Suwung
Suwung (aksara Jawa: ꦱꦸꦮꦸꦁ) adalah konsep dalam masyarakat Jawa untuk menggambarkan rasa hampa akan kesadaran diri dengan lingkungannya. Hampa di sini dapat diartikan sebagai kondisi kosong yang arupa alias tidak memiliki bentuk.[1] Konsep suwung dipandang sebagai asal-muasal dari alam semesta, hakikat dari segala sesuatu.[2] Suwung adalah kenyataan mutlak yang tidak dapat dijangkau oleh indra manusiawi.[3]
Sementara itu, kelompok beraliran sufisme mengartikan suwung dengan berbeda. Suwung bagi mereka mengandung makna kekosongan yang bernuansa pengendalian diri yang sempurna dan kesadaran sejati akan diri yang berkaitan dengan ketuhanan. Dalam ajaran Suluk Suksma Lelana, suwung adalah tahapan tertinggi, yaitu makrifat. Dalam tahapan ini, seseorang telah berhasil mencapai hakikat ketuhanannya.[1]
Naskah
[sunting | sunting sumber]Serat Wedhatama membagi alam semesta dibagi menjadi dua, yakni alam yang selalu berubah/fana dan alam yang tetap/abadi. Konsep ini diterangkan antara lain termuat dalam pupuh pangkur bait ke-14 yang berbunyi:[1]
Sejatine Kang mangkana Wus kakenan nugrahaning Hyang Widhi. Bali alaming nga-SUWUNG, tan karem karameyan. Ingkang sipat wisesa winisesa wus, Mulih mula mulanira. Mulane wong anom sami.
Artinya:
Sebenarnya yang demikian itu sudah mendapat anugerah Tuhan. Kembali ke alam kosong, tidak mabuk keduniawian yang bersifat kuasa menguasai. Kembali ke asal mula. Demikianlah yang terjadi wahai anak muda.
Lihat juga
[sunting | sunting sumber]Catatan kaki
[sunting | sunting sumber]- ^ a b c ""SUWUNG" : KONSEP PROBLEM SOLVING KAUM SUFI SUKU JAWA DI KOTA MALANG – Fakultas Pendidikan Psikologi – Universitas Negeri Malang" (dalam bahasa Inggris). Diarsipkan dari versi asli tanggal 2019-08-21. Diakses tanggal 2019-08-21.
- ^ Chodjim, Achmad (2005). Membangun surga. Penerbit Serambi. ISBN 9789791600927.
- ^ Chodjim, Achmad (2008-03-01). Al-ikhlash. Serambi Ilmu Semesta. ISBN 9789790240001.