Pemansuhan sistem han

Penghapusan sistem han dan pembentukan sistem wilayah (Bahasa Jepun: 廃藩置県, haihan-chiken) adalah sebuah akta yang dikeluarkan pada tahun 1871 oleh Empayar Jepun di bawah pemerintahan Meiji yang baharu, dengan tujuan untuk menghapuskan sistem domain feudal tradisional (bahasa Jepun: han) dan menggantikannya dengan kekuasaan kerajaan pusat (wilayah (prefektur) di Jepun). Proses ini manandakan kemuncak Pemulihan Meiji, apabila semua daimyo (tuan tanah feudal) diminta untuk mengembalikan kuasa mereka kepada Maharaja. Proses penghapusan ini dilakukan dalam beberapa tahap.

Perang Boshin

sunting

Setelah kekalahan pasukan yang setia kepada Keshogunan Tokugawa dalam Perang Boshin pada tahun 1868, pemerintahan Meiji yang baru menyita semua tanah yang sebelumnya berada di bawah kendali langsung Keshogunan (tenryō) dan tanah-tanah yang dikendalikan oleh daimyo yang tetap berpihak kepada Tokugawa. Tanah-tanah ini mencakup sekitar seperempat dari wilayah daratan Jepun, dan kemudian ditata ulang menjadi prefektur-prefektur dengan gubernur yang ditunjuk langsung oleh pemerintah pusat.

Pengembalian domain

sunting

Tahap kedua dalam penghapusan han terjadi pada tahun 1869. Gerakan ini dipelopori oleh Kido Takayoshi dari Domain Chōshū, dengan dukungan para bangsawan istana dan Sanjo Iwakura dan Tomomi Sanetomi. Kido membujuk para penguasa Chōshū dan Satsuma, dua domain terkemuka dalam penggulingan kekuasaan Tokugawa, untuk secara sukarela menyerahkan domain mereka kepada Kaisar. Antara 25 Juli 1869 dan 2 Agustus 1869, kerana khuatir bahwa kesetiaan mereka akan dipertanyakan, maka daimyo dari 260 domain lainnya mengikuti langkah tersebut. Hanya terdapat 14 domain yang pada awalnya tidak menuruti pengembalian domain (版籍奉還, hanseki hōkan) secara sukarela tersebut, yang kemudian diperintahkan oleh Tahta Empayar untuk segera melaksanakannya pula dengan ancaman aksi militer.

Sebagai balasan bagi penyerahkan kewenangan turun-temurun mereka kepada pemerintah pusat, para daimyo diangkat kembali sebagai gubernur yang tidak turun-temurun di domain mereka sebelumnya (sekarang dinamai prefektur), dan diizinkan untuk menyimpan sepuluh persen dari pendapatan pajak, berdasarkan produksi aktual padi (yang nilainya lebih besar daripada produksi beras nominal, yang dahulu merupakan dasar atas kewajiban feodal mereka di bawah Keshogunan).[1]

Sebagai gubernur, mantan daimyo dapat memilih bawahannya, tetapi hanya bila bawahan tersebut memenuhi tingkat kualifikasi yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Lebih jauh lagi, tunjangan turun-temurun bagi samurai pengikut mereka sekarang dibayarkan dari kantor prefektur oleh pemerintah pusat dan tidak langsung berasal dari gubernur, sebuah langkah yang diperhitungkan untuk lebih melemahkan lagi ikatan feodal tradisional yang ada.

Sebutan "daimyo" akhirnya dihapuskan juga pada Juli 1869, dengan dibentuknya sistem gelar kebangsawan kazoku.

Konsolidasi

sunting

Meskipun mantan daimyo telah menjadi pegawai pemerintah, mereka masih memiliki sebuah kemerdekaan militer dan fiskal tertentu, dan mendapatkan penghormatan adat dari penduduk. Okubo Toshimichi dan para anggota oligarki Meiji baru menganggap hal ini dapat merupakan ancaman kepada otoritas pusat, terutama dengan timbulnya pemberontakan sejumlah besar mantan samurai yang terjadi di seluruh negeri. Pada bulan Agustus 1871, Okubo yang dibantu oleh Saigo Takamori, Kido Takayoshi, Iwakura Totomi, dan Yamagata Aritomo memaksakan melalui Dekrit Empayar untuk melakukan penataan ulang terhadap 261 bekas domain feodal yang tersisa menjadi tiga prefektur perkotaan (fu) dan 302 prefektur (ken). Jumlah itu kemudian dikurangi lagi melalui konsolidasi tahun berikutnya menjadi tiga prefektur perkotaan dan 72 prefektur, dan tahun 1888 menjadi bentuknya yang sekarang yaitu tiga prefektur perkotaan dan 47 prefektur.

Pemerintah pusat berhasil dalam melaksanakan reorganisasi ini kerana menjanjikan mantan daimyo upah belanja yang royal, menyerap utang domain, dan menjanjikan konversi mata uang domain (hansatsu) ke mata uang nasional baru pada nilai nominalnya.[2] Perbendaharaan pusat ternyata tidak mampu untuk mendukung kemurahan hati tersebut, sehingga pada tahun 1874, upah mantan daimyo diubah bentuknya menjadi obligasi pemerintah dengan nilai nominal setara dengan upah lima tahun, serta dibayarkan bunga lima persen per tahun.[3]

Nobuaki Makino, seorang pelajar anggota Misi Iwakura menuliskan dalam memoarnya: Bersama-sama dengan penghapusan sistem han, pengiriman Misi Iwakura ke Amerika dan Eropa haruslah disebut sebagai peristiwa-peristiwa paling penting yang membangun dasar negara kita setelah Pemulihan.

Catatan kaki

sunting
  1. ^ Jansen, The Making of Modern Japan, hlm. 344-345
  2. ^ Jansen, The Making of Modern Japan, hlm. 365
  3. ^ Bramall, Sources of Chinese Economic Growth, 1978-1996, hlm. 452

Rujukan

sunting
  • Bramall, Chris (2000). Sources of Chinese Economic Growth, 1978-1996. Oxford University Press. ISBN 0198296975. Cite has empty unknown parameter: |coauthors= (bantuan)
  • Jansen, Marius B. (2000). The Making of Modern Japan. Belknap Press. ISBN 0674009916.
  • Lebra, Sugiyama Takie (1993). Above the Clouds: Status Culture of the Modern Japanese Nobility. Berkeley, California: University of California Press. ISBN 978-0-520-07602-0. Cite has empty unknown parameter: |coauthors= (bantuan)

Lihat juga

sunting