Lompat ke isi

Burung hantu

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Burung hantu
Rentang waktu: Thanetium – sekarang 60–0 jtyl
kumpulan wajah dari beberapa jenis burung hantu
Klasifikasi ilmiah Sunting klasifikasi ini
Domain: Eukaryota
Kerajaan: Animalia
Filum: Chordata
Kelas: Aves
Klad: Telluraves
Ordo: Strigiformes
Wagler, 1830
Klasifikasi

Lihat teks

Peta persebaran
Sinonim

Strigidae sensu Sibley & Ahlquist

Burung hantu atau Manguni adalah kelompok burung yang merupakan anggota dari ordo Strigiformes. Burung ini merupakan burung buas (karnivora) yang aktif pada saat malam (nokturnal). Seluruhnya, terdapat sekitar 222 spesies yang telah diketahui, yang menyebar di seluruh dunia kecuali Antarktika, sebagian besar Greenland, dan beberapa pulau-pulau terpencil.

Manguni dibagi kedalam dua famili: Tytonidae dan Strigidae. Burung hantu berburu aneka binatang seperti serangga, kodok, tikus, dan lain-lain. Burung ini biasanya hidup soliter dan sekelompok burung hantu disebut sebagai "Parlemen"[1]

Burung hantu dikenal karena matanya besar dan menghadap ke depan, tak seperti jenis burung pada umumnya yang matanya menghadap ke samping. Bersama paruh yang bengkok tajam seperti paruh elang dan susunan bulu di kepala yang membentuk lingkaran wajah, tampilan wajah burung ini demikian mengesankan meskipun kadang-kadang menyeramkan. Leher burung ini sangatlah lentur sehingga ia dapat memutarkan pandangan wajahnya hingga 180 derajat.

Umumnya burung hantu berbulu burik, kecoklatan atau abu-abu dengan bercak-bercak hitam dan putih. Perilaku burung hantu yang kerap tidak banyak bergerak, menjadikan burung ini tidak mudah terlihat, begitu pun ketika tidur di siang hari di bawah lindungan daun-daun.

Ekor burung hantu umumnya pendek, namun sayapnya besar dan lebar. Rentang sayapnya mencapai sekitar tiga kali panjang tubuhnya.

Kebiasaan

[sunting | sunting sumber]

Kebanyakan jenis burung hantu berburu di malam hari, meski sebagiannya berburu ketika hari remang-remang di waktu subuh dan sore (krepuskular) dan ada pula beberapa yang berburu di siang hari.

Pandangan mata yang besar dan tajam memungkinkan spesies ini mampu mengukur jarak dengan akurat. Paruh yang kuat dan tajam pada kaki nya yang cekatan mampu mencengkeram dengan kuat. Kemampuan terbang tanpa berisik merupakan modal utama bagi kemampuan burung hantu untuk berburu di malam yang gelap gulita. Beberapa jenis lainnya bahkan dapat memperkirakan jarak dan keberadaan mangsa dengan presisi dalam kegelapan total hanya dengan mengandalkan indra pendengaran yang dibantu oleh bulu-bulu di wajahnya untuk menyesuaikan dan mengarahkan gelombang suara.

Burung hantu kerap membuat sarang terutama dibuat di lubang-lubang pohon, atau di antara pelepah daun bangsa palem. Beberapa jenis juga kerap memanfaatkan ruang-ruang pada bangunan, seperti di bawah atap atau lubang-lubang yang kosong. Bergantung pada jenisnya, burung hantu dapat bertelur antara satu hingga empat butir, kebanyakan berwarna putih atau putih berbercak.

Taksonomi dan sistematika

[sunting | sunting sumber]

Burung hantu (Ordo Strigiformes) terdiri dari enam suku (familia). Namun hanya tersisa dua famili burung hantu yang masih ada, yaitu famili burung serak atau burung-hantu gudang (Tytonidae) dan famili burung-hantu sejati (Strigidae).

  • Ogygoptyngidae
    • Ogygoptynx
  • Protostrigidae
    • Eostrix
    • Minerva
    • Oligostrix
  • Sophiornithidae
    • Sophiornis
  • Tytonidae (Serak)
    • Genus Tyto
    • Genus Phodilus
  • Strigidae
      • Genus Aegolius
      • Genus Asio
      • Genus Athene
      • Genus Bubo (Beluk)
      • Genus Glaucidium (Beluk-watu)
      • Genus Gymnasio
      • Genus Gymnoglaux
      • Genus Lophostrix
      • Genus Jubula
      • Genus Megascops
      • Genus Micrathene
      • Genus Ninox (Punggok)
      • Genus Otus (Celepuk)
      • Genus Pseudoscops
      • Genus Psiloscops
      • Genus Ptilopsis
      • Genus Pulsatrix
      • Genus Strix (Kukuk)
      • Genus Surnia
      • Genus Taenioptynx
      • Genus Uroglaux
      • Genus Xenoglaux

Jenis di Indonesia

[sunting | sunting sumber]

Di Indonesia, terdapat 54 jenis burung manguni, 8 jenis dari famili Tytonidae dari kedua genus yang ada dan 27 jenis dari Strigidae dari genus Ninox, Glaucidium, Otus, Strix, dan Bubo.

Hanya 30 jenis diantaranya yang merupakan burung endemik di Indonesia, dari 3 jenis dari famili Tytonidae semuanya dari genus Tyto, 27 jenis dari famili Strigidae dari genus Otus, genus Glaucidium, dan genus Ninox.

Hubungan dengan manusia

[sunting | sunting sumber]

Di dunia barat, hewan ini dianggap simbol kebijaksanaan, tetapi di beberapa tempat di Indonesia dianggap pembawa pertanda buruk, maka dari itu dinamakan "Burung Hantu". Walau begitu tidak di semua tempat di Nusantara burung ini disebut sebagai burung hantu. Di Jawa misalnya, nama burung ini adalah darès atau manuk darès yang tidak ada konotasinya dengan maut atau hantu. Di Sulawesi Utara, burung hantu dikenal dengan nama Manguni.

Pembasmi tikus

[sunting | sunting sumber]

Burung hantu merupakan salah satu jenis burung hantu yang kerap digunakan sebagai hewan pembasmi hama tikus di sektor pertanian. Burung hantu merupakan musuh bebuyutan dari tikus. Karena itu mulai banyak petani maupun perusahaan pertanian yang menggunakan burung hantu untuk menanggulangi serangan tikus. Burung hantu lebih efektif dibandingkan pengendalian tikus menggunakan racun tikus, gropyokan (perburuan tikus melibatkan banyak orang secara bersama-sama dan serempak) dan lain-lain.

Sebagai predator alam, burung hantu jenis Serak Jawa merupakan pemburu tikus yang paling populer dan andal, baik di perkebunan kelapa sawit maupun di pertanian padi. Dalam pertanian, sepasang burung hantu bisa melindungi 25 hektare tanaman padi. Dalam waktu satu tahun, satu ekor burung hantu dapat memangsa 1300 ekor tikus.[1]

Burung hantu juga merupakan predator tikus yang efektif di perkebunan kelapa sawit. Penggunaan burung hantu bisa menurunkan serangan tikus pada tanaman kelapa sawit muda hingga di bawah 5 persen. Dari segi biaya, pengendalian serangan tikus menggunakan burung hantu lebih rendah 50 persen dibandingkan penanggulangan tikus secara kimiawi.[2]

Sejumlah pemerintah daerah mulai menggunakan burung hantu untuk meningkatkan produktivitas tanaman padi mereka, termasuk Pemerintah Kabupaten Pati. Mulai 2012, Bupati Pati Haryanto mencanangkan program penangkaran burung hantu, dengan biaya dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah APBD. Burung hantu yang ditangkarkan digunakan untuk membantu petani mengusir tikus. Pemerintah daerah juga berencana mengeluarkan peraturan daerah (Perda) yang isinya melarang perburuan burung termasuk jenis burung hantu.[3]

Rencana pemerintah Kabupaten Pati mengeluarkan Perda larangan berburu burung hantu mendapat tanggapan positif dari Kementerian Kehutanan Indonesia. Kementerian Kehutanan Indonesia berencana menerbitkan Peraturan Menteri tentang perlindungan burung hantu yang mulai langka di Indonesia.[4]

Referensi

[sunting | sunting sumber]

Bacaan lanjutan

[sunting | sunting sumber]
  • MacKinnon, J. 1993. Panduan lapangan pengenalan Burung-burung di Jawa dan Bali. Gadjah Mada University Press. Jogyakarta. ISBN 979-420-150-2
  • MacKinnon, J., K. Phillipps, and B. van Balen. 2000. Burung-burung di Sumatra, Jawa, Bali dan Kalimantan. LIPI dan BirdLife IP. Bogor. ISBN 979-579-013-7

Lihat juga

[sunting | sunting sumber]

Pranala luar

[sunting | sunting sumber]