikan joglo Kudus tak hanya terletak pada arsitekturnya yang didominasi seni ukir sederhana, tetapi juga pada kelengkapan komponen-komponen pembentuknya yang memiliki makna filosofis berbeda-beda.

  • Pertama, bentuk dan motif ukirannya mengikuti pola kala (binatang sejenis laba-laba berkaki banyak), gajah penunggu, sekar rinonce (rangkaian bunga melati), naga, nanas (sarang lebah), fenix, dan lain-lain.
  • Kedua, tata ruang rumah yang memiliki jaga satru/ruang tamu dengan saka geder/tiang tunggal sebagai simbol bahwa Allah bersifat Esa.
  • Ketiga, gedhongan/ruang keluarga yang ditopang empat saka guru/tiang penyangga. Keempat tiang ini adalah simbol yang memberi petunjuk bagi penghuni rumah supaya mampu menyangga kehidupannya sehari-hari dengan mengendalikan 4 sifat manusia: amarah, lawwamah, shofiyah, dan mutmainnah.
  • Keempat, pawon/dapur di bagian paling belakang bangunan rumah.
  • Kelima, pakiwan (kamar mandi) sebagai simbol agar manusia selalu membersihkan diri baik fisik maupun rohani.
  • Keenam, tanaman di sekeliling pakiwan, antara lain: pohon belimbing, yang melambangkan lima rukun Islam; pandan wangi, sebagai simbol rezeki yang harum/halal dan baik bunga melati, yang melambangkan keharuman, perilaku yang baik dan budi pekerti luhur, serta kesucian, bersambung ke hal berikutnya.
  • Ketujuh, wuwungan atap genteng terdapat empat genteng kerpus yang berlubang-lubang yang bermaksud sebagai bentuk cara hidup yang menerima atau terbuka, yaitu genteng kelir, genteng pengapit, dan genteng cungkrik.

Genteng Kerpus Tradisional Kudus atau Genteng Wuwungan Khas Kudus merupakan genteng yang memiliki bentuk yang indah dan berfilosofi di dalamnya. yaitu:

  • Genteng Kelir

genteng ini hanya ada satu dan terdapat pada bagian teratas dan tepat ditengah. Genteng Kelir berbentuk daun yang memekar sempurna yang artinya kedewasaan, yang filosofinya berarti bisa menata dan menjadi teladan yang baik bagi yang lebih muda.

  • Genteng Pengapit

genteng ini ada di kanan dan kirinya Genteng Kelir. Genteng Pengapit berbentuk daun yang mekar setengah melipat yang artinya muda atau remaja, yang filosofinya berarti harus melihat masa depan ketika dewasa dan mencontoh yang lebih tua.

  • Genteng Cungkrik

genteng ini ada di sudut paling bawah dan menghadap atas. Genteng Cungkrik berbentuk kuncup daun, filosofinya yaitu kelahiran.

Mulai Dilupakan

[sunting | sunting sumber]

Seiring dengan perkembangan masyarakat, keberadaan rumah adat Kudus sendiri sebagai penentu tingkat perekonomian seseorang. Tak dapat dimungkiri untuk perajin yang membuat rumah adat ini mematok harga yang sangat mahal, sehingga hanya sebagian kecil masyarakat dengan tingkat perekonomian menengah ke atas yang bisa membelinya.

Sedangkan kelemahan daerah tersebut adalah kurangnya sumber informasi yang dibukukan, sehingga tiada sumber yang bisa dijadikan acuan atau rujukan dalam pengenalan budaya setempat tersebut. Dibutuhkan sebuah kajian, jika ada yang tahu sepenggal dan memberanikan diri untuk menulis dan tanpa ada sumber yang jelas adalah kesalahan.

Lihat pula

[sunting | sunting sumber]

Referensi

[sunting | sunting sumber]