Masjid Saadah
Masjid Saadah | |
---|---|
Agama | |
Afiliasi | Islam – Sunni |
Provinsi | Sumatera Barat |
Lokasi | |
Lokasi | Tanah Datar |
Negara | Indonesia |
Arsitektur | |
Tipe | Masjid |
Gaya arsitektur | Minangkabau |
Peletakan batu pertama | 1910 |
Rampung | 1917 |
Kubah | Tidak ada |
Masjid Saadah atau Masjid As-Saadah adalah salah satu masjid tertua di Indonesia yang terletak di Nagari Gurun, Kecamatan Sungai Tarab, Kabupaten Tanah Datar, Sumatera Barat. Masjid yang mulai dipergunakan pada tahun 1917 ini dibangun pada tahun 1910 dengan arsitektur yang sedikit menyerupai Masjid Rao Rao di Nagari Rao Rao, Sungai Tarab.
Saat ini, selain digunakan untuk aktivitas ibadah umat Islam, masjid ini juga digunakan sebagai sarana pendidikan agama bagi masyarakat sekitar. Masjid ini telah ditetapkan oleh Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia sebagai benda cagar budaya bersama beberapa masjid tua lain di Sumatera Barat, seperti Masjid Bingkudu di Canduang Koto Laweh, Masjid Rao Rao, dan Masjid Raya Ganting di Padang.[1]
Sejarah
[sunting | sunting sumber]Masjid ini dibangun sekitar tahun 1910 dan mulai dipergunakan pada tahun 1917. Sebelum masjid ini dibangun, di tempat yang sama sebelumnya sudah berdiri sebuah masjid yang bangunannya masih terbuat dari kayu. Nama masjid ini, yang dalam bahasa Arab berarti berbahagia, diberikan oleh salah seorang ulama setempat, yakni H. Ramli Bakar. Pada awalnya, pembangunan masjid ini didonaturi oleh tokoh masyarakat setempat, yaitu Ismail Datuk Paduko Intan dan melibatkan seorang Tionghoa asal Padang sebagai arsitek.[2]
Arsitektur
[sunting | sunting sumber]Bangunan utama masjid merupakan ruang salat berdenah bujur sangkar. Lantainya masih berupa lantai semen biasa, sedangkan lantai di bagian teras atau serambinya sudah diganti dengan lantai keramik berwarna putih. Di dalam ruangan, terdapat empat tiang utama sebagai penopang atap dengan penyangga yang tidak menggunakan besi, melainkan hanya menggunakan bambu. Menurut masyarakat setempat, jumlah tiang yang sebanyak empat merupakan perlambangan kata dalam adat Minangkabau, yaitu kata melereng, kata mendatar, kata mendaki, dan kata menurun.[2]
Seperti arsitektur masjid khas Minangkabau lainnya, atap masjid ini terdiri beberapa tingkatan yang sedikit cekung, hanya saja di tingkatan atap teratas terdapat ruang berbentuk persegi yang dimahkotai oleh empat atap bergonjong; ruangan yang sama juga terdapat di atap bagian fasad. Menurut masyarakat setempat, atap tersebut bersusun lima sebagai bentuk perlambangan lima suku pada waktu itu, yaitu Koto, Piliang, Bendang, Koto Anyiah, dan Pitopang.[3]
Secara keseluruhan arsitektur pada masjid ini sedikit menyerupai arsitektur Masjid Rao Rao di Nagari Rao Rao, Sungai Tarab. Dalam pidato peringatan 100 tahun Masjid Rao Rao pada tahun 2008, Shodiq Pasadigoe, Bupati Tanah Datar waktu itu menyebutkan bahwa masjid ini memang diminta dibangun serupa dengan Masjid Rao Rao.[4][5]
Rujukan
[sunting | sunting sumber]- Catatan kaki
- ^ Permenbudpar PM.05/PW.007/MKP/2010.
- ^ a b Ajisman & Almaizon 2004, hlm. 49.
- ^ Ajisman & Almaizon 2004, hlm. 50.
- ^ Kementerian Agama, hlm. 2.
- ^ Arief 2008.
- Daftar pustaka
- Ajisman; Almaizon (2004). Iim Imadudin, ed. Bangunan Bersejarah di Kabupaten Tanah Datar. Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Padang. ISBN 979-938-849-X.
- "Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor PM.05/PW.007/MKP/2010 Tahun 2010", Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Indonesia, 2010 Tidak memiliki atau tanpa
|title=
(bantuan). - Arief, Farid N. (2008). "Refleksi 100 Tahun Masjid Rao-Rao". Kementerian Agama Indonesia. Diakses tanggal 2013-01-08.
- Kementerian Agama Indonesia. Serial Rumah Ibadah Bersejarah: Masjid Raya Rao-Rao (PDF). Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2011-10-14. Diakses tanggal 2013-01-08.