Dinasti Han
Dinasti Han 漢朝 | |||||||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
202 SM—9 M; 25—220 M | |||||||||||||||
Sebuah peta Dinasti Han Barat pada tahun 2 M: 1) wilayah yang berwarna biru tua mencakup kerajaan semiotonom dan jun yang diperintah langsung dari pusat kekaisaran; 2) wilayah dengan warna biru muda menunjukkan luasnya Protektorat Kawasan Barat di Cekungan Tarim.[1] | |||||||||||||||
Status | Kekaisaran | ||||||||||||||
Ibu kota | Chang'an (206 SM–9 M, 190–195 M) Luoyang (23–190 M, 196 M) Xuchang (196–220 M) | ||||||||||||||
Bahasa yang umum digunakan | Bahasa Tionghoa Kuno | ||||||||||||||
Agama | Taoisme Kepercayaan tradisional Tionghoa | ||||||||||||||
Pemerintahan | Monarki | ||||||||||||||
Kaisar | |||||||||||||||
• 202–195 SM (pertama) | Kaisar Gaozu | ||||||||||||||
• 141–87 SM | Kaisar Wu | ||||||||||||||
• 25–57 M | Kaisar Guangwu | ||||||||||||||
• 189–220 M (terakhir) | Kaisar Xian | ||||||||||||||
Kanselir | |||||||||||||||
• 206–193 SM | Xiao He | ||||||||||||||
• 193–190 SM | Cao Can | ||||||||||||||
• 189–192 M | Dong Zhuo | ||||||||||||||
• 208–220 M | Cao Cao | ||||||||||||||
• 220 M | Cao Pi | ||||||||||||||
Era Sejarah | 202 SM | ||||||||||||||
206 SM | |||||||||||||||
• Pertempuran Gaixia; mulainya kekuasaan Han di Tiongkok | 202 SM | ||||||||||||||
9 M–23 M | |||||||||||||||
• Penyerahan takhta kepada Cao Wei | 220 M | ||||||||||||||
Luas | |||||||||||||||
Diperkirakan tahun 50 SM (puncak Han Barat)[2] | 6.000.000 km2 (2.300.000 sq mi) | ||||||||||||||
Diperkirakan tahun 100 M (puncak Han Timur)[2] | 6.500.000 km2 (2.500.000 sq mi) | ||||||||||||||
Populasi | |||||||||||||||
• 2 M[3] | 57.671.400 | ||||||||||||||
Mata uang | Koin Ban Liang dan koin Wu Zhu | ||||||||||||||
| |||||||||||||||
Sekarang bagian dari | Tiongkok Mongolia Korea Utara Vietnam | ||||||||||||||
Dinasti Han | |||||||||||||||||||||||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|---|
"Han" dalam aksara segel kuno (kiri atas), aksara klerikal era Han (kanan atas), aksara Tionghoa Tradisional (kiri bawah), dan Sederhana (kanan bawah) | |||||||||||||||||||||||||||
Hanzi tradisional: | 漢朝 | ||||||||||||||||||||||||||
Hanzi sederhana: | 汉朝 | ||||||||||||||||||||||||||
Pinyin: | Hàncháo | ||||||||||||||||||||||||||
|
Dinasti Han (/hɑːn/;[4] Hanzi: 漢朝; Pinyin: Hàncháo) adalah dinasti kekaisaran Tiongkok (206 SM–220 M) yang kedua, berkuasa setelah Dinasti Qin (221–206 SM) dan sebelum Zaman Tiga Negara (220–280 M). Dinasti ini bertahan selama lebih dari empat abad, dan periode selama dinasti ini berkuasa dianggap sebagai zaman keemasan dalam sejarah Tiongkok.[5] Hingga saat ini, kelompok etnis mayoritas Tiongkok menyebut diri mereka "suku Han" dan aksara Tionghoa disebut "aksara Han".[6] Dinasti ini didirikan oleh pemimpin pemberontak Liu Bang, yang dikenal secara anumerta dengan nama Kaisar Gaozu. Sejarah dinasti ini sempat diselingi oleh Dinasti Xin (9—23 M) yang didirikan oleh seorang mantan wali penguasa, Wang Mang. Periode selingan ini membagi Dinasti Han menjadi dua periode: Han Barat atau Han Awal (206 SM—9 M) dan Han Timur atau Han Akhir (25—220 M).
Kaisar berada di puncak masyarakat Han. Ia tidak hanya memegang tampuk pemerintahan Dinasti Han, tetapi juga berbagi kekuasaan dengan bangsawan Tiongkok dan para menteri pilihannya yang sebagian besar berasal dari golongan elit terpelajar. Kekaisaran Han dibagi menjadi daerah-daerah yang secara langsung dikendalikan oleh pemerintah pusat (yang disebut jun), serta sejumlah kerajaan semiotonom. Kerajaan-kerajaan ini secara bertahap kehilangan kemerdekaannya yang masih tersisa, khususnya setelah Pemberontakan Tujuh Negara. Sementara itu, dari masa pemerintahan Kaisar Wu (berkuasa 141–87 SM), pemerintah Tiongkok secara resmi mendukung ajaran Kong Hu Cu sebagai ideologi pendidikan dan politik, yang digabungkan dengan kosmologi yang dicetuskan oleh para cendekiawan seperti Dong Zhongshu. Kebijakan ini bertahan sampai jatuhnya Dinasti Qing pada tahun 1911 M.
Dinasti Han menikmati kemakmuran ekonomi dan pertumbuhan pesat ekonomi uang yang sebelumnya diperkenalkan pada masa Dinasti Zhou (sekitar tahun 1050–256 SM). Koin yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat pada tahun 119 SM tetap menjadi koin standar Tiongkok sampai masa Dinasti Tang (618–907 M). Untuk membiayai perang dan permukiman di wilayah perbatasan yang baru ditaklukkan, pemerintah Han menasionalisasi industri garam dan besi pada tahun 117 SM, tetapi monopoli pemerintah ini dicabut pada masa Dinasti Han Timur. Dinasti Han juga mencatat kemajuan yang signifikan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Contohnya adalah dalam pembuatan kertas, pemakaian kemudi di kapal, penggunaan bilangan negatif dalam matematika, serta penemuan peta timbul, bola dunia armiler bertenaga hidrolik untuk keperluan astronomi, dan seismometer dengan bandul terbalik yang dapat digunakan untuk mengetahui tempat terjadinya gempa bumi berdasarkan arah mata angin.
Konfederasi suku nomaden yang disebut Xiongnu[7] berhasil mengalahkan Han pada tahun 200 SM dan memaksa mereka untuk membayar upeti, tetapi Xiongnu tetap melanjutkan serangan militer mereka di perbatasan Han. Kaisar Wu melancarkan sejumlah perang melawan mereka. Kemenangan besar Han dalam perang ini akhirnya memaksa Xiongnu untuk menerima status sebagai negara pembayar upeti. Peperangan ini memperluas wilayah Han hingga ke Cekungan Tarim di Asia Tengah, membagi Xiongnu menjadi dua konfederasi terpisah, dan turut andil dalam membangun jaringan perdagangan luas yang dikenal dengan sebutan Jalur Sutra, yang menjangkau hingga kawasan Laut Tengah. Wilayah utara perbatasan Han kemudian diserbu oleh konfederasi nomaden Xianbei. Kaisar Wu juga memperluas wilayah ke Kawasan Selatan Tiongkok dan menaklukkan Nanyue pada 111 SM dan Dian pada 109 SM. Selain itu, ia juga melancarkan ekspedisi militer ke Semenanjung Korea dan mendirikan Jun Xuantu dan Lelang di wilayah tersebut pada 108 SM.
Setelah tahun 92 M, para kasim semakin terlibat dalam panggung perpolitikan istana. Mereka turut campur dalam perebutan kekuasaan antara klan berbagai maharani (permaisuri) dan ibu suri, dan hal inilah yang mengakibatkan kejatuhan Han. Wewenang kekaisaran juga ditantang oleh perkumpulan keagamaan Taoisme yang mengobarkan Pemberontakan Serban Kuning dan Pemberontakan Wu Dou Mi Dao. Sesudah kematian Kaisar Ling (berkuasa 168–189 M), para kasim dibantai oleh para panglima militer. Kemudian, para ningrat dan gubernur militer menjadi panglima perang dan membagi-bagi wilayah kekaisaran. Dinasti Han secara resmi bubar setelah Cao Pi, Raja Wei, merebut takhta dari Kaisar Xian pada tahun 220 M.
Asal nama
Menurut Catatan Sejarawan Agung, setelah runtuhnya Dinasti Qin, Yang Dipertuan Agung Xiang Yu mengangkat Liu Bang menjadi pangeran atas daerah kecil Hanzhong, yang dinamai sesuai letaknya di Sungai Han (di Shaanxi barat daya saat ini). Setelah kemenangan Liu Bang dalam Perang Chu-Han, Dinasti Han diberi nama sesuai dengan nama daerah tersebut.[8]
Sejarah
Han Barat
Dinasti kekaisaran pertama Tiongkok adalah Dinasti Qin (221–207 SM). Qin menyatukan Negara-Negara Berperang Tiongkok melalui penaklukan, tetapi kekaisarannya menjadi tidak stabil setelah kematian kaisar pertama Qin Shi Huang. Dalam waktu empat tahun, kekuasaan dinasti tersebut telah runtuh akibat pemberontakan.[9] Dua mantan pemimpin pemberontak, Xiang Yu (meninggal 202 SM) dari Chu dan Liu Bang (meninggal 195 SM) dari Han, saling berperang untuk menentukan siapa yang akan menjadi penguasa Tiongkok. Tiongkok sendiri telah terpecah menjadi 18 kerajaan, masing-masing menyatakan kesetiaan pada Xiang Yu atau Liu Bang.[10] Meskipun Xiang Yu terbukti merupakan panglima yang cakap, Liu Bang mengalahkannya dalam Pertempuran Gaixia (202 SM), di wilayah Anhui modern. Liu Bang mengambil gelar "kaisar" (huangdi) atas desakan para pengikutnya dan dikenal secara anumerta dengan nama Kaisar Gaozu (berkuasa 202–195 SM).[11] Chang'an (kini dikenal sebagai Xi'an) dipilih sebagai ibu kota baru dari kekaisaran yang dipersatukan kembali di bawah Han.[12]
Pada permulaan Dinasti Han Barat (Hanzi tradisional: 西漢; Hanzi sederhana: 西汉; Pinyin: Xīhàn), juga dikenal dengan nama Han Awal (Hanzi tradisional: 前漢; Hanzi sederhana: 前汉; Pinyin: Qiánhàn), tiga belas jun yang dikendalikan secara terpusat (termasuk wilayah ibu kota) berdiri di bagian barat yang mencakup sepertiga wilayah kekaisaran, sedangkan dua pertiga wilayah Han yang berada di timur dibagi menjadi sepuluh kerajaan semiotonom.[13] Untuk memuaskan para panglima yang mendukungnya dalam perang melawan Chu, Kaisar Gaozu mengangkat beberapa dari mereka menjadi raja. Pada tahun 157 SM, istana Han telah mengganti semua raja-raja ini dengan para anggota keluarga kekaisaran Wangsa Liu karena kesetiaan mereka yang bukan kerabat kaisar dipertanyakan.[13] Setelah meletusnya sejumlah pemberontakan yang dilancarkan oleh raja-raja Han (yang terbesar adalah Pemberontakan Tujuh Negara pada tahun 154 SM), pemerintah Han melancarkan sejumlah reformasi yang dimulai pada tahun 145 SM. Tindakan-tindakan yang diambil meliputi pembatasan luas dan kekuatan kerajaan-kerajaan ini serta pembagian bekas wilayah mereka menjadi jun-jun baru yang dikendalikan secara terpusat.[14] Para raja tidak bisa lagi mengangkat pegawai mereka sendiri; tugas ini diemban oleh istana kekaisaran.[15] Para raja menjadi penguasa wilayahnya di atas kertas saja dan menarik sebagian dari penerimaan pajak sebagai pendapatan pribadi mereka.[15] Kerajaan-kerajaan ini tidak pernah sepenuhnya dibubarkan dan tetap bertahan pada masa Han Barat maupun Timur.[16]
Di sebelah utara Tiongkok pada masa itu, kepala suku Xiongnu yang nomaden, Modu Chanyu (berkuasa 209–174 SM), menaklukkan suku-suku lain yang mendiami bagian timur Stepa Eurasia. Pada akhir masa pemerintahannya, ia menguasai Manchuria, Mongolia, dan Cekungan Tarim, serta menundukkan lebih dari dua puluh negara di sebelah timur Samarkand.[18] Kaisar Gaozu merasa resah dengan banyaknya senjata besi buatan Han yang diperdagangkan ke Xiongnu di sepanjang perbatasan utara, dan ia memberlakukan embargo perdagangan terhadap mereka.[19] Sebagai balasan, Xiongnu menyerbu wilayah yang sekarang merupakan Provinsi Shanxi, dan kemudian mereka mengalahkan pasukan Han di Baideng pada tahun 200 SM.[20] Setelah berlangsungnya beberapa perundingan, perjanjian heqin pada tahun 198 SM menjadikan para pemimpin Xiongnu dan Han sebagai mitra dengan kedudukan yang setara dengan menikahkan putri Han dengan pemimpin Xiongnu. Namun, Han dipaksa untuk mengirim banyak upeti seperti pakaian sutra, makanan, dan minuman anggur kepada Xiongnu.[21]
Walaupun upeti telah dibayarkan dan meskipun Laoshang Chanyu (berkuasa 174—160 SM) dan Kaisar Wen (berkuasa 180–157 SM) berunding untuk membuka kembali pasar perbatasan, banyak bawahan sang Chanyu yang memilih untuk tidak mematuhi perjanjian. Mereka secara berkala menyerbu wilayah Han di sebelah selatan Tembok Besar untuk memperoleh barang-barang tambahan.[23] Dalam sebuah konferensi istana yang diselenggarakan oleh Kaisar Wu (berkuasa 141—87 SM) pada 135 SM, para menteri bersepakat untuk mempertahankan perjanjian heqin. Kaisar Wu menerima keputusan ini, meskipun serangan Xiongnu terus berlanjut.[24] Namun, dalam sebuah konferensi istana yang diselenggarakan pada tahun berikutnya, para menteri menyusun sebuah rencana penyergapan di Mayi, dengan harapan bahwa sang Chanyu tewas dalam pertempuran tersebut sehingga Xiongnu akan terjerumus dalam kekacauan yang akan menguntungkan Han.[25] Setelah upaya persekongkolan ini mengalami kegagalan pada tahun 133 SM,[26] Kaisar Wu melancarkan serangan besar-besaran ke wilayah Xiongnu. Serangan itu mencapai puncaknya pada tahun 119 SM dalam Pertempuran Mobei, dan panglima Han Huo Qubing (meninggal 117 SM) dan Wei Qing (meninggal 106 SM) berhasil membuat penguasa Xiongnu terpaksa melarikan diri ke wilayah di sebelah utara Gurun Gobi.[27]
Setelah masa pemerintahan Wu, pasukan Han terus menang melawan Xiongnu. Pemimpin Xiongnu Huhanye Chanyu (berkuasa 58—31 SM) akhirnya tunduk kepada Han sebagai pembayar upeti pada tahun 51 SM. Pesaingnya dalam klaim perebutan takhta, Zhizhi Chanyu (berkuasa 56—36 SM), tewas terbunuh oleh Chen Tang dan Gan Yanshou dalam Pertempuran Zhizhi di Taraz, Kazakhstan.[28]
Pada tahun 121 SM, pasukan Han mengusir Xiongnu dari wilayah yang terbentang dari Koridor Hexi hingga Lop Nur. Mereka juga berhasil menghalau serangan gabungan Xiongnu-Qiang di wilayah barat laut ini pada tahun 111 SM. Pada tahun yang sama, pemerintah Han membentuk empat jun baru di wilayah tersebut: Jiuquan, Zhangyi, Dunhuang, dan Wuwei.[29] Mayoritas penduduk di kawasan ini adalah para tentara.[30] Kadang-kadang pemerintah secara paksa memindahkan para petani ke permukiman perbatasan baru bersama dengan para budak dan narapidana yang melakukan kerja paksa.[31] Pemerintah juga mendorong rakyat jelata seperti para petani, pedagang, pemilik tanah, dan pekerja bayaran, untuk bermigrasi secara sukarela ke perbatasan.[32]
Bahkan sebelum Han memperluas wilayah ke Asia Tengah, Tiongkok sudah menjalin hubungan dengan banyak peradaban di sekitarnya melalui perjalanan diplomat Zhang Qian dari tahun 139 hingga 125 SM. Zhang bertemu dengan negara Dayuan (Fergana), Kangju (Sogdiana) dan Daxia (Baktria, sebelumnya Kerajaan Yunani-Baktria); ia juga menghimpun informasi tentang Shendu (lembah Sungai Indus di India Utara) dan Anxi (Kekaisaran Parthia). Semua negara ini akhirnya menerima para utusan Han.[33] Hubungan ini menandai awal dari jaringan perdagangan Jalur Sutra yang menjangkau hingga Kekaisaran Romawi. Melalui jalur ini, barang-barang Han seperti sutra dapat menjangkau Roma, dan begitu pula barang-barang Romawi seperti barang kaca yang diperdagangkan hingga ke Tiongkok.[34]
Dari sekitar tahun 115 hingga 60 SM, pasukan Han bertempur melawan Xiongnu untuk menguasai negara-negara di Cekungan Tarim. Han akhirnya menang dan mendirikan Protektorat Wilayah Barat pada tahun 60 SM, sehingga Han menjadi pihak yang mengatur pertahanan dan urusan luar negeri wilayah tersebut.[35] Han juga memperluas wilayahnya ke selatan. Penaklukan Nanyue pada tahun 111 SM memperluas wilayah Han hingga ke kawasan yang sekarang berada di Guangdong, Guangxi, dan Vietnam Utara. Yunnan dimasukkan ke dalam wilayah Han melalui penaklukan terhadap Kerajaan Dian pada tahun 109 SM, diikuti oleh Semenanjung Korea melalui Penaklukan Gojoseon oleh Han dan pembentukan Jun Xuantu dan Lelang pada tahun 108 SM.[36] Menjelang penghujung periode Han Barat, dalam sensus nasional pertama yang diketahui di Tiongkok yang dilakukan pada tahun 2 M, jumlah penduduk di wilayah Han yang membentang luas terdaftar sebanyak 57.671.400 jiwa dalam 12.366.470 rumah tangga.[3]
Untuk membiayai perang dan perluasan wilayah, Kaisar Wu menasionalisasi beberapa industri swasta. Ia membentuk monopoli pemerintah yang sebagian besar dikelola oleh mantan pedagang. Monopoli-monopoli ini termasuk dalam produksi garam, besi, dan minuman keras, serta koin perunggu. Monopoli minuman keras hanya berlangsung dari tahun 98 hingga 81 SM, dan monopoli garam dan besi akhirnya dihapuskan pada awal periode Han Timur. Penerbitan koin tetap menjadi monopoli pemerintah pusat hingga akhir Dinasti Han.[37] Monopoli pemerintah di berbagai sektor ekonomi akhirnya dicabut ketika faksi Reformis memperoleh pengaruh yang lebih besar di istana. Kelompok Reformis menentang faksi Modernis yang telah mendominasi politik istana pada masa pemerintahan Kaisar Wu dan kemudian selama masa perwalian Huo Guang (meninggal 68 SM). Kelompok Modernis memperjuangkan kebijakan luar negeri yang agresif dan ekspansif yang didukung oleh pendapatan dari campur tangan pemerintah dalam ekonomi swasta. Akan tetapi, kelompok Reformis membatalkan kebijakan-kebijakan ini dan memilih pendekatan kebijakan luar negeri yang berhati-hati dan tidak memperluas wilayah. Mereka juga mendukung reformasi penghematan anggaran dan penurunan pajak untuk pengusaha.[38]
Rezim Wang Mang dan perang saudara
Wang Zhengjun (71 SM—13 M) pertama-tama adalah seorang permaisuri, kemudian ibu suri, dan akhirnya menjadi janda permaisuri agung. Ia berkiprah pada masa pemerintahan Kaisar Yuan (berkuasa 49—33 SM), Cheng (berkuasa 33–7 SM), dan Ai (berkuasa 7—1 SM). Pada masa tersebut, kerabat-kerabat pria Wang Zhengjun secara bergantian memegang gelar wali penguasa.[39] Menyusul kematian Ai, keponakan laki-laki Wang Zhengjun, Wang Mang (45 SM—23 M), diangkat menjadi wali penguasa dengan gelar Marsekal Negara pada 16 Agustus di bawah Kaisar Ping (berkuasa 1 SM—6 M).[40] Setelah Ping wafat pada 3 Februari tahun 6 M, Ruzi Ying (meninggal 25 M) dipilih sebagai penerus dan Wang Mang ditunjuk sebagai pelaksana tugas untuk sang kaisar yang masih kecil.[40] Wang berjanji untuk melepaskan kekuasaannya kepada Liu Ying begitu dia dewasa.[40] Namun, meskipun ditentang habis-habisan oleh para bangsawan, pada 10 Januari 9 M, Wang Mang menyatakan bahwa Mandat Langit menyerukan berakhirnya Dinasti Han dan permulaan dinastinya sendiri: Dinasti Xin (9—23 M).[41]
Wang Mang memprakarsai serangkaian reformasi besar yang pada akhirnya tidak berhasil. Reformasi ini termasuk upaya melarang perbudakan, menasionalisasi tanah untuk mendistribusikannya secara merata kepada rakyat, dan memperkenalkan mata uang baru (suatu perubahan yang menurunkan nilai sistem mata uang).[42] Meskipun reformasi ini memicu perlawanan, hal yang pada akhirnya menjatuhkan rezim Wang adalah serangkaian banjir besar yang melanda pada tahun 3 M dan 11 M. Penumpukan endapan lumpur secara bertahap di Sungai Kuning telah meningkatkan permukaan air dan infrastruktur pengendali banjir akhirnya tidak dapat menahannya lagi. Sungai Kuning terbagi menjadi dua cabang baru: satu mengalir ke utara dan yang lain ke selatan Semenanjung Shandong, meskipun para insinyur Han berhasil membendung cabang selatan pada tahun 70 M.[43]
Peristiwa banjir menelantarkan ribuan petani; untuk bertahan hidup, banyak dari mereka yang bergabung dengan kawanan pencuri dan kelompok pemberontak seperti Alis Merah.[43] Tentara Wang Mang tidak mampu menumpas kelompok pemberontak yang semakin membesar ini. Akhirnya, gerombolan pemberontak menerobos masuk ke Istana Weiyang dan membunuh Wang Mang.[44]
Kaisar Gengshi (berkuasa 23—25 M), keturunan Kaisar Jing (berkuasa 157—141 SM), berupaya memulihkan Dinasti Han dan menduduki Chang'an sebagai ibu kotanya. Namun, pemberontak Alis Merah kemudian menggulingkan, membunuh, dan menggantikannya dengan raja boneka Liu Penzi.[45] Saudara laki-laki Gengshi, Liu Xiu (yang menjadi terkenal setelah berhasil memenangi Pertempuran Kunyang pada tahun 23 M), didesak untuk menggantikan Gengshi sebagai kaisar. Ia dikenal secara anumerta dengan nama Kaisar Guangwu (berkuasa 25—57 M).[46]
Di bawah pemerintahan Guangwu, Kekaisaran Han dipulihkan. Guangwu menjadikan Luoyang sebagai ibu kotanya pada tahun 25 M, dan pada tahun 27 M, perwiranya Deng Yu dan Feng Yi telah memaksa kelompok Alis Merah untuk menyerah dan mengeksekusi para pemimpin mereka.[47] Dari tahun 26 hingga 36 M, Kaisar Guangwu harus berperang melawan para panglima perang daerah lainnya yang menginginkan gelar kaisar. Setelah para panglima perang ini dikalahkan, Tiongkok bersatu kembali di bawah Han.[48]
Periode antara berdirinya Dinasti Han hingga rezim Wang Mang dikenal dengan sebutan "Han Barat" (Hanzi tradisional: 西漢; Hanzi sederhana: 西汉; Pinyin: Xīhàn) atau "Han Awal" (Hanzi tradisional: 前漢; Hanzi sederhana: 前汉; Pinyin: Qiánhàn) (206 SM–9 M). Selama periode ini, ibu kota Han terletak di Chang'an (Xi'an saat ini). Sejak masa pemerintahan Guangwu, ibu kota dipindahkan ke Luoyang di timur. Periode yang berlangsung dari awal masa pemerintahannya hingga pembubaran Dinasti Han dikenal dengan istilah "Han Timur" atau "Han Akhir" (25-220 M).[49]
Han Timur
Han Timur (Hanzi tradisional: 東漢; Hanzi sederhana: 东汉; Pinyin: Dōnghàn), juga dikenal dengan sebutan Han Akhir (Hanzi tradisional: 後漢; Hanzi sederhana: 后汉; Pinyin: Hòuhàn), secara resmi dimulai pada 5 Agustus 25, ketika Liu Xiu menjadi kaisar.[50] Selama pemberontakan yang terjadi di mana-mana terhadap Wang Mang, negara Goguryeo leluasa untuk menyerang jun milik Han di Korea; Han tidak mengukuhkan kembali kekuasaannya di wilayah itu sampai tahun 30 M.[51] Sementara itu, Trung bersaudari dari Vietnam memberontak melawan Han pada tahun 40 M. Pemberontakan mereka dipadamkan oleh panglima Han Ma Yuan (meninggal 49 M) dalam sebuah kampanye militer yang dilancarkan dari tahun 42 hingga 43 M.[52]
Pada masa Wang Mang, permusuhan dengan Xiongnu kembali tersulut. Hubungan Han dengan Xiongnu tetap buruk hingga pemimpin Xiongnu, Bi (比), yang memperebutkan takhta dengan sepupunya Punu (蒲 奴), menyatakan tunduk kepada Han sebagai pembayar upeti pada tahun 50 M. Maka terbentuklah dua negara Xiongnu yang saling berseteru: Xiongnu Selatan yang dipimpin oleh Bi (sekutu Han) dan Xiongnu Utara yang dipimpin oleh Punu (musuh Han).[53]
Tiongkok juga kehilangan kendali atas Cekungan Tarim pada masa Wang Mang. Wilayah tersebut kemudian ditaklukkan oleh Xiongnu Utara pada tahun 63 M dan digunakan sebagai pangkalan untuk menyerang Koridor Hexi di Gansu.[54] Dou Gu (meninggal 88 M) mengalahkan Xiongnu Utara dalam Pertempuran Yiwulu pada tahun 73 M, mengusir mereka dari Turpan, dan mengejar mereka hingga Danau Barkol sebelum akhirnya ia membentuk sebuah garnisun di Hami.[55] Setelah Panglima Pelindung Wilayah Barat yang baru diangkat, Chen Mu (meninggal 75 M), tewas dibunuh oleh para sekutu Xiongnu di Karasahr dan Kucha, garnisun di Hami dibubarkan.[56] Dalam Pertempuran Ikh Bayan tahun 89 M, Dou Xian (meninggal 92 M) mengalahkan chanyu Xiongnu Utara yang kemudian mundur ke Pegunungan Altai.[57] Setelah Xiongnu Utara melarikan diri ke Lembah Sungai Ili pada tahun 91 M, suku nomaden Xianbei menduduki daerah yang terbentang dari perbatasan Kerajaan Buyeo di Manchuria hingga Sungai Ili di wilayah suku Wusun.[58] Xianbei mencapai puncaknya di bawah kepemimpinan Tanshihuai (檀石槐) (meninggal 180 M), yang berhasil mengalahkan tentara Tiongkok berkali-kali. Namun, konfederasi yang dibentuk Tanshihuai bubar setelah kematiannya.[59]
Panglima Han Ban Chao (meninggal 102 M) meminta bantuan Kekaisaran Kushan (yang menguasai wilayah yang saat ini berada di India, Pakistan, Afganistan, dan Tajikistan) untuk menundukkan Kashgar dan sekutunya Sogdiana.[60] Pemimpin Kushan, Vima Kadfises (berkuasa sekitar 90—100 M), meminta agar anggota keluarga kerajaan mereka dinikahkan. Setelah permintaan ini ditolak pada 90 M, ia mengerahkan pasukannya ke Wakhan (Afganistan) untuk menyerang Ban Chao. Konflik ini berakhir setelah pasukan Kushan mundur akibat kekurangan pasokan.[60] Pada tahun 91 M, jabatan Panglima Pelindung Wilayah Barat dibentuk kembali dan dianugerahkan kepada Ban Chao.[61]
Pada masa ini, terdapat sejumlah pengelana asing yang mendatangi Han Timur. Contohnya adalah para biksu yang berjasa dalam menerjemahkan naskah-naskah Buddhisme ke dalam bahasa Tionghoa, seperti An Shigao dari Parthia dan Lokaksema dari Gandhara.[63] Dinasti Han juga menerima upeti dari Kushan dan hadiah dari Kekaisaran Parthia, seorang raja di Burma modern, dan seorang penguasa di Jepang. Selain itu, Gan Ying dikirim sebagai utusan ke Daqin (Romawi) pada tahun 97 M, walaupun ia hanya sampai ke Parthia saja.[64] Kedatangan utusan Romawi yang dikirim oleh Kaisar Marcus Aurelius (berkuasa 161–180 M) tercatat dalam Weilüe dan Hou Hanshu. Ia mencapai istana Kaisar Huan (berkuasa 146–168 M) pada tahun 166 M,[65][66] tetapi pakar Sinologi Rafe de Crespigny menegaskan bahwa kemungkinan besar mereka adalah sekelompok pedagang Romawi dan bukan diplomat.[67] Sementara itu, barang pecah belah dan koin Romawi telah ditemukan di Tiongkok.[68] Medali Romawi dari masa kekuasaan Antoninus Pius dan putra angkatnya Marcus Aurelius juga telah ditemukan di Óc Eo di Vietnam.[69] Tempat ini terletak tidak jauh dari Jun Rinan yang oleh sumber-sumber Tiongkok diklaim sebagai tempat pendaratan pertama orang-orang Romawi. Sumber Tiongkok juga menyebutkan bahwa utusan dari Tianzhu (di India utara) tiba di tempat tersebut pada tahun 159 dan 161.[70] Óc Eo sendiri diyakini merupakan kota pelabuhan "Cattigara", yang dijelaskan oleh Ptolemaeus dalam bukunya Geografi (sekitar tahun 150 M) sebagai sebuah kota yang terletak di sebelah timur Semenanjung Emas (Semenanjung Melayu) di sepanjang Magnus Sinus (yakni Teluk Thailand dan Laut Tiongkok Selatan). Menurut Ptolemaeus juga, seorang pelaut Yunani pernah mendatangi kota tersebut.[71]
Pemerintahan Kaisar Zhang (berkuasa 75–88 M) dianggap oleh para cendekiawan Han Timur dari masa sesudahnya sebagai puncak kejayaan dinasti ini.[72] Pemerintahan-pemerintahan selanjutnya dihantui oleh campur tangan orang kasim dalam perebutan kekuasaan.[73] Pada tahun 92 M, dengan bantuan kasim Zheng Zhong (meninggal 107 M), Kaisar He (berkuasa 88–105 M) memerintahkan agar Ibu Suri Dou (meninggal 97 M) dijadikan tahanan rumah dan agar klannya dihapuskan kekuasaannya. Tindakan ini diambil sebagai pembalasan karena Dou tak hanya melakukan pembersihan terhadap klan Permaisuri Liang, tetapi juga menyembunyikan fakta bahwa Liang adalah ibu kandung sang kaisar.[74] Setelah Kaisar He meninggal, istrinya yang bernama Maharani Deng Sui (meninggal 121 M) berperan sebagai wali penguasa di tengah bergejolaknya krisis keuangan serta pemberontakan Qiang yang meletus dari tahun 107 hingga 118 M.[75]
Setelah Deng tutup usia, kasim Li Run (李閏) dan Jiang Jing (江京) meyakinkan Kaisar An (berkuasa 106–125 M) untuk percaya bahwa Deng dan keluarganya berkomplot untuk menggulingkannya. An memecat para anggota klan Deng dari jabatan mereka dan mengasingkan mereka. Banyak pula yang terpaksa bunuh diri.[76] Selepas kematian An, istrinya, Ibu Suri Yan (meninggal 126 M), mengangkat Beixiang Hou yang masih kecil sebagai kaisar dalam upaya untuk mempertahankan kekuasaan keluarganya. Namun, kasim Sun Cheng (meninggal 132 M) berhasil mendalangi penggulingan rezim Yan, dan kemudian Kaisar Shun (berkuasa 125–144 M) naik takhta. Yan dijadikan tahanan rumah, para kerabatnya dibunuh atau diasingkan, dan para kasim yang menjadi sekutunya dibantai.[77] Kakak lelaki Permaisuri Liang Na (meninggal 150 M), Liang Ji (meninggal 159 M), kemudian menjadi sosok yang sangat berpengaruh di istana hingga masa Kaisar Huan (berkuasa 146-168 M). Liang Ji lalu berupaya mengendalikan Permaisuri Deng Mengnü (meninggal 165 M). Demi meraih kendali tersebut, kakak ipar sang permaisuri tewas dibunuh atas perintah dari Liang Ji. Ia juga memerintahkan pembunuhan ibu Permaisuri Deng, tetapi upaya tersebut gagal. Setelah terjadinya peristiwa tersebut, Kaisar Huan memanfaatkan para kasim untuk menggulingkan Liang Ji, yang kemudian terpaksa bunuh diri.[78]
Para mahasiswa dari Universitas Kekaisaran melancarkan unjuk rasa menentang para kasim di istana Kaisar Huan.[80] Sementara itu, hubungan Huan dengan birokrasi semakin memburuk karena ia memprakarsai proyek-proyek pembangunan yang megah dan memiliki ribuan selir pada saat krisis ekonomi.[81] Pada tahun 166 M, para kasim di istana melayangkan tuduhan kepada pejabat Li Ying (李膺) bahwa ia tengah merencanakan pengkhianatan bersama dengan para mahasiswa di Universitas Kekaisaran beserta para cendekiawan Kong Hu Cu yang menjadi lawan politik para kasim. Kaisar Huan pun marah, sehingga Li Ying dan pengikutnya dijebloskan ke penjara. Setahun sesudahnya, Perwira Utama Dou Wu (meninggal 168 M) berhasil meyakinkan kaisar untuk membebaskan mereka.[82] Kendati demikian, kaisar melarang Li Ying dan rekan-rekannya menjabat; larangan ini disebut Larangan Dangren.[82]
Setelah kematian Huan, Dou Wu dan Guru Agung Chen Fan (陳蕃) (meninggal 168 M) mengupayakan sebuah kudeta terhadap kasim Hou Lan (meninggal 172 M), Cao Jie (meninggal 181 M), dan Wang Fu (王甫). Setelah rencana persekongkolan ini terbongkar, para kasim menangkap Ibu Suri Dou (meninggal 172 M) dan Chen Fan. Panglima Zhang Huan (張奐) mendukung para kasim. Ia dan pasukannya berhadapan dengan Dou Wu dan pasukannya di gerbang istana dan masing-masing pihak meneriakkan tuduhan pengkhianatan terhadap satu sama lain. Namun, Dou Wu secara perlahan ditinggalkan oleh pasukannya, alhasil ia melarikan diri dan lalu bunuh diri.[83]
Pada masa Kaisar Ling (berkuasa 168–189 M), para kasim berhasil mendesak kaisar untuk memperbarui Larangan Dangren. Mereka juga melelang jabatan-jabatan penting di kekaisaran.[84] Banyak urusan negara dipercayakan kepada kasim Zhao Zhong (meninggal 189 M) dan Zhang Rang (meninggal 189 M), sementara Kaisar Ling menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bermain dengan para selir atau melakukan pawai militer.[85]
Akhir Dinasti Han
Larangan Dangren dicabut pada tahun 184 M pada masa Pemberontakan Serban Kuning dan Pemberontakan Wu Dou Mi Dao, salah satunya karena kaisar tidak ingin golongan elit terpelajar ikut bergabung dalam pemberontakan.[86] Serban Kuning dan Wu Dou Mi Dao sendiri adalah dua perkumpulan Taois dengan struktur yang hierarkis. Pemberontakan Serban Kuning dipimpin oleh cenayang Zhang Jue (meninggal 184 M), sementara pemberontakan Wu Dou Mi Dao dikobarkan oleh Zhang Lu (meninggal 216 M). Pemberontakan Zhang Lu di Sichuan utara dan Shaanxi selatan baru berhasil ditumpas pada tahun 215 M.[87] Pemberontakan besar-besaran Serban Kuning di delapan provinsi ditumpas oleh pasukan Han dalam waktu satu tahun, tetapi pemberontakan-pemberontakan kecil masih berlangsung dalam kurun waktu beberapa dasawarsa sesudahnya.[88] Meskipun kelompok Serban Kuning telah dikalahkan, panglima-panglima yang diangkat selama pemberontakan ini tidak membubarkan pasukan mereka dan kemudian memanfaatkannya untuk menghimpun kekuasaan mereka sendiri.[89]
Panglima Utama He Jin (meninggal 189 M), yang merupakan kakak tiri dari Maharani He (meninggal 189 M), bersekongkol dengan Yuan Shao (meninggal 202 M) untuk menggulingkan para kasim dengan memerintahkan beberapa panglima untuk datang ke pinggiran ibu kota. Di tempat tersebut para panglima ini menuntut penghukuman mati para kasim melalui sebuah pernyataan tertulis kepada Maharani He.[90] Setelah sempat ragu-ragu, Maharani He menyetujuinya. Kendati demikian, setelah para kasim mengetahui hal ini, mereka meminta saudaranya, He Miao (何苗) untuk membatalkan perintah tersebut.[91] Para kasim membunuh He Jin pada 22 September 189 M. Yuan Shao kemudian mengepung Istana Utara Luoyang, sementara saudaranya Yuan Shu (meninggal 199 M) mengepung Istana Selatan. Pada 25 September, kedua istana tersebut ditembus dan sekitar dua ribu kasim dibunuh.[92] Sebelum peristiwa naas ini terjadi, Zhang Rang telah melarikan diri dengan Kaisar Shao (berkuasa 189 M) dan adik sang kaisar Liu Xie (kelak disebut Kaisar Xian, berkuasa 189-220 M). Saat sedang dikejar oleh Yuan bersaudara, Zhang bunuh diri dengan melompat ke Sungai Kuning.[93]
Panglima Dong Zhuo (wafat 192 M) menemukan sang kaisar muda dan Liu Xie sedang berkeliaran di pedesaan. Ia mengantar mereka kembali ke ibu kota dengan selamat dan kemudian diangkat menjadi Menteri Pekerjaan Umum. Ia berhasil menancapkan kendalinya atas Luoyang, sehingga Yuan Shao terpaksa melarikan diri.[95] Setelah Dong Zhuo melengserkan Kaisar Shao dan mengangkat Liu Xie sebagai Kaisar Xian, Yuan Shao memimpin sebuah koalisi bersama dengan para mantan pejabat dan perwira dengan maksud untuk menjatuhkan Dong. Dong membumihanguskan Luoyang dan memindahkan istana kekaisaran ke Chang'an pada Mei 191 M. Dong Zhuo kemudian meracuni Kaisar Shao.[96]
Dong dibunuh oleh putra angkatnya Lu Bu (meninggal 198 M) dalam sebuah persekongkolan yang direncanakan oleh Wang Yun (meninggal 192 M).[97] Kaisar Xian melarikan diri dari Chang'an pada tahun 195 M ke reruntuhan Luoyang. Xian dibujuk oleh Cao Cao (155-220 M), yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Provinsi Yan di Shandong barat dan Henan timur, untuk memindahkan ibu kota ke Xuchang pada tahun 196 M.[98]
Yuan Shao dan Cao Cao memperebutkan kendali atas kaisar. Namun, Cao Cao mengalahkan seterunya dalam Pertempuran Guandu pada 200 M. Setelah Yuan meninggal, Cao Cao membunuh putra Yuan Shao, Yuan Tan (173-205 M), yang sebelumnya berseteru dengan saudara-saudaranya perihal warisan keluarga.[99] Saudara Yuan Shao yang lain, Yuan Shang dan Yuan Xi, dibunuh pada tahun 207 M oleh Gongsun Kang (meninggal 221 M), yang kemudian mengirim kepala mereka kepada Cao Cao.[99]
Setelah Cao mengalami kekalahan dalam Pertempuran Chibi di Sungai Yangtze pada 208 M, Tiongkok terbagi menjadi tiga wilayah: kekuasaan Cao Cao di utara, Sun Quan (182–252 M) di selatan, dan Liu Bei (161–223 M) di barat.[100] Cao Cao meninggal pada Maret 220 M. Pada bulan Desember, putranya Cao Pi (187–226 M) memaksa Kaisar Xian menyerahkan takhta kepadanya, dan menjadi kaisar yang kemudian dikenal dengan nama anumerta Kaisar Wen dari Wei. Peristiwa ini secara resmi mengakhiri riwayat Dinasti Han dan memulai konflik panjang antar tiga negara: Cao Wei, Dong Wu, dan Shu Han.[101]
Masyarakat dan kebudayaan
Kelas sosial
Dalam tatanan sosial yang hierarkis, kaisar berada di puncak masyarakat dan pemerintahan Han. Namun, dalam sejarah Han, terdapat sejumlah kaisar yang naik takhta saat masih di bawah umur. Pada masa seperti ini, pemerintahan berada di bawah kendali seorang wali penguasa seperti ibu suri atau salah satu dari kerabat laki-lakinya. Sementara itu, di bawah kaisar terdapat raja-raja yang juga berasal dari klan keluarga Liu.[103] Kelompok masyarakat lainnya (meliputi para bangsawan yang lebih rendah dari raja dan semua rakyat jelata kecuali para budak) dapat digolongkan ke dalam salah satu dari dua puluh pangkat (ershi gongcheng 二十公乘).
Semakin tinggi pangkat seseorang, semakin besar tunjangan pensiun dan keistimewaan hukum yang diperoleh. Pemegang pangkat yang tertinggi, yaitu Che Hou, menerima tunjangan pensiun dari negara serta mendapatkan wilayah feodal. Pangkat yang ada di bawahnya, yaitu Guannei Hou, menerima tunjangan pensiun, tetapi tidak mendapatkan wilayah.[104] Para pejabat yang mengabdi untuk pemerintah memiliki status sosial yang lebih rendah dari para bangsawan, walaupun pejabat pemerintahan tertinggi dapat diangkat menjadi Hou.[105] Pada masa Han Timur, elit-elit daerah (yang terdiri dari cendekiawan, guru, mahasiswa, dan pejabat pemerintahan) mulai menganggap diri mereka sebagai bagian dari golongan elit terpelajar di tingkat nasional dengan nilai-nilai dan komitmen keilmuan yang sama.[106] Pada masa pertengahan hingga akhir Han Timur, pemerintah menjadi semakin korup, dan akibatnya banyak golongan elit terpelajar yang menganggap bahwa pengabdian dalam pemerintahan tidak begitu penting, dan pembinaan hubungan pribadi yang dilandaskan pada moral dianggap lebih utama.[107]
Para petani (atau pemilik lahan kecil) berada di bawah para pejabat dan cendekiawan. Para penggarap lahan pertanian lainnya (seperti penyewa dan pekerja upahan) memiliki status sosial yang lebih rendah.[108] Para pengrajin dan tukang memiliki status hukum dan sosial-ekonomi yang berada di antara petani di atas dan pedagang biasa di bawah.[109] Pedagang yang terdaftar oleh pemerintah secara hukum diwajibkan untuk mengenakan baju berwarna putih dan membayar pajak yang tinggi. Kelompok elit terpelajar menganggap mereka hina dan seperti benalu.[110] Para pedagang ini biasanya menjadi penjaga toko di pasar kota; pedagang yang berpindah-pindah dari satu kota ke kota lainnya dapat menghindari kewajiban untuk mendaftarkan diri dan sering kali lebih kaya dan lebih kuat daripada sebagian besar pejabat pemerintahan.[111] Sementara itu, pemilik lahan yang kaya (seperti bangsawan dan pejabat) sering kali menyediakan tempat tinggal untuk pembantu yang melakukan berbagai tugas penting, dan terkadang mereka ditugaskan melawan penyamun atau ikut bertempur. Tidak seperti para budak, para pembantu bebas untuk pergi dari rumah majikan mereka.[112]
Di masyarakat Han juga terdapat profesi seperti dokter, peternak babi, dan tukang jagal. Mereka memiliki status sosial yang cukup tinggi. Di sisi lain, para peramal dan pembawa pesan memiliki status yang rendah.[113]
Keluarga, pernikahan, dan gender
Keluarga pada zaman Han bersistem patrilineal dan biasanya terdiri dari empat hingga lima keluarga inti yang hidup bersama dalam satu rumah tangga. Tidak seperti keluarga pada masa dinasti sesudahnya, anggota-anggota keluarga yang tinggal dalam satu rumah tidak sampai tiga generasi atau lebih.[114] Menurut norma Kong Hu Cu, setiap anggota keluarga diperlakukan dengan berbeda. Sebagai contoh, lama periode berkabung untuk ayah dan paman dari pihak ayah tidaklah sama.[115]
Pernikahan di Dinasti Han penuh dengan ritual, terutama bagi mereka yang kaya. Terdapat sejumlah langkah yang harus diikuti, dan yang paling penting adalah pemberian mahar dari pihak pengantin pria dan pemberian harta sesan dari pihak pengantin wanita kepada keluarga pengantin pria. Jika mahar dan harta sesan tidak diberikan sama sekali, keluarga yang bersangkutan akan menanggung malu, dan wanitanya tidak akan dianggap sebagai istri, tetapi hanya sebagai selir.[116] Perjodohan merupakan hal yang lumrah, dan masukan dari ayah dianggap lebih penting daripada masukan dari ibu.[117] Pernikahan monogami juga lumrah, walaupun para bangsawan dan pejabat tinggi bisa memiliki selir.[118] Sesuai dengan ketentuan adat (dan bukan hukum), suami dan istri sama-sama bisa bercerai dan menikah lagi kemudian.[119] Namun, wanita yang menjanda tetap menjadi bagian dari keluarga suaminya setelah suaminya meninggal. Agar bisa menikah lagi, sang janda harus membayar keluarga suaminya agar ia bisa kembali ke keluarga asalnya. Anak-anaknya tidak boleh ikut dengannya.[116]
Dalam sistem waris di keluarga Han, setiap anak lelaki mendapatkan bagian yang sama. Tidak ada sistem primogenitur (pewarisan kepada anak sulung secara utuh) kecuali untuk pewarisan gelar atau pangkat bangsawan.[120] Tidak seperti dinasti-dinasti sesudahnya, anak lelaki yang sudah dewasa dan menikah pergi dari rumah orang tua dengan membawa sebagian dari harta keluarga.[121] Anak perempuan mendapatkan bagiannya dalam bentuk harta sesan dalam pernikahan, walaupun jumlahnya biasanya lebih rendah daripada bagian yang diterima anak lelaki.[122] Pewarisan juga bisa ditentukan melalui surat wasiat, tetapi tidak diketahui seberapa lumrah praktik ini di masyarakat Han.[123]
Wanita diharapkan untuk menghormati kehendak ayah, suami, dan anak lelaki mereka yang sudah dewasa. Namun, sumber-sumber dari zaman Han menunjukkan bahwa aturan ini tidak selalu diikuti, terutama dalam hubungan antar ibu dengan anak lelaki, serta maharani yang menyuruh-nyuruh dan mempermalukan ayah dan saudara lelakinya di muka umum.[124] Wanita dikecualikan dari rodi tahunan untuk bekerja tanpa dibayar, tetapi mereka sering kali bekerja untuk mendapatkan penghasilan dan juga melakukan pekerjaan rumah tangga seperti memasak dan membersihkan rumah.[125]
Pekerjaan yang paling lumrah bagi wanita di Dinasti Han adalah menenun pakaian untuk keluarga, berjualan di pasar, atau bekerja untuk usaha tekstil yang mempekerjakan ratusan wanita. Ada juga wanita yang membantu saudara lelakinya di ladang atau menjadi penyanyi, penari, penyihir, dokter yang dihormati, dan pedagang sukses yang bisa membeli pakaian sutranya sendiri.[126] Beberapa wanita membentuk usaha bersama dalam bidang pemintalan dan menyatukan sumber daya dari sejumlah keluarga.[127]
Pendidikan, kesusastraan, dan filsafat
Dalam proses pengambilan keputusan dan perumusan kebijakan, istana Han Barat pada mulanya menerima ajaran Legalisme, Taoisme Huang-Lao, dan Kong Hu Cu.[128] Namun, istana Han pada masa Kaisar Wu hanya memberikan dukungan kepada Kong Hu Cu saja. Ia menghapuskan semua jabatan akademis non-Kong Hu Cu (bóshì 博士) yang sama sekali tidak berurusan dengan Lima Klasik (Wǔjīng) pada tahun 136 SM. Ia juga mendorong calon-calon pejabat untuk memperoleh pendidikan berbasis Konfusius di Universitas Kekaisaran yang ia bentuk pada tahun 124 SM.[129] Tidak seperti ideologi yang pada mulanya dikemukakan oleh Kong Hu Cu (551–479 SM), aliran Kong Hu Cu pada masa Kaisar Wu diciptakan oleh Dong Zhongshu (179–104 BC). Dong adalah seorang cendekiawan dan pejabat rendah yang menyatukan gagasan etika Konfusius mengenai ritual, bakti kepada orang tua, dan hubungan yang serasi dengan kosmologi Lima Unsur dan yin-yang.[130] Ideologi yang dicetuskan Dong menjustifikasi keberadaan sistem kekaisaran di tatanan alam semesta.[131] Sementara itu, Universitas Kekaisaran menjadi lembaga yang penting dengan jumlah mahasiswa yang melebihi 30.000 pada abad ke-2 M.[132] Pendidikan berbasis Kong Hu Cu juga disediakan di sekolah-sekolah tingkat jun dan sekolah swasta yang dibuka di kota-kota kecil.[133]
Beberapa naskah penting disusun dan dikaji oleh para cendekiawan. Karya filsafat yang ditulis oleh Yang Xiong (53 BC–18 M), Huan Tan (43 SM–28 M), Wang Chong (27–100 M), dan Wang Fu (78–163 M) mencoba menentukan apakah manusia pada hakikatnya baik atau jahat, dan juga menantang ideologi Dong mengenai tatanan alam semesta.[135] Catatan Sejarawan Agung karya Sima Tan (kematian 110 SM) dan putranya Sima Qian (145–86 SM) menjadi acuan bagi semua Buku Sejarah Tiongkok, seperti Buku Han yang ditulis oleh Ban Biao (3–54 AD), putranya Ban Gu (32–92 M), dan putrinya Ban Zhao (45–116 M).[136] Terdapat pula kamus seperti Shuowen Jiezi karya Xu Shen (sekitar 58–147 M) dan Fangyan karya Yang Xiong.[137] Biografi tokoh-tokoh penting juga ditulis pada masa Dinasti Han.[138] Sementara itu, puisi pada masa Dinasti Han didominasi oleh langgam fu yang mencapai puncak kejayaannya pada masa Kaisar Wu.[139]
Hukum dan ketertiban
Para cendekiawan Han (seperti Jia Yi, 201–169 SM) menggambarkan Dinasti Qin sebagai rezim yang lalim. Namun, bukti arkeologis yang berasal dari Zhangjiashan dan Shuihudi menunjukkan bahwa banyak aturan tertulis dalam kitab undang-undang Han (yang disusun oleh Kanselir Xiao He, kematian 193 SM) yang diambil dari hukum Qin.[140]
Tindakan pemerkosaan, penganiayaan fisik, dan pembunuhan dapat dituntut di pengadilan. Walaupun kaum perempuan berdasarkan hukum adat tidak memiliki hak yang sama dengan laki-laki, mereka diperbolehkan menuntut lelaki secara pidana ataupun perdata.[141] Para tersangka dijebloskan ke penjara, tetapi mereka yang sudah divonis tidak diganjar hukuman semacam itu. Hukuman yang biasanya dikenakan adalah denda, kerja paksa, dan pemenggalan.[142] Hukuman mutilasi yang dikenakan oleh pemerintah Han diambil dari hukum Qin. Meskipun begitu, pemerintah Han melancarkan reformasi yang menghapus hukuman mutilasi dan menggantinya dengan hukuman pemukulan kaki.[143]
Mereka yang memiliki kewajiban untuk bertindak sebagai hakim adalah pejabat yang mengurus satuan pemerintahan jun dan xian. Perkara yang rumit, terkait dengan tokoh penting, atau yang tidak dapat diselesaikan biasanya diserahkan kepada Kementerian Kehakiman di ibu kota atau bahkan kepada kaisar.[144] Di setiap xian terdapat sejumlah distrik, masing-masing diawasi oleh seorang kepala polisi. Sementara itu, penjaga ketertiban di kota adalah para pejabat pemerintahan di pasar dan pejabat tingkat desa di daerah perumahan.[145]
Makanan
Tanaman pokok yang paling umum di Dinasti Han adalah gandum, jelai, juwawut, padi, dan kacang.[146] Sayur mayur dan buah-buahan yang paling sering dimakan meliputi kastanya, pir, prem, persik, melon, abrikos, stroberi, yangmei, jujube, labu air, rebung, sesawi, dan talas.[147] Masyarakat Han juga mengonsumsi daging hewan yang telah didomestikasi seperti ayam, bebek mandarin, angsa, sapi, domba, babi, unta, serta anjing (berbagai jenis yang dikembangbiakkan khusus untuk dijadikan makanan, sementara sebagian besar dijadikan hewan peliharaan). Penyu dan ikan juga ditangkap di sungai dan danau. Selain itu, daging hewan buruan yang paling sering dikonsumsi meliputi burung hantu, pegar, kucica, rusa sika, dan burung Bambusicola thoracicus.[148] Sementara itu, bumbu-bumbu yang digunakan meliputi gula, madu, garam, dan kecap.[149] Bir dan anggur juga sering dikonsumsi.[150]
Pakaian
Jenis pakaian yang dikenakan dan bahan yang digunakan seseorang pada masa Han tergantung pada kelas sosialnya. Orang kaya mampu membeli jubah, rok, kaus kaki, dan sarung tangan dari sutra, serta jubah yang terbuat dari kulit bulu rubah atau musang. Ada pula yang memakai bulu bebek, sandal yang bertatahkan kulit, mutiara, dan alas sutra. Sementara itu, para petani umumnya mengenakan pakaian yang terbuat dari rami, wol, dan kulit ferret.[151]
Agama, kosmologi, dan metafisika
Keluarga-keluarga di Dinasti Han mempersembahkan hewan dan makanan di kuil untuk para dewa, roh, dan leluhur. Diyakini persembahan ini dapat dipakai oleh roh di alam baka.[152] Masyarakat Han percaya bahwa setiap orang memiliki dua macam jiwa: hun (魂) yang melanjutkan perjalanan ke nirwana setelah kematian (xian), serta po (魄) yang tetap berada di makam dan baru akan bersatu kembali dengan hun melalui upacara.[153]
Selain menjadi penguasa, kaisar juga berperan sebagai imam tertinggi yang memberikan persembahan kepada Tian (surga), dewa-dewa utama yang dikenal dengan sebutan Lima Kekuatan, serta roh (shen 神) gunung dan sungai.[154] Masyarakat Han percaya bahwa Surga, Bumi, dan Manusia saling terhubung dalam siklus yin-yang dan lima unsur.[155] Apabila kaisar tidak menjalani ritual, etika, dan moral yang sepatutnya diamalkan, ia dapat mengganggu keseimbangan siklus tersebut dan memicu bencana alam seperti gempa bumi, banjir, kekeringan, wabah penyakit, dan serangan hama.[156]
Menurut kepercayaan Han, seseorang dapat hidup abadi jika ia berhasil mencapai negeri "Ibu Ratu dari Barat" (Xi Wangmu) atau Gunung Penglai.[157] Para pertapa Taois pada masa Han membentuk kelompok-kelompok kecil dan mencoba memperoleh kehidupan abadi melalui latihan napas, teknik seksual, dan ramuan panjang umur.[158] Pada abad ke-2 M, para penganut Taois telah membentuk perkumpulan-perkumpulan yang besar, contohnya adalah Wu Dou Mi Dao. Para pengikut perkumpulan keagamaan yang hierarkis ini percaya bahwa Laozi (abad ke-6 SM) akan membawa keselamatan dan kesehatan bagi para pengikutnya jika mereka mengaku dosa, melarang pemujaan dewa-dewa najis yang mau menerima persembahan daging, serta melantunkan isi dari Daodejing.[159]
Buddhisme pertama kali masuk ke Tiongkok pada masa Han Timur, dan keberadaan agama ini pertama kali disebutkan pada 65 M.[160] Liu Ying (kematian 71 M) yang merupakan saudara tiri Kaisar Ming (berkuasa 57–75 M) adalah salah satu pengikut Buddha yang pertama dari Tiongkok, walaupun Buddhisme Tionghoa pada masa ini sangat terkait dengan Taoisme Huang-Lao.[161] Kuil Buddha pertama di Tiongkok yang disebut "Kuil Kuda Putih" dibangun di luar tembok ibu kota Han, Luoyang, pada masa Kaisar Ming.[162] Kitab-kitab Buddha diterjemahkan ke dalam bahasa Tionghoa pada abad ke-2 M, termasuk di antaranya adalah Sutra Empat Puluh Dua Bab, Pradnyaparamita, Suranggama Sutra, dan Pratyutpanna Sutra.[163]
Pemerintahan
Pemerintahan pusat
Di Dinasti Han, kaisar adalah hakim dan pembuat undang-undang tertinggi. Ia juga berperan sebagai panglima tertinggi dan orang yang berwenang mengangkat pejabat-pejabat tinggi di tingkat pusat dan daerah (pejabat dengan tataran upah 600 dan).[165] Pada dasarnya kekuasaan kaisar tidak terbatas. Namun, badan-badan pemerintahan dengan kepentingannya sendiri (seperti tingyi atau 廷議, yaitu konferensi yang dihadiri para menteri untuk mencapai konsensus dalam permasalahan tertentu) dapat menekan kaisar untuk menerima nasihat menteri-menterinya dalam proses pengambilan keputusan.[166] Apabila kaisar menolak menerima keputusan dari tingyi, ia dapat kehilangan dukungan dari menteri-menterinya. Walaupun begitu, kadang-kadang kaisar menolak pendapat mayoritas di tingyi.[167]
Di bawah kaisar terdapat anggota kabinetnya yang dikenal dengan sebutan Tiga Bangsawan (San gong 三公), yang terdiri dari Kanselir atau Menteri Rakyat (Chengxiang 丞相 atau Da situ 大司徒), Penasihat Kekaisaran atau Menteri Pekerjaan Umum (Yushi dafu 御史大夫 atau Da sikong 大司空), dan Perwira Utama atau Perwira Agung (Taiwei 太尉 atau Da sima 大司馬).[168]
Kanselir (yang diganti gelarnya menjadi Menteri Rakyat pada tahun 8 SM) bertanggung jawab menyusun anggaran negara. Tugasnya yang lain adalah mengurus catatan lahan dan populasi di tingkat provinsi, memimpin tingyi, bertindak sebagai hakim, dan menyarankan calon pejabat tinggi. Ia dapat mengangkat pejabat dengan tataran upah di bawah 600 dan.[169]
Sementara itu, tugas Penasihat Kekaisaran adalah melaksanakan prosedur kedisiplinan terhadap para pejabat. Ia memiliki kewajiban yang serupa dengan Kanselir, contohnya adalah menerima laporan tahunan dari provinsi. Namun, setelah gelar Penasihat Kekaisaran diubah menjadi Menteri Pekerjaan Umum pada tahun 8 SM, tugas utamanya berubah menjadi pengawasan proyek-proyek pekerjaan umum.[170]
Perwira Utama (yang sempat berganti gelar menjadi Perwira Agung pada 119 SM sebelum akhirnya kembali menjadi Perwira Utama pada 51 M) adalah panglima militer yang hanya diangkat pada saat tertentu, dan kemudian ia menjadi wali penguasa pada masa Han Barat. Pada masa Han Timur, ia hanya bertugas sebagai pejabat sipil dengan berbagai wewenang yang sama dengan anggota San gong lainnya.[171]
Di bawah San gong terdapat Sembilan Menteri (Jiu qing 九卿), dan masing-masing dari mereka mengepalai kementeriannya tersendiri. Menteri Upacara (Taichang 太常) adalah menteri yang mengurus upacara keagamaan, kegiatan sembahyang, dan pemeliharaan kuil nenek moyang.[172] Menteri Rumah Tangga (Guang lu xun 光祿勳) ditugaskan mengatur keamanan di istana kaisar dan taman kekaisaran serta menjaga kaisar saat ia keluar dari istana dengan mengendarai kereta kuda.[173] Menteri Penjaga (Weiwei 衛尉) mengurus petugas yang berpatroli di tembok, menara, dan gerbang istana.[174] Menteri Kusir (Taipu 太僕) bertugas memelihara kandang kuda kekaisaran beserta kuda, kereta, dan gedung menyimpanan kereta untuk kaisar dan pengiringnya. Selain itu, ia juga memasok kuda untuk pasukan kekaisaran.[175] Sementara itu, Menteri Kehakiman (Tingwei 廷尉) adalah pejabat yang menegakkan, melaksanakan, dan menafsirkan hukum.[176] Menteri Bentara (Da honglu 大鴻臚) menerima tamu-tamu terhormat di istana, misalnya bangsawan dan utusan-utusan dari luar negeri.[177] Menteri Marga Kekaisaran (Zongzheng 宗正) mengawasi interaksi dengan bangsawan Han dan keluarga jauh kekaisaran, dan ia juga dapat memberikan gelar dan wilayah feodal.[178] Menteri Keuangan (Da sinong 大司農) berperan sebagai bendahara birokrasi dan angkatan bersenjata, dan ia pulalah yang mengurus pendapatan dari pajak dan menetapkan standar satuan.[179] Menteri Pelayan (Shaofu 少府) hanya mengabdi kepada kaisar dan bertugas menghiburnya, menyediakan makanan dan pakaian yang layak, memberinya perawatan fisik dan obat, serta menyediakan perlengkapan dan barang berharga.[180]
Pemerintahan daerah
Selain kerajaan dan wilayah Hou, wilayah Dinasti Han terbagi menjadi daerah tingkat satu yang disebut provinsi (zhou), daerah tingkat dua yang disebut jun, dan daerah tingkat tiga yang bernama xian.[183] Xian terbagi lagi menjadi sejumlah distrik (xiang). Distrik sendiri terdiri dari sejumlah dusun (li), dan terdapat sekitar seratus keluarga di setiap dusun.[184][185]
Kepala provinsi (dengan gelar yang berubah-ubah pada masa Han, seperti Inspektur atau Gubernur) bertanggung jawab mengawasi pemerintahan di tingkat jun dan kerajaan.[186] Berdasarkan laporan mereka, pejabat di daerah-daerah tersebut bisa dinaikkan atau diturunkan pangkatnya, dipecat, atau dituntut di pengadilan kekaisaran.[187]
Gubernur dapat mengambil berbagai tindakan tanpa perlu izin dari istana terlebih dahulu. Inspektur dengan pangkat yang lebih rendah hanya memiliki wewenang eksekutif pada masa krisis, seperti wewenang dalam merekrut anggota milisi di berbagai jun yang masuk ke dalam wilayahnya untuk memadamkan pemberontakan.[183]
Jun dikepalai oleh seorang pengurus.[183] Ia berperan sebagai pemimpin sipil dan militer tertinggi di daerahnya dan bertugas mengurus pertahanan, tuntutan hukum, pemberian instruksi musiman kepada para petani, serta pemberian rekomendasi calon pejabat yang dikirim setiap tahun ke ibu kota sebagai bagian dari sistem kuota yang pertama kali ditetapkan oleh Kaisar Wu.[188] Sementara itu, kepala xian yang terdiri dari sekitar 10.000 rumah tangga disebut ling, sementara kepala xian yang lebih kecil disebut zhang.[189] Mereka bertugas menegakkan hukum dan ketertiban di xian mereka, mendaftarkan penduduk untuk keperluan pajak, mengerahkan tenaga kerja yang menunaikan rodi tahunan, memperbaiki sekolah, dan mengawasi proyek pekerjaan umum.[190]
Kerajaan dan wilayah hou
Kerajaan (dengan luas yang kurang lebih sama dengan jun) adalah wilayah feodal semiotonom yang dikuasai oleh kerabat lelaki kaisar. Sebelum tahun 157 SM, beberapa kerajaan berada di bawah kendali sosok yang bukan kerabat kaisar. Mereka mendapatkan kehormatan ini sebagai balas jasa karena telah mengabdi untuk Kaisar Gaozu. Pemerintahan setiap kerajaan sangat mirip dengan sistem pemerintahan pusat.[191] Kaisar mengangkat Kanselir di setiap kerajaan, tetapi rajalah yang mengangkat semua pejabat yang lain di wilayahnya.[192]
Namun, pada tahun 145 SM, setelah beberapa raja melakukan pemberontakan, Kaisar Jing mencabut hak raja untuk mengangkat pejabat dengan upah yang lebih tinggi dari 400 dan.[193] Jabatan Penasihat Kekaisaran dan Sembilan Menteri (kecuali Menteri Kusir) di setiap kerajaan dihapuskan, walaupun Kanselir masih diangkat oleh pemerintah pusat.[193] Dengan dilancarkannya reformasi ini, raja menjadi penguasa wilayah feodal mereka di atas kertas saja, dan hanya sebagian dari pajak yang dipungut di wilayah mereka yang dapat dijadikan pendapatan pribadi.[194]
Sementara itu, para pejabat administratif di wilayah feodal seorang hou juga diangkat oleh pemerintah pusat. Kanselir di wilayah hou memiliki pangkat yang setara dengan seorang ling. Seperti halnya raja, hou dapat mengambil sebagian dari pajak yang dipungut di wilayahnya sebagai pendapatan pribadi.[195]
Militer
Pada permulaan Dinasti Han, setiap laki-laki berumur dua puluh tiga tahun yang tergolong sebagai rakyat jelata bisa diwajibkan untuk ikut militer. Batas usia minimal untuk wajib militer di Han dikurangi menjadi dua puluh tahun setelah masa Kaisar Zhao (berkuasa 87–74 SM).[196] Mereka yang diwamilkan mengikuti pelatihan selama setahun sebelum ditugaskan di lapangan selama satu tahun juga. Mereka menjalani tahun pelatihan di salah satu cabang angkatan bersenjata: infanteri (pasukan pejalan kaki), kavaleri (pasukan berkuda), atau angkatan laut.[197] Saat mereka ditugaskan, mereka biasanya dikirim ke wilayah perbatasan, ditugaskan di istana seorang raja, atau bertugas untuk Menteri Penjaga di ibu kota. Sementara itu, angkatan bersenjata profesional yang berjumlah kecil ditugaskan di ibu kota.[197]
Pada masa Han Timur, wajib militer bisa dihindari dengan membayar pajak. Pemerintah Han Timur lebih suka merekrut sukarelawan.[198] Pasukan sukarelawan menjadi bagian dari Pasukan Selatan (Nanjun 南軍), sementara angkatan bersenjata permanen yang ditugaskan di ibu kota atau wilayah sekitarnya disebut Pasukan Utara (Beijun 北軍).[199] Pasukan Utara dipimpin oleh seorang kolonel (Xiaowei 校尉) dan terdiri dari lima resimen, masing-masing terdiri dari ribuan pasukan.[200] Setelah pemerintah pusat tak dapat lagi mengendalikan wilayah-wilayahnya sesudah tahun 189 M, para pemilik tanah yang kaya, ningrat, dan gubernur militer menjadikan abdi-abdi mereka sebagai pasukan pribadi (buqu 部曲).[201]
Pada masa perang, jumlah pasukan sukarelawan bertambah, dan milisi yang jumlahnya lebih besar lagi juga dibentuk di berbagai daerah untuk membantu Pasukan Utara. Dalam keadaan seperti ini, seorang panglima (Jiangjun 將軍) memimpin sebuah divisi, yang kemudian terbagi menjadi resimen yang dipimpin oleh seorang kolonel dan kadang-kadang juga oleh seorang mayor (Sima 司馬). Resimen terbagi menjadi kompi yang dipimpin oleh seorang kapten (Hou 候). Peleton adalah satuan yang terkecil.[202]
Ekonomi
Mata uang
Dinasti Han mewarisi koin jenis ban liang dari Dinasti Qin. Pada permulaan masa Han, Kaisar Gaozu menutup percetakan koin milik pemerintah dan menggantikannya dengan percetakan koin perorangan. Setelah ia meninggal, kebijakan ini dibatalkan oleh istrinya, Ibu Suri Agung Lü Zhi (kematian 180 SM), yang menghapuskan sistem percetakan koin perorangan.[203] Pada tahun 182 SM, Lü Zhi mengeluarkan koin perunggu yang jauh lebih ringan bobotnya daripada koin-koin sebelumnya. Hal ini mengakibatkan inflasi yang tidak dapat ditekan hingga tahun 175 SM setelah Kaisar Wen mengizinkan pihak perorangan untuk mencetak koin dengan bobot 2,6 g.[203]
Pada tahun 144 SM, Kaisar Jing menghapuskan sistem percetakan koin perorangan dan menggantikannya dengan percetakan koin oleh pemerintah baik di tingkat pusat maupun jun. Ia juga memperkenalkan koin yang baru.[204] Kaisar Wu memperkenalkan koin yang lain pada tahun 120 SM, tetapi satu tahun kemudian ia menggantikan ban liang dengan koin wuzhu (五銖) yang berbobot 3,2 g.[205] Wuzhu menjadi koin standar Tiongkok hingga masa Dinasti Tang (618–907 M). Penggunaannya sempat terhenti akibat pembuatan koin baru pada masa Wang Mang, tetapi koin wuzhu kembali dipergunakan pada tahun 40 M oleh Kaisar Guangwu.[206]
Koin yang dicetak di tingkat jun memiliki mutu yang lebih rendah dan bobot yang lebih ringan, sehingga pada tahun 113 SM pemerintah pusat menutup percetakan-percetakan daerah dan memonopoli percetakan koin. Pengeluaran koin oleh pemerintah pusat diawasi oleh Pengawas Terusan dan Taman, dan tugas ini kemudian diserahkan kepada Menteri Keuangan pada masa Han Timur.[207] Secara keseluruhan, terdapat 28 miliar keping koin yang dicetak di Dinasti Han dari tahun 118 SM hingga 5 M, dengan rata-rata 220 juta koin setiap tahunnya.[208]
Perpajakan dan kepemilikan
Pemilik lahan diwajibkan memberikan sebagian dari hasil panennya untuk melunasi pajak bumi, dan besarannya disesuaikan dengan jumlah yang didapat. Sementara itu, pajak perseorangan dan pajak properti dibayarkan dalam bentuk koin.[209] Pajak perseorangan tahunan untuk laki-laki dan wanita dewasa adalah 120 koin, sementara untuk anak-anak hanya 20 koin. Pedagang harus membayar pajak yang lebih tinggi, yaitu 240 koin.[210]
Dengan beredarnya koin di Dinasti Han, pedagang-pedagang dapat menanamkan modalnya dalam bidang pertanahan, sehingga malah memperkuat golongan sosial yang hendak ditindas oleh pemerintah melalui pajak yang tinggi.[213] Kaisar Wu bahkan menegakkan hukum yang menyatakan bahwa pedagang yang terdaftar oleh pemerintah dilarang memiliki lahan, tetapi pedagang-pedagang yang kuat dapat menghindari pendaftaran dan tetap memiliki lahan yang luas.[214]
Pembayar pajak yang paling besar adalah pemilik lahan kecil. Pendapatan dari mereka sempat terancam pada paruh akhir masa Han Timur karena banyak petani yang berutang, sehingga mereka mau tidak mau harus bekerja untuk tuan tanah yang kaya raya.[215] Pemerintah Han melancarkan reformasi agar pemilik lahan kecil tidak terlilit utang, contohnya dengan penurunan pajak, pengampunan pajak untuk sementara waktu, dan pemberian pinjaman. Para petani yang tidak memiliki lahan juga diberikan tempat tinggal sementara dan pekerjaan di koloni pertanian Tuntian sampai mereka bisa melunasi utang mereka.[216]
Pada tahun 168 SM, besaran pajak bumi dikurangi dari 1/15 hasil panen menjadi 1/30,[217] dan kemudian menjadi seperseratus hasil panen pada dasawarsa-dasawarsa terakhir Dinasti Han. Pendapatan negara yang hilang akibat pengurangan pajak ini ditanggung oleh peningkatan pajak properti.[218]
Pajak tenaga kerja dikenakan dalam bentuk wajib kerja selama satu bulan setiap tahun, dan kewajiban ini dibebankan kepada laki-laki yang tergolong sebagai rakyat jelata dan berumur antara lima belas hingga lima puluh enam tahun. Kewajiban ini dapat dihindari pada masa Han Timur dengan membayar pajak, dan tenaga kerja yang mendapatkan upah sendiri menjadi lebih lazim pada masa ini.[219]
Produksi perseorangan dan monopoli pemerintah
Pada awal masa Han Barat, pengusaha garam dan besi yang kaya (baik itu raja ataupun pedagang kaya) dapat memiliki dana yang menyaingi perbendaharaan kekaisaran, dan mereka juga dapat mengerahkan lebih dari seribu tenaga petani. Hal ini menjauhkan para petani dari lahan mereka, sehingga pemerintah pun mengalami kerugian akibat berkurangnya pendapatan dari pajak bumi.[220] Untuk menanggulangi permasalahan ini, Kaisar Wu mengambil alih (menasionalisasi) industri garam dan besi menjadi milik negara pada tahun 117 SM dan mengizinkan mantan usahawan ini menjadi pejabat yang mengelola monopoli negara dalam sektor tersebut.[221] Pada masa Han Timur, monopoli pemerintah pusat dicabut dan digantikan oleh produksi di tingkat jun dan xian, serta oleh pihak perseorangan.[222]
Minuman keras juga merupakan industri yang menguntungkan pihak swasta, dan pemerintah Han menasionalisasi industri ini pada tahun 98 SM. Namun, nasionalisasi ini dibatalkan pada tahun 81 SM, dan kemudian mereka yang memperdagangkan barang ini dipungut pajak sebesar dua koin untuk setiap 0,2 L minuman.[223] Pada tahun 110 SM, Kaisar Wu juga melakukan campur tangan terhadap perdagangan biji padi-padian yang sebelumnya menguntungkan pihak perseorangan. Ia menghentikan para spekulan dengan menjual biji padi-padian yang disimpan pemerintah dengan harga yang lebih rendah daripada yang diminta oleh para pedagang.[224] Sementara itu, pemerintah pusat tidak mengendalikan harga pada masa Han Timur, kecuali pada masa Kaisar Ming ketika Kantor Penyesuaian dan Stabilisasi Harga dibentuk, tetapi kantor ini tidak bertahan lama dan dibubarkan pada tahun 68 M.[225]
Ilmu pengetahuan dan teknologi
Dinasti Han merupakan masa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat dibandingkan dengan perkembangan pada masa Dinasti Song (960–1279).[226]
Bahan penulisan
Pada milenium pertama SM, bahan-bahan yang umumnya dipakai orang Tiongkok kuno sebagai media tulis adalah barang perunggu, tulang hewan, serta bambu dan kayu. Pada permulaan Dinasti Han, bahan tulis utama yang digunakan adalah lauh tanah liat, kain sutra, kertas rami,[227][228] dan gulungan yang terbuat dari bambu dan diikat dengan tali rami.[229]
Kertas rami tertua yang telah ditemukan di Tiongkok berasal dari abad ke-2 SM.[227][230] Kemudian, pada tahun 105, proses pembuatan kertas diciptakan oleh Cai Lun (50–121 M).[231] Sementara itu, kertas tertua yang telah ditemukan dengan tulisan di atasnya berasal dari reruntuhan sebuah menara pantau Han yang ditinggalkan pada tahun 110 M di Mongolia Dalam.[232]
Metalurgi dan pertanian
Berdasarkan bukti yang ada, Tiongkok pada Zaman Musim Semi dan Gugur (722–481 SM) sudah memiliki tanur tiup yang mengubah bijih besi menjadi besi kasar. Besi ini dapat dilelehkan lagi dalam sebuah tungku pembakaran untuk menghasilkan besi tuang selama proses peniupan udara dingin dan panas.[233] Bangsa Tiongkok Kuno tidak mengenal tungku tempa, tetapi orang Tiongkok pada masa Han membuat besi tempa dengan memasukkan oksigen yang berlebih ke dalam tungku pembakaran dan memicu dekarburisasi.[234] Besi tuang dan kasar dapat diubah menjadi besi tempa dan baja melalui proses penempaan yang disebut finery forge.[235]
Orang Tiongkok pada masa Han menggunakan perunggu dan besi untuk membuat senjata, alat masak, alat tukang kayu, dan barang rumah tangga.[236] Salah satu barang yang dihasilkan dari teknik peleburan besi yang baru adalah alat-alat pertanian. Penugal benih berkaki tiga yang terbuat dari besi (yang diciptakan pada abad ke-2 SM) membantu petani menanam benih tanpa harus melemparnya dengan tangan.[237] Bajak singkal besi besar yang diciptakan pada masa Han hanya perlu ditarik oleh dua kerbau dan dikendalikan oleh satu orang. Bajak ini memiliki tiga mata bajak dan sebuah kotak benih. Dengan alat ini, petani dapat membajak lahan seluas 45.730 m2 dalam waktu satu hari.[238]
Untuk melindungi tanaman dari angin dan kekeringan, Zhao Guo (趙過) menciptakan sistem ladang berganti (daitianfa 代田法) pada masa Kaisar Wu. Sistem ini mengubah posisi rabung dan alur pada periode antar musim tanam.[239] Setelah sistem ini terbukti berhasil, pemerintah secara resmi mendukungnya dan mengajak para petani untuk menerapkannya.[239] Para petani Han juga menggunakan sistem lubang (aotian 凹田) untuk bertani. Sistem ini menggunakan lubang-lubang yang telah dipupuk, sehingga tidak memerlukan bajak dan bisa dipakai di dataran miring.[240] Para petani Han di kawasan Sungai Yangtze di Tiongkok selatan membudidayakan padi di sawah, sementara para petani beras di sepanjang Sungai Huai menggunakan metode produksi pindah tanam.[241]
Struktur dan geoteknik
Kayu adalah bahan bangunan utama di Dinasti Han. Bahan ini digunakan untuk mendirikan balai istana, hunian dan balai berlantai, serta rumah-rumah satu lantai.[243] Namun, kayu mengalami pelapukan dengan cepat, sehingga yang tersisa saat ini hanyalah sekumpulan genteng keramik.[244] Balai kayu tertua yang masih ada dari Tiongkok berasal dari masa Dinasti Tang (618–907 M).[245] Para sejarawan mencoba menggunakan karya seni dan sastra untuk mencari petunjuk tentang arsitektur kayu Han, tetapi sumber-sumber ini acap kali tidak terandalkan.[246]
Walaupun begitu, masih ada beberapa reruntuhan dari masa Han yang terbuat dari bata, batu, dan tanah yang dimampatkan (rammed earth). Termasuk di antaranya adalah menara gerbang dari batu, bilik makam dari bata, tembok kota dari tanah yang dimampatkan, mercu suar dari bata dan tanah yang dimampatkan, bagian dari Tembok Besar Tiongkok yang terbuat dari tanah yang dimampatkan, landasan dari tanah yang dimampatkan yang pernah menjadi tempat berdirinya balai, serta dua puri dari tanah yang dimampatkan di Gansu.[247] Reruntuhan tembok dari tanah yang dimampatkan yang pernah mengelilingi Chang'an dan Luoyang masih berdiri hingga kini, dan begitu pula dengan sistem selokan, parit, dan pipa air dari keramik.[248] Terdapat pula 29 menara gerbang batu dari masa Dinasti Han yang masih bertahan hingga kini, dan menara semacam ini menjadi pintu masuk situs makam dan sanggar pemujaan.[249] Menara-menara gerbang ini meniru komponen-komponen bangunan kayu dan keramik seperti genteng atap, tritisan, dan langkan.[250]
Rumah dengan halaman tengah adalah jenis rumah yang paling sering digambarkan dalam karya seni Han.[243] Maket bangunan-bangunan (seperti rumah dan menara) juga telah ditemukan di makam-makam Han, yang mungkin dimaksudkan untuk memberikan tempat tinggal bagi orang mati di akhirat. Maket ini memberikan petunjuk mengenai bentuk arsitektur kayu yang kini sudah tiada. Sebagai contoh, rancangan artistik yang ditemui di genteng atap keramik di maket menara kadang-kadang sesuai dengan genteng atap yang ditemukan di situs arkeologi Han.[251]
Terdapat lebih dari sepuluh makam bawah tanah dari masa Han yang telah ditemukan. Banyak di antaranya yang memiliki serambi-serambi berlangit-langit pelengkung, bangsal-bangsal berlangit-langit pelengkung, dan kubah-kubah.[252] Rumah-rumah bawah tanah berlangit-langit pelengkung maupun kubah tidak memerlukan penopang karena sudah ditopang tanah di sekelilingnya[253] Sementara itu, tidak diketahui apakah langit-langit pelengkung dan kubah juga digunakan di struktur-struktur Han di permukaan.[253]
Menurut sumber-sumber Han, jembatan balok, jembatan pelengkung, jembatan gantung sederhana, dan jembatan ponton terapung sudah ada di Tiongkok pada masa mereka.[254] Namun, keberadaan jembatan pelengkung hanya disebutkan dua kali dalam literatur Han,[255] dan hanya ada satu pahatan Han di Sichuan yang menggambarkan jembatan pelengkung.[256]
Poros tambang bawah tanah (beberapa mencapai kedalaman 100 m) dibuat untuk menggali bijih logam.[257] Orang Han juga sudah memiliki semacam rig pengeboran untuk mengangkat air garam ke wajan besi. Air tersebut kemudian disuling untuk menghasilkan garam. Tungku-tungku penyulingan ini dipanaskan oleh gas alam yang disalurkan ke permukaan lewat pipa bambu.[258] Lubang-lubang bor ini sendiri dapat mencapai kedalaman 600 m.[259]
Mekanika dan hidrolik
Teknik mekanika (rekayasa mesin-mesin) dari masa Han dapat diketahui dari tulisan-tulisan para cendekiawan Kong Hu Cu, walaupun mereka kadang-kadang tidak tertarik dengan subjeknya dan menganggap penelitian ilmiah dan teknik sebagai suatu hal yang tidak sebanding dengan diri mereka.[260] Para insinyur-pengrajin profesional (jiang 匠) tidak meninggalkan catatan tertulis yang menjabarkan karya-karya mereka.[261] Para cendekiawan Kong Hu Cu ini tidak memiliki keahlian dalam bidang mekanika, dan kadang-kadang keterangan yang mereka tuliskan tidak lengkap.[262] Walaupun begitu, sumber-sumber ini tetap memberikan keterangan yang penting. Misalnya, pada tahun 15 SM, filsuf dan penulis Yang Xiong mendeskripsikan penemuan penggerak sabuk untuk mesin quilling yang sangat penting untuk pembuatan tekstil pada masa itu.[263] Temuan-temuan insinyur dan pengrajin Ding Huan (丁緩) disebutkan dalam Serba-serbi mengenai Ibu Kota Barat.[264] Pada kisaran tahun 180 M, Ding membuat kipas angin yang dijalankan secara manual untuk menyejukkan udara di dalam istana.[265] Ding juga menggunakan gimbal (daya dorong berputar yang memungkinkan rotasi objek) sebagai penopang salah satu alat pembakar dupanya, dan ia juga adalah pencipta lampu zoetrop pertama di dunia.[266]
Berkat arkeologi modern, telah ditemukan karya-karya seni Han yang menggambarkan temuan-temuan yang tidak disebutkan dalam sumber-sumber tertulis. Engkol dipakai untuk menjalankan kipas mesin penampi yang memisahkan sekam dari biji padi-padian, seperti yang bisa dilihat dalam bentuk maket di makam Han.[267] Kereta odometer yang diciptakan pada masa Han dapat mengukur panjang perjalanan. Roda pada mesin ini memutar sejumlah gigi yang kemudian membuat arca-arca mekanis menabuh gendang dan gong untuk menandai jarak yang telah ditempuh (dengan satuan li).[268] Temuan ini digambarkan dalam karya seni Han dari abad ke-2, tetapi keterangan tertulis mengenai alat ini baru ada pada abad ke-3.[269] Para arkeolog modern juga telah menggali spesimen-spesimen alat yang dipakai pada masa Han, seperti sepasang jangka sorong yang digunakan untuk melakukan pengukuran. Di jangka sorong ini terdapat inskripsi yang menandai hari dan tahun pembuatannya. Alat-alat ini sama sekali tidak disebutkan dalam sumber-sumber tertulis dari Dinasti Han.[270]
Kincir air pertama kali muncul dalam sumber tertulis Tiongkok pada masa Han. Seperti yang dituliskan oleh Huan Tan pada kisaran tahun 20 M, kincir air digunakan untuk menggerakkan gigi-gigi yang mengangkat palu penempa yang dipakai untuk menumbuk, merontokkan, dan memoles biji padi-padian.[271] Tidak cukup bukti yang menunjukkan keberadaan kilang tenaga air di Tiongkok hingga kisaran abad ke-5.[272] Walaupun begitu, insinyur Du Shi (kematian 38 M) yang juga menjabat sebagai pengurus Jun Nanyang menciptakan sebuah resiprokator bertenaga air yang dapat menjalankan ubub yang digunakan untuk peleburan besi; sebelum itu, ubub harus dijalankan secara manual dan sangat menguras tenaga.[273] Kincir air juga dipakai untuk menjalankan pompa rantai yang mengangkat air ke saluran irigasi. Keberadaan pompa rantai pertama kali disebutkan di Tiongkok oleh filsuf Wang Chong dalam karyanya yang ditulis pada abad ke-1 M, Lunheng.[274]
Bola armiler (yang merepresentasikan pergerakan benda-benda langit dalam ranah tiga dimensi) ditemukan di Dinasti Han pada abad ke-1 SM.[275] Astronom istana Zhang Heng (78–139 M) kemudian mampu menghasilkan gerak rotasi pada bola armilernya dengan menggunakan jam air, kincir air, dan sejumlah gigi.[276] Zhang juga menciptakan sebuah alat bernama houfeng didong yi (候風地動儀) yang disebut oleh sejarawan Britania Joseph Needham sebagai "leluhur dari semua seismograf".[277] Alat ini mampu mendeteksi arah mata angin dari suatu peristiwa gempa bumi yang terjadi ratusan kilometer jauhnya.[278] Alat ini memakai bandul terbalik; jika bandul ini terdampak oleh guncangan di tanah, sejumlah gigi akan digerakkan yang mengakibatkan jatuhnya bola logam dari salah satu dari delapan mulut naga (representasi delapan arah mata angin) ke mulut seekor katak logam.[279] Keterangan mengenai alat ini dalam Kitab Han Akhir menunjukkan bagaimana salah satu bola logam tersebut terjatuh walaupun orang-orang di sekitarnya sama sekali tidak merasakan gempa. Beberapa hari kemudian, datang seorang utusan yang mengabarkan bahwa gempa telah mengguncang Jun Longxi (kini di Provinsi Gansu) di arah yang ditunjukkan oleh alat ciptaan Zhang Heng, sehingga para pejabat di istana pun mengakui kemujaraban alat ini.[280]
Matematika
Terdapat tiga risalah matematika dari masa Han yang masih ada hingga kini, yaitu Suan Shu Shu, Zhoubi Suanjing, dan Jiuzhang Suanshu. Beberapa pencapaian matematika yang diraih pada masa Han adalah memecahkan masalah-masalah yang terkait dengan segitiga siku-siku, akar kuadrat, akar pangkat tiga, dan metode matriks.[281] Matematika pada masa Han juga telah berhasil menaksir nilai pi,[282] menemukan bukti teorema Pythagoras,[283] menggunakan pecahan desimal,[284] memakai metode eliminasi Gauss untuk menyelesaikan persamaan linear,[285] dan menggunakan pecahan berlanjut untuk mencari akar persamaan.[286]
Salah satu pencapaian matematika terbesar pada masa Dinasti Han adalah penggunaan bilangan negatif yang pertama di dunia. Bilangan negatif pertama kali muncul dalam Jiuzhang Suanshu dalam bentuk tongkat penghitung berwarna hitam, sementara bilangan positif digambarkan dalam bentuk tongkat penghitung berwarna merah.[287] Bilangan negatif juga digunakan oleh matematikawan Yunani Diofantos pada kisaran tahun 275 serta dalam manuskrip Bakhshali dari Gandhara, Asia Selatan, pada abad ke-7,[288] tetapi konsep ini baru diterima luas di Eropa pada abad ke-16.[287]
Orang Han menerapkan matematika dalam berbagai bidang, termasuk musik. Jing Fang (78–37 SM) mencoba membuat tangga nada yang terdiri dari 60 nada. Saat sedang melakukan hal ini, ia menyadari bahwa 53 perfect fifth mendekati 31 oktaf, dan memperhitungkan bahwa perbedaannya adalah 177147⁄176776 (nilai yang sama dengan 53 equal temperament yang ditemukan oleh matematikawan Jerman Nikolaus Mercator [1620–1687], yaitu 353/284).[289]
Astronomi
Matematika berperan penting dalam proses pembuatan kalender suryacandra yang menjadikan Matahari dan Bulan sebagai penanda waktu.[290] Pada Zaman Musim Semi dan Gugur pada abad ke-5 SM, orang Tiongkok menggunakan kalender Sifen (古四分历) yang memperkirakan bahwa tahun tropis terdiri dari 3651⁄4 hari. Pada tahun 104 SM, kalender ini digantikan oleh kalender Taichu (太初曆) dengan tahun tropis yang terdiri dari 365385⁄1539 hari dan bulan yang terdiri dari 2943⁄81 hari.[291] Namun, Kaisar Zhang kemudian kembali menetapkan penggunaan kalender Sifen.[292]
Pada masa Han, para astronom Tiongkok mengikuti model geosentrisme. Mereka meyakini bahwa alam semesta berbentuk seperti bola yang mengelilingi Bumi di pusatnya.[293] Mereka menduga bahwa Matahari, Bulan, dan planet berbentuk bola dan bukan berbentuk cakram. Mereka juga meyakini bahwa pencahayaan Bulan dan planet-planet dihasilkan dari cahaya matahari, dan gerhana bulan terjadi ketika Bumi menghalangi sinar matahari yang jatuh ke Bulan. Selain itu, mereka mengetahui bahwa gerhana matahari terjadi ketika Bulan menutupi sinar matahari.[294]
Astronom Han juga membuat katalog bintang dan mencatat kemunculan komet-komet di langit malam, termasuk kemunculan komet yang kini dikenal dengan sebutan komet Halley pada tahun 12 SM.[295] Sementara itu, Wang Chong (27–100 M) dalam karyanya Lunheng menulis bahwa beberapa pemikir Han meyakini hujan berasal dari langit. Ia tidak setuju dengan hal ini. Menurutnya, awan terbentuk dari proses penguapan air di Bumi, dan hujan turun dari awan ini. Walaupun ketika itu banyak yang menentangnya, penjelasan Wang Chong ini mendeskripsikan siklus air secara akurat.[296]
Kartografi, kapal, dan pengangkut
Berdasarkan bukti yang ditemukan dari sastra Tiongkok dan peninggalan arkeologis, kartografi (ilmu pembuatan peta) sudah ada di Tiongkok sebelum masa Han.[297] Peta-peta Han pertama yang ditemukan adalah peta-peta sutra di antara Naskah Sutra Mawangdui yang berasal dari sebuah makam dari abad ke-2 SM.[298] Sementara itu, panglima Ma Yuan dikenal sebagai pencipta peta timbul pertama di dunia pada abad ke-1.[299] Terdapat pula bukti yang menunjukkan bahwa pada awal abad ke-2 M, ahli kartografi Zhang Heng adalah orang pertama yang memakai skala dan grid pada peta, walaupun kedua konsep ini sendiri baru dideskripsikan secara mendalam oleh Pei Xiu (224–271 M).[300]
Orang-orang Tiongkok pada masa Han menggunakan kapal yang berbeda dari masa-masa sebelumnya, seperti kapal louchuan. Kapal jung juga dikembangkan pada masa Han. Kapal jung memiliki buritan dan haluan kapal yang berujung persegi, lambung kapal yang datar atau berbentuk carvel tanpa ada lunas kapal atau linggi buritan, serta sekat kedap air melintang.[301] Selain itu, kapal Han adalah kapal pertama di dunia yang menggunakan kemudi di buritannya, tidak seperti dayung yang biasa dipakai untuk kapal di sungai, sehingga kapal-kapal Han bisa berlayar di laut lepas.[302]
Walaupun gerobak sapi dan kereta kuda sudah ada di Tiongkok sebelum masa Dinasti Han, gerobak tangan pertama kali digunakan di Tiongkok pada abad ke-1 SM.[303] Sementara itu, karya seni Han yang menggambarkan kereta kuda menunjukkan bahwa kuk kayu berat yang ditempatkan di leher kuda yang menghela beban pada Zaman Negara-negara Berperang sudah digantikan oleh tali pengikat.[304] Kerah kuda sendiri baru diciptakan pada masa Wei Utara (386–534).[304]
Ilmu pengobatan
Para tabib pada masa Han percaya bahwa tubuh manusia juga dipengaruhi oleh kekuatan alam yang mengatur alam semesta, yaitu siklus yin dan yang serta lima unsur. Setiap organ tubuh dikaitkan dengan unsur tertentu. Penyakit dianggap sebagai pertanda bahwa qi atau aliran energi ke organ tertentu telah mengalami gangguan. Maka dari itu, tabib pada masa Han memberikan obat yang diyakini dapat memperbaiki ketidakseimbangan ini.[305] Misalnya, unsur kayu diyakini dapat memperkuat unsur api, sehingga bahan-bahan yang terkait dengan unsur kayu dapat digunakan untuk menyembuhkan organ yang terkait dengan unsur api.[306]
Untuk menjaga kesehatan, tabib-tabib di Dinasti Han menyarankan makanan yang sehat serta moksibusi, akupunktur, dan kalistenik.[307] Salah satu tabib Han yang terkenal adalah Hua Tuo (kematian 208 M), karena ia menggunakan anestesia saat melakukan operasi untuk menghilangkan rasa sakit pada pasien. Ia juga memberikan salep yang konon dapat mempercepat penyembuhan luka operasi.[308] Sementara itu, tabib Zhang Zhongjing (sekitar 150–219 M) dikenal sebagai penulis Shanghan lun ("Risalah mengenai Demam Tifoid"), dan konon ia dan Hua Tuo bekerja sama dalam menyusun naskah Shennong Ben Cao Jing yang berisi tentang tumbuhan-tumbuhan penyembuh.[309]
Lihat pula
Referensi
Kutipan
- ^ Barnes (2007), hlm. 63.
- ^ a b Taagepera (1979), hlm. 128.
- ^ a b Nishijima (1986), hlm. 595–596.
- ^ "Han". Random House Webster's Unabridged Dictionary.
- ^ Zhou (2003), hlm. 34.
- ^ Schaefer (2008), hlm. 279.
- ^ Bailey (1985), hlm. 25–26.
- ^ Loewe (1986), hlm. 116.
- ^ Ebrey (1999), hlm. 60–61.
- ^ Loewe (1986), hlm. 116–122.
- ^ Davis (2001), hlm. 44–46.
- ^ Loewe (1986), hlm. 122.
- ^ a b Loewe (1986), hlm. 122–125.
- ^ Loewe (1986), hlm. 139–144.
- ^ a b Bielenstein (1980), hlm. 106; Ch'ü (1972), hlm. 76.
- ^ Bielenstein (1980), hlm. 105.
- ^ Ebrey (1999), hlm. 66; Wang (1982), hlm. 100.
- ^ Di Cosmo (2002), hlm. 175–189, 196–198; Torday (1997), hlm. 80–81; Yü (1986), hlm. 387–388.
- ^ Torday (1997), hlm. 75–77.
- ^ Torday (1997), hlm. 75–77; Di Cosmo (2002), hlm. 190–192.
- ^ Yü (1967), hlm. 9–10; Morton & Lewis (2005), hlm. 52; Di Cosmo (2002), hlm. 192–195.
- ^ Hansen (2000), hlm. 117–119.
- ^ Yü (1986), hlm. 388–389; Torday (1997), hlm. 77, 82–83; Di Cosmo (2002), hlm. 195–196.
- ^ Torday (1997), hlm. 83–84; Yü (1986), hlm. 389–390.
- ^ Yü (1986), hlm. 389–391; Di Cosmo (2002), hlm. 211–214.
- ^ Torday (1997), hlm. 91–92.
- ^ Yü (1986), hlm. 390; Di Cosmo (2002), hlm. 237–240.
- ^ Loewe (1986), hlm. 196–197, 211–213; Yü (1986), hlm. 395–398.
- ^ Chang (2007), hlm. 5–8; Di Cosmo (2002), hlm. 241–242; Yü (1986), hlm. 391.
- ^ Chang (2007), hlm. 34–35.
- ^ Chang (2007), hlm. 6, 15–16, 44–45.
- ^ Chang (2007), hlm. 15–16, 33–35, 42–43.
- ^ Di Cosmo (2002), hlm. 247–249; Morton & Lewis (2005), hlm. 54–55; Yü (1986), hlm. 407; Ebrey (1999), hlm. 69; Torday (1997), hlm. 104–117.
- ^ An (2002), hlm. 83; Ebrey (1999), hlm. 70.
- ^ Di Cosmo (2002), hlm. 250–251; Yü (1986), hlm. 390–391, 409–411; Chang (2007), hlm. 174; Loewe (1986), hlm. 198.
- ^ Ebrey (1999), hlm. 83; Yü (1986), hlm. 448–453.
- ^ Wagner (2001), hlm. 1–17; Loewe (1986), hlm. 160–161; Nishijima (1986), hlm. 581–588; Ebrey (1999), hlm. 75; Morton & Lewis (2005), hlm. 57; lihat pula Hinsch (2002), hlm. 21–22.
- ^ Loewe (1986), hlm. 162, 185–206; Paludan (1998), hlm. 41; Wagner (2001), hlm. 16–19.
- ^ Bielenstein (1986), hlm. 225–226; Huang (1988), hlm. 46–48.
- ^ a b c Bielenstein (1986), hlm. 227–230.
- ^ Hinsch (2002), hlm. 23–24; Bielenstein (1986), hlm. 230–231; Ebrey (1999), hlm. 66.
- ^ Hansen (2000), hlm. 134; Bielenstein (1986), hlm. 232–234; Morton & Lewis (2005), hlm. 58; Lewis (2007), hlm. 23.
- ^ a b Hansen (2000), hlm. 135; de Crespigny (2007), hlm. 196; Bielenstein (1986), hlm. 241–244.
- ^ de Crespigny (2007), hlm. 568; Bielenstein (1986), hlm. 248.
- ^ de Crespigny (2007), hlm. 197, 560; Bielenstein (1986), hlm. 249–250.
- ^ de Crespigny (2007), hlm. 558–560; Bielenstein (1986), hlm. 251–254.
- ^ Bielenstein (1986), hlm. 251–254; de Crespigny (2007), hlm. 196–198, 560.
- ^ de Crespigny (2007), hlm. 54–55, 269–270, 600–601; Bielenstein (1986), hlm. 254–255.
- ^ Hinsch (2002), hlm. 24–25.
- ^ Knechtges (2010), hlm. 116.
- ^ Yü (1986), hlm. 450.
- ^ de Crespigny (2007), hlm. 562, 660; Yü (1986), hlm. 454.
- ^ Bielenstein (1986), hlm. 237–238; Yü (1986), hlm. 399–400.
- ^ Yü (1986), hlm. 413–414.
- ^ Yü (1986), hlm. 414–415.
- ^ Yü (1986), hlm. 414–415; de Crespigny (2007), hlm. 73.
- ^ Yü (1986), hlm. 414–415; de Crespigny (2007), hlm. 171.
- ^ Yü (1986), hlm. 405, 443–444.
- ^ Yü (1986), hlm. 444–446.
- ^ a b Torday (1997), hlm. 393; de Crespigny (2007), hlm. 5–6.
- ^ Yü (1986), hlm. 415–416.
- ^ Cribb (1978), hlm. 76–78.
- ^ Akira (1998), hlm. 248, 251; Zhang (2002), hlm. 75.
- ^ de Crespigny (2007), hlm. 239–240, 497, 590; Yü (1986), hlm. 450–451, 460–461.
- ^ Chavannes (1907), hlm. 185.
- ^ Hill (2009), hlm. 27.
- ^ de Crespigny (2007), hlm. 600; Yü (1986), hlm. 460–461.
- ^ An (2002), hlm. 83–84; Ball (2016), hlm. 153
- ^ Ball (2016), hlm. 153; Young (2001), hlm. 83–84
- ^ Yule (1915), hlm. 52; Hill (2009), hlm. 27
- ^ Young (2001), hlm. 29; Mawer (2013), hlm. 38; Suárez (1999), hlm. 92; O'Reilly (2007), hlm. 97
- ^ de Crespigny (2007), hlm. 497, 500, 592.
- ^ Hinsch (2002), hlm. 25; Hansen (2000), hlm. 136.
- ^ Bielenstein (1986), hlm. 280–283; de Crespigny (2007), hlm. 499, 588–589.
- ^ Bielenstein (1986), hlm. 283–284; de Crespigny (2007), hlm. 123–127.
- ^ Bielenstein (1986), hlm. 284; de Crespigny (2007), hlm. 128, 580.
- ^ Bielenstein (1986), hlm. 284–285; de Crespigny (2007), hlm. 473–474, 582–583.
- ^ Bielenstein (1986), hlm. 285–286; de Crespigny (2007), hlm. 597–598.
- ^ Wang, Li & Zhang (2010), hlm. 351–352.
- ^ Hansen (2000), hlm. 141.
- ^ de Crespigny (2007), hlm. 597, 599, 601–602; Hansen (2000), hlm. 141–142.
- ^ a b de Crespigny (2007), hlm. 602.
- ^ Beck (1986), hlm. 319–322.
- ^ de Crespigny (2007), hlm. 511; Beck (1986), hlm. 323.
- ^ de Crespigny (2007), hlm. 513–514.
- ^ de Crespigny (2007), hlm. 511.
- ^ Ebrey (1986), hlm. 628–629.
- ^ Beck (1986), hlm. 339–340.
- ^ Ebrey (1999), hlm. 84.
- ^ Beck (1986), hlm. 339–344.
- ^ Beck (1986), hlm. 344; Zizhi Tongjian, vol. 59.
- ^ Beck (1986), hlm. 344–345; Morton & Lewis (2005), hlm. 62.
- ^ Beck (1986), hlm. 345.
- ^ Loewe (1994), hlm. 38–52.
- ^ Beck (1986), hlm. 345–346.
- ^ Beck (1986), hlm. 346–349.
- ^ de Crespigny (2007), hlm. 158.
- ^ Beck (1986), hlm. 349–351; de Crespigny (2007), hlm. 36.
- ^ a b Beck (1986), hlm. 351–352; de Crespigny (2007), hlm. 36–37.
- ^ Beck (1986), hlm. 352; de Crespigny (2007), hlm. 37.
- ^ Beck (1986), hlm. 353–357; Hinsch (2002), hlm. 206.
- ^ Wang (1982), hlm. 83–85; Nishijima (1986), hlm. 581–583.
- ^ Ch'ü (1972), hlm. 76; Bielenstein (1980), hlm. 105–107.
- ^ Nishijima (1986), hlm. 552–553; Ch'ü (1972), hlm. 16.
- ^ Ch'ü (1972), hlm. 84.
- ^ Ebrey (1986), hlm. 631, 643–644; Ebrey (1999), hlm. 80.
- ^ Hansen (2000), hlm. 141–142; de Crespigny (2007), hlm. 601–602.
- ^ Ch'ü (1972), hlm. 104–111; Nishijima (1986), hlm. 556–557; Ebrey (1986), hlm. 621–622; Ebrey (1974), hlm. 173–174.
- ^ Ch'ü (1972), hlm. 112.
- ^ Ch'ü (1972), hlm. 104–105, 119–120; Nishijima (1986), hlm. 576–577.
- ^ Nishijima (1986), hlm. 576–577; Ch'ü (1972), hlm. 114–117.
- ^ Ch'ü (1972), hlm. 127–128.
- ^ Csikszentmihalyi (2006), hlm. 172–173, 179–180; Ch'ü (1972), hlm. 106, 122–127.
- ^ Hinsch (2002), hlm. 46–47; Ch'ü (1972), hlm. 3–9.
- ^ Ch'ü (1972), hlm. 9–10.
- ^ a b Wiesner-Hanks (2011), hlm. 30.
- ^ Hinsch (2002), hlm. 35; Ch'ü (1972), hlm. 34.
- ^ Ch'ü (1972), hlm. 44–47; Hinsch (2002), hlm. 38–39.
- ^ Hinsch (2002), hlm. 40–45; Ch'ü (1972), hlm. 37–43.
- ^ Ch'ü (1972), hlm. 16–17.
- ^ Ch'ü (1972), hlm. 6–9.
- ^ Ch'ü (1972), hlm. 17–18.
- ^ Ch'ü (1972), hlm. 17.
- ^ Ch'ü (1972), hlm. 49–59.
- ^ Hinsch (2002), hlm. 74–75.
- ^ Ch'ü (1972), hlm. 54–56; Hinsch (2002), hlm. 29, 51, 54, 59–60, 65–68, 70–74, 77–78.
- ^ Hinsch (2002), hlm. 29.
- ^ Csikszentmihalyi (2006), hlm. 24–25; Loewe (1994), hlm. 128–130.
- ^ Kramers (1986), hlm. 754–756; Csikszentmihalyi (2006), hlm. 7–8; Loewe (1994), hlm. 121–125; Ch'en (1986), hlm. 769.
- ^ Kramers (1986), hlm. 753–755; Loewe (1994), hlm. 134–140.
- ^ Kramers (1986), hlm. 754.
- ^ Ebrey (1999), hlm. 77–78; Kramers (1986), hlm. 757.
- ^ Ch'ü (1972), hlm. 103.
- ^ de Crespigny (2007), hlm. 513; Barbieri-Low (2007), hlm. 207; Huang (1988), hlm. 57.
- ^ Ch'en (1986), hlm. 773–794.
- ^ Hardy (1999), hlm. 14–15; Hansen (2000), hlm. 137–138.
- ^ Norman (1988), hlm. 185; Xue (2003), hlm. 161.
- ^ Ebrey (1986), hlm. 645.
- ^ Hansen (2000), hlm. 137 138; de Crespigny (2007), hlm. 1049; Neinhauser et al. (1986), hlm. 212; Lewis (2007), hlm. 222; Cutter (1989), hlm. 25–26.
- ^ Hulsewé (1986), hlm. 525–526; Csikszentmihalyi (2006), hlm. 23–24; Hansen (2000), hlm. 110–112.
- ^ Hulsewé (1986), hlm. 523–530; Hinsch (2002), hlm. 82.
- ^ Hulsewé (1986), hlm. 532–535.
- ^ Hulsewé (1986), hlm. 531–533.
- ^ Hulsewé (1986), hlm. 528–529.
- ^ Nishijima (1986), hlm. 552–553, 576; Loewe (1968), hlm. 146–147.
- ^ Wang (1982), hlm. 52.
- ^ Wang (1982), hlm. 53, 206.
- ^ Wang (1982), hlm. 57–58.
- ^ Hansen (2000), hlm. 119–121.
- ^ Wang (1982), hlm. 206; Hansen (2000), hlm. 119.
- ^ Wang (1982), hlm. 53, 59–63, 206; Loewe (1968), hlm. 139; Ch'ü (1972), hlm. 128.
- ^ Ch'ü (1972), hlm. 30–31.
- ^ Hansen (2000), hlm. 119; Csikszentmihalyi (2006), hlm. 140–141.
- ^ Ch'ü (1972), hlm. 71.
- ^ Loewe (1994), hlm. 55; Csikszentmihalyi (2006), hlm. 167; Sun & Kistemaker (1997), hlm. 2–3; Ebrey (1999), hlm. 78 79.
- ^ Ebrey (1999), hlm. 78–79; Loewe (1986), hlm. 201; de Crespigny (2007), hlm. 496, 592.
- ^ Loewe (2005), hlm. 101–102; Csikszentmihalyi (2006), hlm. 116–117.
- ^ Hansen (2000), hlm. 144.
- ^ Hansen (2000), hlm. 144–146.
- ^ Needham (1972), hlm. 112; Demiéville (1986), hlm. 821–822.
- ^ Demiéville (1986), hlm. 821–822.
- ^ Demiéville (1986), hlm. 823.
- ^ Akira (1998), hlm. 247–251; see also Needham (1972), hlm. 112.
- ^ Ch'ü (1972), hlm. 68–69.
- ^ de Crespigny (2007), hlm. 1216; Wang (1949), hlm. 141–143.
- ^ Bielenstein (1980), hlm. 144; Wang (1949), hlm. 173–177.
- ^ Ch'ü (1972), hlm. 70–71.
- ^ de Crespigny (2007), hlm. 1221; Bielenstein (1980), hlm. 7–17.
- ^ Wang (1949), hlm. 143–144, 145–146, 177; Bielenstein (1980), hlm. 7–8, 14.
- ^ Wang (1949), hlm. 147–148; Bielenstein (1980), hlm. 8–9, 15–16.
- ^ Wang (1949), hlm. 150; Bielenstein (1980), hlm. 10–13.
- ^ de Crespigny (2007), hlm. 1222; Wang (1949), hlm. 151; Bielenstein (1980), hlm. 17–23.
- ^ de Crespigny (2007), hlm. 1222; Bielenstein (1980), hlm. 23–24.
- ^ de Crespigny (2007), hlm. 1223; Bielenstein (1980), hlm. 31.
- ^ de Crespigny (2007), hlm. 1223; Bielenstein (1980), hlm. 34–35.
- ^ Bielenstein (1980), hlm. 38; Wang (1949), hlm. 154.
- ^ de Crespigny (2007), hlm. 1223–1224; Bielenstein (1980), hlm. 39–40.
- ^ Wang (1949), hlm. 155; Bielenstein (1980), hlm. 41.
- ^ de Crespigny (2007), hlm. 1224; Bielenstein (1980), hlm. 43.
- ^ de Crespigny (2007), hlm. 1224; Bielenstein (1980), hlm. 47.
- ^ Wang (1982), hlm. 57, 203.
- ^ Bielenstein (1980), hlm. 83.
- ^ a b c de Crespigny (2007), hlm. 1228.
- ^ Bielenstein (1980), hlm. 103.
- ^ Nishijima (1986), hlm. 551–552.
- ^ Bielenstein (1980), hlm. 90–92; Wang (1949), hlm. 158–160.
- ^ Bielenstein (1980), hlm. 91.
- ^ de Crespigny (2007), hlm. 1230–1231; Bielenstein (1980), hlm. 96; Hsu (1965), hlm. 367–368.
- ^ de Crespigny (2007), hlm. 1230; Bielenstein (1980), hlm. 100.
- ^ Bielenstein (1980), hlm. 100.
- ^ Hsu (1965), hlm. 360; Bielenstein (1980), hlm. 105–106; Loewe (1986), hlm. 126.
- ^ Hsu (1965), hlm. 360; Bielenstein (1980), hlm. 105–106.
- ^ a b Bielenstein (1980), hlm. 105–106.
- ^ Ch'ü (1972), hlm. 76.
- ^ de Crespigny (2007), hlm. 1230; Bielenstein (1980), hlm. 108.
- ^ Chang (2007), hlm. 70–71.
- ^ a b Nishijima (1986), hlm. 599; Bielenstein (1980), hlm. 114.
- ^ de Crespigny (2007), hlm. 564–565, 1234.
- ^ Bielenstein (1980), hlm. 114–115.
- ^ de Crespigny (2007), hlm. 1234; Bielenstein (1980), hlm. 117–118.
- ^ Ch'ü (1972), hlm. 132–133.
- ^ de Crespigny (2007), hlm. 1234; Bielenstein (1980), hlm. 116, 120–122.
- ^ a b Nishijima (1986), hlm. 586.
- ^ Nishijima (1986), hlm. 586–587.
- ^ Nishijima (1986), hlm. 587.
- ^ Ebrey (1986), hlm. 609; Bielenstein (1986), hlm. 232–233; Nishijima (1986), hlm. 587–588.
- ^ Nishijima (1986), hlm. 587–588; Bielenstein (1980), hlm. 47, 83.
- ^ Nishijima (1986), hlm. 588.
- ^ Nishijima (1986), hlm. 600–601.
- ^ Nishijima (1986), hlm. 598.
- ^ Bulling (1962), hlm. 312.
- ^ Guo (2005), hlm. 46–48.
- ^ Nishijima (1986), hlm. 601.
- ^ Nishijima (1986), hlm. 577; Ch'ü (1972), hlm. 113–114.
- ^ Nishijima (1986), hlm. 558–601; Ebrey (1974), hlm. 173 174; Ebrey (1999), hlm. 74–75.
- ^ Ebrey (1999), hlm. 75; Ebrey (1986), hlm. 619–621.
- ^ Loewe (1986), hlm. 149–150; Nishijima (1986), hlm. 596–598.
- ^ Nishijima (1986), hlm. 596–598.
- ^ Nishijima (1986), hlm. 599; de Crespigny (2007), hlm. 564–565.
- ^ Needham (1986c), hlm. 22; Nishijima (1986), hlm. 583–584.
- ^ Nishijima (1986), hlm. 584; Wagner (2001), hlm. 1–2; Hinsch (2002), hlm. 21–22.
- ^ Nishijima (1986), hlm. 584; Wagner (2001), hlm. 15���17.
- ^ Nishijima (1986), hlm. 600; Wagner (2001), hlm. 13–14.
- ^ Ebrey (1999), hlm. 75.
- ^ de Crespigny (2007), hlm. 605.
- ^ Jin, Fan & Liu (1996), hlm. 178–179; Needham (1972), hlm. 111.
- ^ a b Tsien, Tsuen-Hsuin (1985). "Paper and Printing". Joseph Needham, Science and Civilisation in China, Chemistry and Chemical Technology. 5 part 1. Cambridge University Press: 38.
- ^ Li, Hui-Lin 1974. An archeological and historical account of cannabis in China. Economic Botany 28(4): 437–448.
- ^ Loewe (1968), hlm. 89, 94–95; Tom (1989), hlm. 99; Cotterell (2004), hlm. 11–13.
- ^ Buisseret (1998), hlm. 12
- ^ Needham & Tsien (1986), hlm. 1–2, 40–41, 122–123, 228; Day & McNeil (1996), hlm. 122.
- ^ Cotterell (2004), hlm. 11.
- ^ Wagner (2001), hlm. 7, 36–37, 64–68, 75–76; Pigott (1999), hlm. 183–184.
- ^ Pigott (1999), hlm. 177, 191.
- ^ Wang (1982), hlm. 125; Pigott (1999), hlm. 186.
- ^ Wagner (1993), hlm. 336; Wang (1982), hlm. 103–105, 122–124.
- ^ Greenberger (2006), hlm. 12; Cotterell (2004), hlm. 24; Wang (1982), hlm. 54–55.
- ^ Nishijima (1986), hlm. 563–564; Ebrey (1986), hlm. 616–617.
- ^ a b Nishijima (1986), hlm. 561–563.
- ^ Hinsch (2002), hlm. 67–68; Nishijima (1986), hlm. 564–566.
- ^ Nishijima (1986), hlm. 568–572.
- ^ Liu (2002), hlm. 55.
- ^ a b Ebrey (1999), hlm. 76.
- ^ Ebrey (1999), hlm. 76; Wang (1982), hlm. 1–40.
- ^ Steinhardt (2004), hlm. 228–238.
- ^ Thorp (1986), hlm. 360–378.
- ^ Wang (1982), hlm. 1, 30, 39–40, 148–149; Chang (2007), hlm. 91–92; Morton & Lewis (2005), hlm. 56; lihat pula Ebrey (1999), hlm. 76; lihat Needham (1972), Plate V, Fig. 15, untuk foto benteng dari zaman Han di Dunhuang, Gansu.
- ^ Wang (1982), hlm. 1–39.
- ^ Steinhardt (2005a), hlm. 279; Liu (2002), hlm. 55.
- ^ Steinhardt (2005a), hlm. 279–280; Liu (2002), hlm. 55.
- ^ Steinhardt (2005b), hlm. 283–284.
- ^ Wang (1982), hlm. 175–178.
- ^ a b Watson (2000), hlm. 108.
- ^ Needham (1986d), hlm. 161–188.
- ^ Needham (1986c), hlm. 171–172.
- ^ Liu (2002), hlm. 56.
- ^ Loewe (1968), hlm. 191–194; Wang (1982), hlm. 105.
- ^ Loewe (1968), hlm. 191–194; Tom (1989), hlm. 103; Ronan (1994), hlm. 91.
- ^ Loewe (1968), hlm. 193–194
- ^ Fraser (2014), hlm. 370.
- ^ Needham (1986c), hlm. 2, 9; lihat juga Barbieri-Low (2007), hlm. 36.
- ^ Needham (1986c), hlm. 2.
- ^ Needham (1988), hlm. 207–208.
- ^ Barbieri-Low (2007), hlm. 197.
- ^ Needham (1986c), hlm. 99, 134, 151, 233.
- ^ Needham (1986b), hlm. 123, 233–234.
- ^ Needham (1986c), hlm. 116–119, Plate CLVI.
- ^ Needham (1986c), hlm. 281–285.
- ^ Needham (1986c), hlm. 283–285.
- ^ Loewe (1968), hlm. 195–196.
- ^ Needham (1986c), hlm. 183–184, 390–392.
- ^ Needham (1986c), hlm. 396–400.
- ^ de Crespigny (2007), hlm. 184; Needham (1986c), hlm. 370.
- ^ Needham (1986c), hlm. 89, 110, 342–344.
- ^ Needham (1986a), hlm. 343.
- ^ de Crespigny (2007), hlm. 1050; Needham (1986c), hlm. 30, 479 footnote e; Morton & Lewis (2005), hlm. 70; Bowman (2000), hlm. 595.
- ^ Dikutip dalam Fraser (2014), hlm. 375.
- ^ de Crespigny (2007), hlm. 1050; Fraser (2014), hlm. 375; Morton & Lewis (2005), hlm. 70.
- ^ Needham (1986a), hlm. 626–631.
- ^ Fraser (2014), hlm. 376.
- ^ Dauben (2007), hlm. 212; Liu et al. (2003), hlm. 9–10.
- ^ Needham (1986a), hlm. 99–100; Berggren, Borwein & Borwein (2004), hlm. 27.
- ^ Dauben (2007), hlm. 219–222; Needham (1986a), hlm. 22.
- ^ Needham (1986a), hlm. 84–86
- ^ Shen, Crossley & Lun (1999), hlm. 388; Straffin (1998), hlm. 166; Needham (1986a), hlm. 24–25, 121.
- ^ Needham (1986a), hlm. 65–66
- ^ a b Liu et al. (2003), hlm. 9–10.
- ^ Teresi (2002), hlm. 65–66.
- ^ McClain & Ming (1979), hlm. 212; Needham (1986b), hlm. 218–219.
- ^ Cullen (2006), hlm. 7; Lloyd (1996), hlm. 168.
- ^ Deng (2005), hlm. 67.
- ^ de Crespigny (2007), hlm. 498.
- ^ Dauben (2007), hlm. 214; Sun & Kistemaker (1997), hlm. 62; Huang (1988), hlm. 64.
- ^ Needham (1986a), hlm. 227, 414.
- ^ Loewe (1994), hlm. 61, 69; Csikszentmihalyi (2006), hlm. 173–175; Sun & Kistemaker (1997), hlm. 5, 21–23; Balchin (2003), hlm. 27.
- ^ Needham (1986a), hlm. 468.
- ^ Hsu (1993), hlm. 90–93; Needham (1986a), hlm. 534–535.
- ^ Hsu (1993), hlm. 90–93; Hansen (2000), hlm. 125.
- ^ de Crespigny (2007), hlm. 659
- ^ de Crespigny (2007), hlm. 1050; Hsu (1993), hlm. 90–93; Needham (1986a), hlm. 538–540; Nelson (1974), hlm. 359.
- ^ Turnbull (2002), hlm. 14; Needham (1986d), hlm. 390–391.
- ^ Needham (1986d), hlm. 627–628; Chung (2005), hlm. 152; Tom (1989), hlm. 103–104; Adshead (2000), hlm. 156; Fairbank & Goldman (1998), hlm. 93; Block (2003), hlm. 93, 123.
- ^ Needham (1986c), hlm. 263–267; Greenberger (2006), hlm. 13.
- ^ a b Needham (1986c), hlm. 308–312, 319–323.
- ^ Csikszentmihalyi (2006), hlm. 181–182; Sun & Kistemaker (1997), hlm. 3–4; Hsu (2001), hlm. 75.
- ^ Csikszentmihalyi (2006), hlm. 181–182.
- ^ de Crespigny (2007), hlm. 332; Omura (2003), hlm. 15, 19–22; Loewe (1994), hlm. 65; Lo (2001), hlm. 23.
- ^ de Crespigny (2007), hlm. 332.
- ^ de Crespigny (2007), hlm. 1055.
Sumber
- Adshead, Samuel Adrian Miles (2000), China in World History, London: MacMillan Press, ISBN 978-0-312-22565-0.
- Akira, Hirakawa (1998), A History of Indian Buddhism: From Sakyamani to Early Mahayana, diterjemahkan oleh Paul Groner, New Delhi: Jainendra Prakash Jain At Shri Jainendra Press, ISBN 978-81-208-0955-0.
- An, Jiayao (2002), "When glass was treasured in China", dalam Juliano, Annette L.; Lerner, Judith A., Silk Road Studies VII: Nomads, Traders, and Holy Men Along China's Silk Road, Turnhout: Brepols Publishers, hlm. 79–94, ISBN 978-2-503-52178-7.
- Bailey, H.W. (1985), Indo-Scythian Studies being Khotanese Texts Volume VII, Cambridge University Press, ISBN 978-0-521-11992-4.
- Balchin, Jon (2003), Science: 100 Scientists Who Changed the World, New York: Enchanted Lion Books, ISBN 978-1-59270-017-2.
- Ball, Warwick (2016), Rome in the East: Transformation of an Empire, London & New York: Routledge, ISBN 978-0-415-72078-6.
- Barbieri-Low, Anthony J. (2007), Artisans in Early Imperial China, Seattle & London: University of Washington Press, ISBN 978-0-295-98713-2.
- Barnes, Ian (2007), Mapping History: World History, London: Cartographica, ISBN 978-1-84573-323-0.
- Beck, Mansvelt (1986), "The fall of Han", dalam Twitchett, Denis; Loewe, Michael, The Cambridge History of China: Volume I: the Ch'in and Han Empires, 221 B.C. – A.D. 220, Cambridge: Cambridge University Press, hlm. 317–376, ISBN 978-0-521-24327-8.
- Berggren, Lennart; Borwein, Jonathan M.; Borwein, Peter B. (2004), Pi: A Source Book, New York: Springer, ISBN 978-0-387-20571-7.
- Bielenstein, Hans (1980), The Bureaucracy of Han Times, Cambridge: Cambridge University Press, ISBN 978-0-521-22510-6.
- ——— (1986), "Wang Mang, the Restoration of the Han Dynasty, and Later Han", dalam Twitchett, Denis; Loewe, Michael, The Cambridge History of China: Volume I: the Ch'in and Han Empires, 221 B.C. – A.D. 220, Cambridge: Cambridge University Press, hlm. 223–290, ISBN 978-0-521-24327-8.
- Block, Leo (2003), To Harness the Wind: A Short History of the Development of Sails, Annapolis: Naval Institute Press, ISBN 978-1-55750-209-4.
- Bower, Virginia (2005), "Standing man and woman", dalam Richard, Naomi Noble, Recarving China's Past: Art, Archaeology and Architecture of the 'Wu Family Shrines', New Haven and London: Yale University Press and Princeton University Art Museum, hlm. 242–245, ISBN 978-0-300-10797-5.
- Bowman, John S. (2000), Columbia Chronologies of Asian History and Culture, New York: Columbia University Press, ISBN 978-0-231-11004-4.
- Buisseret, David (1998), Envisioning the City: Six Studies in Urban Cartography, Chicago: University Of Chicago Press, ISBN 978-0-226-07993-6.
- Bulling, A. (1962), "A landscape representation of the Western Han period", Artibus Asiae, 25 (4): 293–317, JSTOR 3249129.
- Chang, Chun-shu (2007), The Rise of the Chinese Empire: Volume II; Frontier, Immigration, & Empire in Han China, 130 B.C. – A.D. 157, Ann Arbor: University of Michigan Press, ISBN 978-0-472-11534-1.
- Chavannes, Édouard (1907), "Les pays d'Occident d'après le Heou Han chou" (PDF), T'oung Pao, 8: 149–244.
- Ch'en, Ch'i-Yün (1986), "Confucian, Legalist, and Taoist thought in Later Han", dalam Twitchett, Denis; Loewe, Michael, Cambridge History of China: Volume I: the Ch'in and Han Empires, 221 B.C. – A.D. 220, Cambridge: Cambridge University Press, hlm. 766–806, ISBN 978-0-521-24327-8.
- Ch'ü, T'ung-tsu (1972), Dull, Jack L., ed., Han Dynasty China: Volume 1: Han Social Structure, Seattle and London: University of Washington Press, ISBN 978-0-295-95068-6.
- Chung, Chee Kit (2005), "Longyamen is Singapore: The Final Proof?", Admiral Zheng He & Southeast Asia, Singapore: Institute of Southeast Asian Studies, ISBN 978-981-230-329-5.
- Cotterell, Maurice (2004), The Terracotta Warriors: The Secret Codes of the Emperor's Army, Rochester: Bear and Company, ISBN 978-1-59143-033-9.
- Cribb, Joe (1978), "Chinese lead ingots with barbarous Greek inscriptions", Coin Hoards, 4: 76–78.
- Csikszentmihalyi, Mark (2006), Readings in Han Chinese Thought, Indianapolis and Cambridge: Hackett Publishing Company, ISBN 978-0-87220-710-3.
- Cullen, Christoper (2006), Astronomy and Mathematics in Ancient China: The Zhou Bi Suan Jing, Cambridge: Cambridge University Press, ISBN 978-0-521-03537-8.
- Cutter, Robert Joe (1989), The Brush and the Spur: Chinese Culture and the Cockfight, Hong Kong: The Chinese University of Hong Kong, ISBN 978-962-201-417-6.
- Dauben, Joseph W. (2007), "Chinese Mathematics", dalam Katz, Victor J., The Mathematics of Egypt, Mesopotamia, China, India, and Islam: A Sourcebook, Princeton: Princeton University Press, hlm. 187–384, ISBN 978-0-691-11485-9.
- Davis, Paul K. (2001), 100 Decisive Battles: From Ancient Times to the Present, New York: Oxford University Press, ISBN 978-0-19-514366-9.
- Day, Lance; McNeil, Ian (1996), Biographical Dictionary of the History of Technology, New York: Routledge, ISBN 978-0-415-06042-4.
- de Crespigny, Rafe (2007), A Biographical Dictionary of Later Han to the Three Kingdoms (23–220 AD), Leiden: Koninklijke Brill, ISBN 978-90-04-15605-0.
- Demiéville, Paul (1986), "Philosophy and religion from Han to Sui", dalam Twitchett, Denis; Loewe, Michael, Cambridge History of China: Volume I: the Ch'in and Han Empires, 221 B.C. – A.D. 220, Cambridge: Cambridge University Press, hlm. 808–872, ISBN 978-0-521-24327-8.
- Deng, Yingke (2005), Ancient Chinese Inventions, diterjemahkan oleh Wang Pingxing, Beijing: China Intercontinental Press (五洲传播出版社), ISBN 978-7-5085-0837-5.
- Di Cosmo, Nicola (2002), Ancient China and Its Enemies: The Rise of Nomadic Power in East Asian History, Cambridge: Cambridge University Press, ISBN 978-0-521-77064-4.
- Ebrey, Patricia Buckley (1974), "Estate and family management in the Later Han as seen in the Monthly Instructions for the Four Classes of People", Journal of the Economic and Social History of the Orient, 17 (2): 173–205, JSTOR 3596331.
- ——— (1986), "The Economic and Social History of Later Han", dalam Twitchett, Denis; Loewe, Michael, Cambridge History of China: Volume I: the Ch'in and Han Empires, 221 B.C. – A.D. 220, Cambridge: Cambridge University Press, hlm. 608–648, ISBN 978-0-521-24327-8.
- ——— (1999), The Cambridge Illustrated History of China, Cambridge: Cambridge University Press, ISBN 978-0-521-66991-7.
- Fairbank, John K.; Goldman, Merle (1998), China: A New History, Enlarged Edition, Cambridge: Harvard University Press, ISBN 978-0-674-11673-3.
- Fraser, Ian W. (2014), "Zhang Heng 张衡", dalam Brown, Kerry, The Berkshire Dictionary of Chinese Biography, Great Barrington: Berkshire Publishing, ISBN 978-1-933782-66-9.
- Greenberger, Robert (2006), The Technology of Ancient China, New York: Rosen Publishing Group, ISBN 978-1-4042-0558-1.
- Guo, Qinghua (2005), Chinese Architecture and Planning: Ideas, Methods, and Techniques, Stuttgart and London: Edition Axel Menges, ISBN 978-3-932565-54-0.
- Hansen, Valerie (2000), The Open Empire: A History of China to 1600, New York & London: W.W. Norton & Company, ISBN 978-0-393-97374-7.
- Hardy, Grant (1999), Worlds of Bronze and Bamboo: Sima Qian's Conquest of History, New York: Columbia University Press, ISBN 978-0-231-11304-5.
- Hill, John E. (2009), Through the Jade Gate to Rome: A Study of the Silk Routes during the Later Han Dynasty, 1st to 2nd Centuries AD, Charleston, South Carolina: BookSurge, ISBN 978-1-4392-2134-1.
- Hinsch, Bret (2002), Women in Imperial China, Lanham: Rowman & Littlefield Publishers, ISBN 978-0-7425-1872-8.
- Hsu, Cho-Yun (1965), "The changing relationship between local society and the central political power in Former Han: 206 B.C. – 8 A.D.", Comparative Studies in Society and History, 7 (4): 358–370, doi:10.1017/S0010417500003777.
- Hsu, Elisabeth (2001), "Pulse diagnostics in the Western Han: how mai and qi determine bing", dalam Hsu, Elisabeth, Innovations in Chinese Medicine, Cambridge, New York, Oakleigh, Madrid, and Cape Town: Cambridge University Press, hlm. 51–92, ISBN 978-0-521-80068-6.
- Hsu, Mei-ling (1993), "The Qin maps: a clue to later Chinese cartographic development", Imago Mundi, 45: 90–100, doi:10.1080/03085699308592766.
- Huang, Ray (1988), China: A Macro History, Armonk & London: M.E. Sharpe, ISBN 978-0-87332-452-6.
- Hulsewé, A.F.P. (1986), "Ch'in and Han law", dalam Twitchett, Denis; Loewe, Michael, The Cambridge History of China: Volume I: the Ch'in and Han Empires, 221 B.C. – A.D. 220, Cambridge: Cambridge University Press, hlm. 520–544, ISBN 978-0-521-24327-8.
- Jin, Guantao; Fan, Hongye; Liu, Qingfeng (1996), "Historical Changes in the Structure of Science and Technology (Part Two, a Commentary)", dalam Dainian, Fan; Cohen, Robert S., Chinese Studies in the History and Philosophy of Science and Technology, diterjemahkan oleh Kathleen Dugan and Jiang Mingshan, Dordrecht: Kluwer Academic Publishers, hlm. 165–184, ISBN 978-0-7923-3463-7.
- Knechtges, David R. (2010), "From the Eastern Han through the Western Jin (AD 25–317)", dalam Owen, Stephen, The Cambridge History of Chinese Literature, volume 1, Cambridge University Press, hlm. 116–198, ISBN 978-0-521-85558-7.
- ——— (2014), "Zhang Heng 張衡", dalam Knechtges, David R.; Chang, Taiping, Ancient and Early Medieval Chinese Literature: A Reference Guide, Part Four, Leiden: Brill, hlm. 2141–55, ISBN 978-90-04-27217-0.
- Kramers, Robert P. (1986), "The development of the Confucian schools", dalam Twitchett, Denis; Loewe, Michael, Cambridge History of China: Volume I: the Ch'in and Han Empires, 221 B.C. – A.D. 220, Cambridge: Cambridge University Press, hlm. 747–756, ISBN 978-0-521-24327-8.
- Lewis, Mark Edward (2007), The Early Chinese Empires: Qin and Han, Cambridge: Harvard University Press, ISBN 978-0-674-02477-9.
- Liu, Xujie (2002), "The Qin and Han dynasties", dalam Steinhardt, Nancy S., Chinese Architecture, New Haven: Yale University Press, hlm. 33–60, ISBN 978-0-300-09559-3.
- Liu, Guilin; Feng, Lisheng; Jiang, Airong; Zheng, Xiaohui (2003), "The Development of E-Mathematics Resources at Tsinghua University Library (THUL)", dalam Bai, Fengshan; Wegner, Bern, Electronic Information and Communication in Mathematics, Berlin, Heidelberg and New York: Springer Verlag, hlm. 1–13, ISBN 978-3-540-40689-1.
- Lloyd, Geoffrey Ernest Richard (1996), Adversaries and Authorities: Investigations into Ancient Greek and Chinese Science, Cambridge: Cambridge University Press, ISBN 978-0-521-55695-8.
- Lo, Vivienne (2001), "The influence of nurturing life culture on the development of Western Han acumoxa therapy", dalam Hsu, Elisabeth, Innovation in Chinese Medicine, Cambridge, New York, Oakleigh, Madrid and Cape Town: Cambridge University Press, hlm. 19–50, ISBN 978-0-521-80068-6.
- Loewe, Michael (1968), Everyday Life in Early Imperial China during the Han Period 202 BC–AD 220, London: B.T. Batsford, ISBN 978-0-87220-758-5.
- ——— (1986), "The Former Han Dynasty", dalam Twitchett, Denis; Loewe, Michael, The Cambridge History of China: Volume I: the Ch'in and Han Empires, 221 B.C. – A.D. 220, Cambridge: Cambridge University Press, hlm. 103–222, ISBN 978-0-521-24327-8.
- ——— (1994), Divination, Mythology and Monarchy in Han China, Cambridge, New York and Melbourne: Cambridge University Press, ISBN 978-0-521-45466-7.
- ——— (2005), "Funerary Practice in Han Times", dalam Richard, Naomi Noble, Recarving China's Past: Art, Archaeology, and Architecture of the 'Wu Family Shrines', New Haven and London: Yale University Press and Princeton University Art Museum, hlm. 23–74, ISBN 978-0-300-10797-5.
- ——— (2006), The Government of the Qin and Han Empires: 221 BCE–220 CE, Hackett Publishing Company, ISBN 978-0-87220-819-3.
- Mawer, Granville Allen (2013), "The Riddle of Cattigara", dalam Robert Nichols and Martin Woods, Mapping Our World: Terra Incognita to Australia, Canberra: National Library of Australia, hlm. 38–39, ISBN 978-0-642-27809-8.
- McClain, Ernest G.; Ming, Shui Hung (1979), "Chinese cyclic tunings in late antiquity", Ethnomusicology, 23 (2): 205–224, JSTOR 851462.
- Morton, William Scott; Lewis, Charlton M. (2005), China: Its History and Culture (edisi ke-Fourth), New York City: McGraw-Hill, ISBN 978-0-07-141279-7.
- Needham, Joseph (1972), Science and Civilization in China: Volume 1, Introductory Orientations, London: Syndics of the Cambridge University Press, ISBN 978-0-521-05799-8.
- ——— (1986a), Science and Civilization in China: Volume 3; Mathematics and the Sciences of the Heavens and the Earth, Taipei: Caves Books, ISBN 978-0-521-05801-8.
- ——— (1986b), Science and Civilization in China: Volume 4, Physics and Physical Technology; Part 1, Physics, Taipei: Caves Books, ISBN 978-0-521-05802-5.
- ——— (1986c), Science and Civilisation in China: Volume 4, Physics and Physical Technology; Part 2, Mechanical Engineering, Taipei: Caves Books, ISBN 978-0-521-05803-2.
- ——— (1986d), Science and Civilization in China: Volume 4, Physics and Physical Technology, Part 3, Civil Engineering and Nautics, Taipei: Caves Books, ISBN 978-0-521-07060-7.
- Needham, Joseph; Tsien, Tsuen-Hsuin (1986), Science and Civilisation in China: Volume 5, Chemistry and Chemical Technology, Part 1, Paper and Printing, Taipei: Caves Books, ISBN 978-0-521-08690-5.
- Needham, Joseph (1988), Science and Civilization in China: Volume 5, Chemistry and Chemical Technology, Part 9, Textile Technology: Spinning and Reeling, Cambridge: Cambridge University Press.
- Neinhauser, William H.; Hartman, Charles; Ma, Y.W.; West, Stephen H. (1986), The Indiana Companion to Traditional Chinese Literature: Volume 1, Bloomington: Indiana University Press, ISBN 978-0-253-32983-7.
- Nelson, Howard (1974), "Chinese maps: an exhibition at the British Library", The China Quarterly, 58: 357–362, doi:10.1017/S0305741000011346.
- Nishijima, Sadao (1986), "The economic and social history of Former Han", dalam Twitchett, Denis; Loewe, Michael, Cambridge History of China: Volume I: the Ch'in and Han Empires, 221 B.C. – A.D. 220, Cambridge: Cambridge University Press, hlm. 545–607, ISBN 978-0-521-24327-8.
- Norman, Jerry (1988), Chinese, Cambridge and New York: Cambridge University Press, ISBN 978-0-521-29653-3.
- Omura, Yoshiaki (2003), Acupuncture Medicine: Its Historical and Clinical Background, Mineola: Dover Publications, ISBN 978-0-486-42850-5.
- O'Reilly, Dougald J.W. (2007), Early Civilizations of Southeast Asia, Lanham, New York, Toronto, Plymouth: AltaMira Press, Division of Rowman and Littlefield Publishers, ISBN 978-0-7591-0279-8.
- Paludan, Ann (1998), Chronicle of the Chinese Emperors: the Reign-by-Reign Record of the Rulers of Imperial China, London: Thames & Hudson, ISBN 978-0-500-05090-3.
- Pigott, Vincent C. (1999), The Archaeometallurgy of the Asian Old World, Philadelphia: University of Pennsylvania Museum of Archaeology and Anthropology, ISBN 978-0-924171-34-5.
- Ronan, Colin A (1994), The Shorter Science and Civilization in China: 4, Cambridge: Cambridge University Press, ISBN 978-0-521-32995-8. (an abridgement of Joseph Needham's work)
- Schaefer, Richard T. (2008), Encyclopedia of Race, Ethnicity, and Society: Volume 3, Thousand Oaks: Sage Publications Inc, ISBN 978-1-4129-2694-2.
- Shen, Kangshen; Crossley, John N.; Lun, Anthony W.C. (1999), The Nine Chapters on the Mathematical Art: Companion and Commentary, Oxford: Oxford University Press, ISBN 978-0-19-853936-0.
- Steinhardt, Nancy Shatzman (2004), "The Tang architectural icon and the politics of Chinese architectural history", The Art Bulletin, 86 (2): 228–254, doi:10.2307/3177416, JSTOR 3177416.
- ——— (2005a), "Pleasure tower model", dalam Richard, Naomi Noble, Recarving China's Past: Art, Archaeology, and Architecture of the 'Wu Family Shrines', New Haven and London: Yale University Press and Princeton University Art Museum, hlm. 275–281, ISBN 978-0-300-10797-5.
- ——— (2005b), "Tower model", dalam Richard, Naomi Noble, Recarving China's Past: Art, Archaeology, and Architecture of the 'Wu Family Shrines', New Haven and London: Yale University Press and Princeton University Art Museum, hlm. 283–285, ISBN 978-0-300-10797-5.
- Straffin, Philip D., Jr (1998), "Liu Hui and the first Golden Age of Chinese mathematics", Mathematics Magazine, 71 (3): 163–181, JSTOR 2691200.
- Suárez, Thomas (1999), Early Mapping of Southeast Asia, Singapore: Periplus Editions, ISBN 978-962-593-470-9.
- Sun, Xiaochun; Kistemaker, Jacob (1997), The Chinese Sky During the Han: Constellating Stars and Society, Leiden, New York, Köln: Koninklijke Brill, Bibcode:1997csdh.book.....S, ISBN 978-90-04-10737-3.
- Taagepera, Rein (1979), "Size and Duration of Empires: Growth-Decline Curves, 600 B.C. to 600 A.D.", Social Science History, 3 (3/4): 115–138, JSTOR 1170959.
- Teresi, Dick (2002), Lost Discoveries: The Ancient Roots of Modern Science–from the Babylonians to the Mayas, New York: Simon and Schuster, ISBN 978-0-684-83718-5.
- Thorp, Robert L. (1986), "Architectural principles in early Imperial China: structural problems and their solution", The Art Bulletin, 68 (3): 360–378, JSTOR 3050972.
- Tom, K.S. (1989), Echoes from Old China: Life, Legends, and Lore of the Middle Kingdom, Honolulu: The Hawaii Chinese History Center of the University of Hawaii Press, ISBN 978-0-8248-1285-0.
- Torday, Laszlo (1997), Mounted Archers: The Beginnings of Central Asian History, Durham: The Durham Academic Press, ISBN 978-1-900838-03-0.
- Turnbull, Stephen R. (2002), Fighting Ships of the Far East: China and Southeast Asia 202 BC–AD 1419, Oxford: Osprey Publishing, ISBN 978-1-84176-386-6.
- Wagner, Donald B. (1993), Iron and Steel in Ancient China, Brill, ISBN 978-90-04-09632-5.
- ——— (2001), The State and the Iron Industry in Han China, Copenhagen: Nordic Institute of Asian Studies Publishing, ISBN 978-87-87062-83-1.
- Wang, Yu-ch'uan (1949), "An outline of The central government of the Former Han dynasty", Harvard Journal of Asiatic Studies, 12 (1/2): 134–187, JSTOR 2718206.
- Wang, Zhongshu (1982), Han Civilization, diterjemahkan oleh K.C. Chang and Collaborators, New Haven and London: Yale University Press, ISBN 978-0-300-02723-5.
- Wang, Xudang; Li, Zuixiong; Zhang, Lu (2010), "Condition, Conservation, and Reinforcement of the Yumen Pass and Hecang Earthen Ruins Near Dunhuang", dalam Neville Agnew, Conservation of Ancient Sites on the Silk Road: Proceedings of the Second International Conference on the Conservation of Grotto Sites, Mogao Grottoes, Dunhuang, People's Republic of China, June 28 – July 3, 2004, hlm. 351–352 [351–357], ISBN 978-1-60606-013-1.
- Watson, William (2000), The Arts of China to AD 900, New Haven: Yale University Press, ISBN 978-0-300-08284-5.
- Wiesner-Hanks, Merry E. (2011) [2001], Gender in History: Global Perspectives (edisi ke-2nd), Oxford: Wiley-Blackwell, ISBN 978-1-4051-8995-8
- Xue, Shiqi (2003), "Chinese lexicography past and present", dalam Hartmann, R.R.K., Lexicography: Critical Concepts, London and New York: Routledge, hlm. 158–173, ISBN 978-0-415-25365-9.
- Young, Gary K. (2001), Rome's Eastern Trade: International Commerce and Imperial Policy, 31 BC – AD 305, London & New York: Routledge, ISBN 978-0-415-24219-6.
- Yü, Ying-shih (1967), Trade and Expansion in Han China: A Study in the Structure of Sino-Barbarian Economic Relations, Berkeley: University of California Press.
- ——— (1986), "Han foreign relations", dalam Twitchett, Denis; Loewe, Michael, The Cambridge History of China: Volume I: the Ch'in and Han Empires, 221 B.C. – A.D. 220, Cambridge: Cambridge University Press, hlm. 377–462, ISBN 978-0-521-24327-8.
- Yule, Henry (1915), Henri Cordier, ed., Cathay and the Way Thither: Being a Collection of Medieval Notices of China, Vol I: Preliminary Essay on the Intercourse Between China and the Western Nations Previous to the Discovery of the Cape Route, 1, London: Hakluyt Society.
- Zhang, Guangda (2002), "The role of the Sogdians as translators of Buddhist texts", dalam Juliano, Annette L.; Lerner, Judith A., Silk Road Studies VII: Nomads, Traders, and Holy Men Along China's Silk Road, Turnhout: Brepols Publishers, hlm. 75–78, ISBN 978-2-503-52178-7.
- Zhou, Jinghao (2003), Remaking China's Public Philosophy for the Twenty-First Century, Westport: Greenwood Publishing Group, ISBN 978-0-275-97882-2.
Bacaan lebih lanjut
- Yap, Joseph P, (2019). The Western Regions, Xiongnu and Han, from the Shiji, Hanshu and Hou Hanshu. ISBN 978-1792829154