Suku Jawa

kelompok etnik berbahasa Jawa yang berasal dari Pulau Jawa bagian tengah dan timur

Suku Jawa adalah suku bangsa Austronesia terbesar di Indonesia yang berasal dari Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Dengan lebih dari 100 juta orang, Suku Jawa merupakan kelompok etnis terbesar di Indonesia dan di Asia Tenggara secara keseluruhan. Bahasa asli mereka adalah bahasa Jawa, yang merupakan bahasa Austronesia terbesar dalam hal jumlah penutur asli dan juga bahasa daerah terbesar di Asia Tenggara.[5] Sebagai kelompok etnis terbesar di wilayah tersebut, orang Jawa secara historis mendominasi lanskap sosial, politik, dan budaya Indonesia dan di Asia Tenggara.[6]

Suku Jawa
ꦧꦺꦴꦁꦱꦗꦮ, Băngsa Jawa
ꦮꦺꦴꦁꦗꦮ, Wong Jawa
Soedirman Albertus S. Soeharto H.B. IX
Try Sutrisno Abdurrahman Wahid S.B. Yudhoyono Boediono
Joko Widodo Anggun C. Sasmi Dian Sastro Yenny Wahid
Jumlah populasi
± 120.000.000 (seluruh dunia)
Daerah dengan populasi signifikan
Indonesia (2010)95.217.022[1]
       Jawa Tengah31.560.859
       Jawa Timur30.019.156
       Jawa Barat5.710.652
       Lampung4.856.924
       Sumatera Utara4.319.719
       DKI Jakarta3.453.453
       Yogyakarta3.331.355
       Sumatera Selatan2.037.715
       Banten1.657.470
       Riau1.608.268
       Kalimantan Timur1.069.826
       Jambi893.156
       Kalimantan Selatan524.357
       Kalimantan Tengah478.434
       Kalimantan Barat427.333
       Kepulauan Riau417.438
       Aceh400.023
       Bengkulu387.281
       Bali372.514
       Papua233.145
       Sulawesi Selatan229.074
       Sulawesi Tengah221.001
       Sumatera Barat217.096
       Sulawesi Tenggara159.170
       Papua Barat111.274
       Bangka Belitung101.655
       Maluku79.340
       Nusa Tenggara Barat78.916
       Sulawesi Utara70.934
       Sulawesi Barat56.960
       Nusa Tenggara Timur54.511
       Maluku Utara42.724
       Gorontalo35.289
Malaysia (2021)1.500.000[2]
Suriname (2019)102.000[3]
Belanda (2008)21.720[4]
Thailand (2021)4.000
Bahasa
Jawa, Indonesia, Melayu (dituturkan oleh komunitas yang berdomisili di Malaysia dan Singapura), Belanda (hanya digunakan oleh yang tinggal di Belanda dan Suriname)
Agama
Mayoritas
Islam Sunni
Minoritas
Kristen (Protestan, Katolik)
Kejawen
Hindu
Buddha
Konghucu
Kelompok etnik terkait
Osing, Samin, Tengger, Sunda, Madura, Bawean, Bali, Sasak

Pada tahun 2010, setidaknya 40,22% penduduk Indonesia merupakan etnis Jawa.[7] Selain itu, suku Jawa ada pula yang berada di negara Kaledonia Baru dan Suriname, karena pada masa kolonial Belanda suku ini dibawa ke sana sebagai pekerja. Saat ini, suku Jawa di Suriname menjadi salah satu minoritas di sana dan dikenal sebagai Jawa Suriname. Ada juga sejumlah besar suku Jawa di sebagian besar provinsi di Indonesia, Malaysia, Singapura, Arab Saudi, dan Belanda.

Mayoritas orang Jawa adalah umat Islam, dengan beberapa minoritas yaitu Kristen, Kejawen, Hindu, dan Buddha. Meskipun demikian, peradaban orang Jawa telah dipengaruhi oleh lebih dari seribu tahun interaksi antara budaya Kejawen dan Hindu-Buddha, dan pengaruh ini masih terlihat dalam sejarah, budaya, tradisi, dan bentuk kesenian Jawa. Dengan populasi global yang cukup besar, suku Jawa menjadi kelompok etnis terbesar keempat di antara umat Islam/etnis mayoritas Islam di seluruh dunia, setelah bangsa Arab,[8] Bengali,[9], Punjabi.[10]. Suku Jawa memiliki beberapa sub-suku, yakni Banyumasan, Cirebon, Osing, Samin, Tengger, Jawa Merauke, dan Jawa Suriname.[11]

Sejarah

Seperti kebanyakan kelompok etnis Indonesia yang lain, termasuk masyarakat Sunda, masyarakat Jawa merupakan bangsa Austronesia yang leluhurnya diperkirakan berasal dari Taiwan dan bermigrasi melalui Filipina[12] untuk mencapai pulau Jawa antara tahun 1500 SM hingga 1000 SM.[13] Namun, menurut studi genetik yang terbaru, masyarakat Jawa bersama dengan masyarakat Sunda dan Bali memiliki rasio penanda genetik yang hampir sama antara genetik bangsa Austronesia dan Austroasiatik.[14]

Masyarakat Jawa adalah perpaduan antara orang Austroasiatik berbaur / interbreeding dengan orang Austronesia yang datang kemudian. Setelah interaksi yang cukup lama dengan orang Austronesia masyarakat awal yang mendiami Pulau Jawa mulai mengadopsi bahasa Austronesia sebagai bahasa utama, sehingga mereka memiliki sekitar 20–30% gen Austronesia dan 50-60% gen Austroasiatik.

Perpaduan genetik masyarakat di Jawa juga sangat kompleks, baik itu masyarakat pesisir maupun di daerah pegunungan. Bentuk wajah masyarakat Jawa juga dominan dipengaruhi oleh Orang Austroasiatik (Seperti Orang Kamboja dan Vietnam bagian selatan).

Kemungkinan mengapa masyarakat yang mendiami pulau Jawa awal mula mulai mengadopsi Bahasa Austronesia adalah menyesuaikan diri di dalam globalisasi, perdagangan maupun pertukaran budaya dan teknologi di masanya, yang kemungkinan para penutur Bahasa Austronesia mempunyai pengaruh yang sangat besar pada masa itu.

Perahu-perahu Jawa
Samudra Raksa, rekonstruksi tahun 2003 dari kapal Borobudur abad ke-9.
Sebuah perahu cadik dari Jawa Tengah, antara tahun 1924 dan 1932.
Gambaran penampang sebuah perahu cadik, antara 1863 dan 1900.

Kerajaan Jawa Kuno

 
Masyarakat Jawa mengadaptasi banyak aspek budaya India, seperti wiracarita Ramayana.

Pengaruh agama Hindu dan Buddha datang melalui kontak dagang di subbenua India.[15] Pedagang dan pengunjung Hindu dan Buddha tiba pada abad ke-5. Agama Hindu, Buddha, dan agama masyarakat Jawa terpadu menjadi filsafat lokal yang unik.[12]

Tempat lahirnya budaya Jawa umumnya digambarkan berada di Dataran Kedu dan Kewu di lereng subur Gunung Merapi sebagai jantung Kerajaan Mataram Kuno.[16] Wangsa Sanjaya dan Sailendra memiliki basis kekuatan mereka di sana.[17]:238–239

Pusat kebudayaan dan perpolitikan Jawa dipindahkan ke bagian timur pulau ketika Mpu Sindok (berkuasa tahun 929–947) memindahkan ibu kota kerajaan menuju timur ke lembah sungai Brantas pada abad ke-10. Pemindahan tersebut kemungkinan besar disebabkan oleh letusan Gunung Merapi dan/atau invasi dari Sriwijaya.[17]:238–239

Penyebaran besar pengaruh Jawa terjadi di bawah Raja Kertanegara dari Kerajaan Singasari pada akhir abad ke-13. Raja ekspansionis ini meluncurkan beberapa ekspedisi besar ke Madura, Bali pada tahun 1284,[18] Kalimantan, dan ekspedisi yang paling penting ke Sumatra pada tahun 1275.[17] Seiring kekalahan Kerajaan Melayu, Kerajaan Singasari mengendalikan perdagangan di Selat Malaka.

Kekuasaan Singasari dihancurkan pada tahun 1292 oleh pemberontakan Kediri di bawah Jayakatwang dan membunuh Kertanegara. Namun, kekuasaan Jayakatwang sebagai raja Jawa segera berakhir ketika ia dikalahkan oleh menantu Kertanegara, Raden Wijaya dengan bantuan penyerbuan oleh pasukan Mongol pada bulan Maret 1293.

Raden Wijaya kemudian mendirikan Kerajaan Majapahit di dekat delta sungai Brantas yang saat ini tempatnya ialah di Mojokerto, Jawa Timur. Kebijakan Kertanegara kemudian dilanjutkan oleh Majapahit di bawah Raja Hayam Wuruk dan Menteri Gajah Mada.[18]

Berbagai kerajaan di Jawa secara aktif terlibat dalam perdagangan rempah-rempah di rute laut Jalur Sutra. Meskipun bukan penghasil utama rempah-rempah, kerajaan-kerajaan ini mampu menimbun rempah-rempah dengan memperdagangkannya dengan beras, yang merupakan hasil utama Pulau Jawa.[19] Majapahit biasanya dianggap sebagai kerajaan yang terbesar di antara kerajaan-kerajaan ini. Majapahit memiliki kekuatan agraris dan maritim, menggabungkan penanaman padi basah dan perdagangan luar negeri.[20] Bekas ibu kotanya dapat ditemukan di Trowulan.

Kesultanan Jawa

 
Susuhunan Amangkurat II dari Mataram (kanan atas) menyaksikan Untung Surapati bertarung melawan Kapten François Tack dari Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). ca tahun 1684.

Agama Islam memperoleh pijakannya di kota-kota pelabuhan di pesisir utara Jawa seperti Gresik, Ampel Denta (Surabaya), Tuban, Demak, dan Kudus. Penyebaran dan kegiatan dakwah Islam di kalangan masyarakat Jawa secara tradisional dikreditkan ke Wali Songo.[21]

Pulau Jawa mengalami perubahan besar seiring penyebaran Islam. Seiring terjadinya perselisihan terhadap proses pergantian kepemimpinan dan perang saudara, kekuasaan Majapahit runtuh. Setelah runtuhnya Majapahit, berbagai kerajaan dan negara vasal di bawahnya menjadi bebas.[22] Kesultanan Demak menjadi kekuatan terkuat yang baru, mempunyai keunggulan di antara negara kota di pesisir utara Jawa.[23] Selain dari kekuasaannya atas negara kota masyarakat Jawa, Kesultanan Demak juga menguasai pelabuhan Jambi dan Palembang di Sumatra bagian timur.[23] Demak memainkan peran besar dalam menentang kekuasaan kolonial yang baru datang, yaitu Portugis. Demak dua kali menyerang Portugis setelah pendudukan Portugis di Malaka. Demak juga menyerang pasukan sekutu Portugis dan Kerajaan Sunda, membantu pendirian Kesultanan Banten.

Demak digantikan oleh Kerajaan Pajang dan akhirnya Kesultanan Mataram. Pusat kekuasaannya dipindahkan dari pesisir Demak ke Pajang di Blora dan kemudian lebih jauh menuju pedalaman ke tanah Mataram di Kotagede, Yogyakarta. Kesultanan Mataram mencapai puncak kekuasaan dan pengaruhnya pada masa pemerintahan Sultan Agung Anyokrokusumo antara tahun 1613 hingga 1645.

Masa kolonial di Jawa

 
Peringatan 40 tahun masa pemerintahan Pakubuwana X di Kasunanan Surakarta pada tahun 1932.

Pada tahun 1619, bangsa Belanda mendirikan kantor pusat perdagangannya di Batavia. Pulau Jawa perlahan jatuh ke tangan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang akhirnya juga akan mengendalikan sebagian besar Asia Tenggara Maritim. Intrik internal dan perang suksesi, serta campur tangan Belanda, menyebabkan Kesultanan Mataram pecah menjadi Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Perpecahan yang lebih lanjut di Tanah Jawa ditandai dengan pendirian Kadipaten Mangkunegaran dan Kadipaten Pakualaman. Meskipun kekuatan politik yang sebenarnya pada masa itu terletak pada kolonial Belanda, para raja Jawa di keratonnya masih memiliki pengaruh sebagai pusat kekuasaan yang dikehendakinya di Tanah Jawa, khususnya di sekitar dan di Surakarta serta Yogyakarta.

Pemerintahan Belanda terganggu sementara oleh pemerintahan Inggris pada awal abad ke-19. Meskipun sebentar, pemerintahan Inggris yang dipimpin oleh Stamford Raffles memberi pengaruh yang signifikan, termasuk penemuan kembali Borobudur. Konflik dengan pemerintahan asing seperti Perang Jawa antara tahun 1825 hingga 1830 di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro.

Seperti wilayah Hindia Belanda lainnya, Pulau Jawa direbut oleh Kekaisaran Jepang selama Perang Dunia II. Dengan kalahnya Jepang di Perang Dunia II, kemerdekaan diproklamasikan di Republik Indonesia yang baru.

Republik Indonesia

Ketika kemerdekaan bangsa Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, para penguasa monarki Jawa yang terakhir, diwakili oleh Sri Sunan dari Kasunanan Surakarta, Sri Sultan dari Kesultanan Yogyakarta, dan Pangeran Mangkunegara menyatakan bahwa mereka akan menjadi bagian dari Republik Indonesia.

Yogyakarta dan Pakualam kemudian bersatu untuk membentuk Daerah Istimewa Yogyakarta. Sri Sultan menjadi Gubernur Yogyakarta, dan Pangeran Pakualaman menjadi wakil gubernur; keduanya bertanggung jawab langsung kepada Presiden Republik Indonesia. Surakarta Sempat dibentuk Daerah Istimewa Surakarta yang dikemudian hari terpaksa digabungkan sebagai bagian dari Provinsi Jawa Tengah dikarenakan situasi politik di Surakarta yang sedang kacau menghadapi pemberontakan.

Budaya

 
Pertunjukan wayang kulit.

Budaya Jawa adalah budaya yang berasal dari Jawa dan dianut oleh masyarakat Jawa khususnya di Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur. Budaya Jawa mengutamakan keseimbangan, keselarasan, dan keserasian dalam kehidupan sehari-hari. Budaya Jawa menjunjung tinggi kesopanan dan kesederhanaan. Budaya Jawa selain terdapat di Jawa Tengah, DIY, dan Jawa Timur terdapat juga di daerah perantauan orang Jawa yaitu di Jakarta, Sumatra, dan Suriname. Pengaruh budaya Jawa juga tersebar di luar Jawa, contohnya wayang kulit, keris, batik, dan gamelan. Di Malaysia dan Filipina dikenal istilah keris karena pengaruh Majapahit.[24] LSM Kampung Halaman dari Yogyakarta yang menggunakan wayang remaja adalah LSM Asia pertama yang menerima penghargaan seni dari AS tahun 2011. Gamelan Jawa menjadi mata kuliah di Universitas Victoria Wellington, Selandia Baru.[25] Gamelan Jawa rutin digelar di AS dan Eropa atas permintaan warga AS dan Eropa. Sastra Jawa Nagarakretagama menjadi satu-satunya karya sastra Indonesia yang diakui UNESCO sebagai Memori Dunia. Menurut Guru Besar Arkeologi Asia Tenggara, Universitas Nasional Singapura, John N. Miksic, jangkauan kekuasaan Majapahit bahkan meliputi Sumatra dan Singapura bahkan Thailand Selatan yang dibuktikan dengan pengaruh kebudayaan, corak bangunan, candi, patung, dan seni.[26] Budaya Jawa termasuk unik karena bahasa Jawa mempunyai tingkat tutur yakni ngoko, madya, dan krama.

Bahasa

 
Aksara Jawa.

Bahasa Jawa merupakan bahasa Austronesia yang utamanya dituturkan oleh masyarakat Jawa di wilayah bagian tengah dan timur pulau Jawa. Bahasa ini dikenal mempunyai jumlah besar kata serapan dari bahasa Sanskerta, terutama ditemukan dalam sastra Jawa.[27] Ini karena sejarah panjang pengaruh Hindu dan Buddha di Jawa.

Suku bangsa Jawa sebagian besar menggunakan bahasa Jawa dalam bertutur sehari-hari. Dalam sebuah survei yang diadakan majalah Tempo pada awal dasawarsa 1990-an, kurang lebih hanya 28% orang Jawa yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa mereka sehari-hari, sekitar 22% menggunakan bahasa Jawa dan Indonesia secara campur, dan selebihnya mayoritas menggunakan bahasa Jawa saja.

Bahasa Jawa memiliki aturan perbedaan kosakata dan intonasi berdasarkan hubungan antara pembicara dan lawan bicara, yang dikenal dengan unggah-ungguh.[28] Aspek kebahasaan ini memiliki pengaruh sosial yang kuat dalam budaya Jawa, dan membuat orang Jawa biasanya sangat sadar akan status sosialnya di masyarakat.

Pada abad ke-15 hingga pertengahan abad ke-20, bahasa Jawa aktif ditulis menggunakan aksara Jawa terutama dalam sastra maupun tulisan sehari-hari masyarakat Jawa sebelum fungsinya berangsur-angsur tergantikan dengan huruf Latin. Aksara ini masih diajarkan di DI Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur sebagai bagian dari muatan lokal, namun dengan penerapan yang terbatas dalam kehidupan sehari-hari.[29][30]

Sastra dan filsafat

Para cendekiawan, penulis, penyair, dan sastrawan Jawa terkenal karena kemampuan mereka merumuskan gagasan dan menciptakan idiom untuk tujuan budaya yang tinggi, melalui rangkaian kata-kata untuk mengekspresikan makna filosofis yang lebih dalam. Beberapa idiom filosofis muncul dari sastra klasik Jawa, babad dan tradisi lisan, dan telah menyebar ke beberapa media dan diangkat sebagai moto yang populer. Contohnya seperti "Bhinneka Tunggal Ika", digunakan sebagai semboyan atau moto nasional Republik Indonesia, "Gemah Ripah Loh Jinawi, Toto Tentrem Kerto Raharjo", "Jer Basuki Mawa Béya", "Rawé-Rawé rantas, Malang-Malang putung" dan "Tut Wuri Handayani".[31]

Stratifikasi sosial

Masyarakat Jawa juga terkenal akan pembagian golongan-golongan sosialnya. Pakar antropologi Amerika yang ternama, Clifford Geertz, pada tahun 1960-an membagi masyarakat Jawa menjadi tiga kelompok: kaum santri, abangan, dan priyayi. Menurutnya kaum santri adalah penganut agama Islam yang taat, kaum abangan adalah penganut Islam secara nominal atau penganut Kejawen, sedangkan kaum priyayi adalah kaum bangsawan.[32] Tetapi pendapat Geertz banyak ditentang karena ia mencampur golongan sosial dengan golongan kepercayaan. Kategorisasi sosial ini juga sulit diterapkan dalam menggolongkan orang-orang luar, misalkan orang Indonesia lainnya dan suku bangsa non-pribumi seperti orang keturunan Arab, Tionghoa, dan India.

Kepercayaan

Agama Populasi
Islam 92.207.046
Kristen 2.528.854
Hindu 150.855
Buddha 90.465
Konghucu 2.857
Lainnya 9.599

Mayoritas orang Jawa menganut agama Islam (sekitar 96%). Masyarakat Muslim Jawa umumnya dikategorikan ke dalam dua kultur, yaitu kaum Santri dan Abangan. Kaum santri mengamalkan ajaran agama sesuai dengan syariat Islam, sedangkan kaum abangan walaupun menganut Islam namun dalam praktiknya masih terpengaruh Kejawen yang kuat. Orang Jawa juga ada yang menganut agama Kristen (sekitar 3%), baik Protestan maupun Katolik. Sekitar 1% orang Jawa lainnya juga menganut agama Hindu, Buddha, maupun kepercayaan suku Jawa yang disebut sebagai Kejawen. Kantong masyarakat Jawa Hindu masih ditemukan di kawasan pegunungan Bromo Tengger Semeru, sedangkan kantong masyarakat Jawa Buddha ada di desa Kalimanggis, Temanggung.

Seni

Orang Jawa terkenal dengan budaya seninya yang terutama dipengaruhi oleh agama Hindu-Buddha, yaitu pementasan wayang. Repertoar cerita wayang atau lakon sebagian besar berdasarkan wiracarita Ramayana dan Mahabharata. Selain pengaruh India, pengaruh Islam dan Dunia Barat ada pula. Seni batik dan keris adalah dua bentuk ekspresi masyarakat Jawa. Musik gamelan yang juga dijumpai di Bali memegang peranan penting dalam kehidupan budaya dan tradisi Jawa.

Profesi

Mayoritas masyarakat Jawa berprofesi sebagai petani. Sedangkan di perkotaan mereka berprofesi sebagai pegawai negeri sipil, karyawan, pedagang, usahawan, dokter, guru dan lain-lain. Di Daerah Khusus Ibukota Jakarta, jumlah orang Jawa mencapai 40% pada tahun 2015 dari penduduk Jakarta. Orang Jawa perantauan di Jakarta bekerja di berbagai bidang. Hal ini terlihat dari jumlah mudik lebaran yang terbesar dari Jakarta adalah menuju Jawa Tengah. Secara rinci prediksi jumlah pemudik tahun 2014 ke Jawa Tengah mencapai 7.893.681 orang. Dari jumlah itu didasarkan beberapa kategori, yakni 2.023.451 orang pemudik sepeda motor, 2.136.138 orang naik mobil, 3.426.702 orang naik bus, 192.219 orang naik kereta api, 26.836 orang naik kapal laut, dan 88.335 orang naik pesawat.[33] Bahkan menurut data Kementerian Perhubungan Indonesia menunjukkan tujuan pemudik dari Jakarta adalah 61% Jateng dan 39% Jatim. Ditinjau dari profesinya, 28% pemudik adalah karyawan swasta, 27% wiraswasta, 17% PNS/TNI/POLRI, 10% pelajar/mahasiswa, 9% ibu rumah tangga, dan 9% profesi lainnya. Diperinci menurut pendapatan pemudik, 44% berpendapatan Rp3–5 juta, 42% berpendapatan Rp1–3 juta, 10% berpendapatan Rp5–10 juta, 3% berpendapatan di bawah Rp1 juta, dan 1% berpendapatan di atas Rp10 juta.[34] Pekerjaan orang Jawa secara historis adalah sebagai berikut.

Petani

Secara tradisional, kebanyakan orang Jawa adalah petani. Pertanian sangat umum karena tanah vulkanik yang subur di Jawa. Komoditas pertanian terpenting adalah beras. Pada tahun 1997, diperkirakan bahwa Jawa menghasilkan 55% dari total hasil panen Indonesia.[35] Sebagian besar petani bekerja di sawah skala kecil, dengan sekitar 42% petani bekerja dan mengolah kurang dari 0,5 hektar lahan.[35] Di wilayah di mana tanahnya kurang subur karena musim hujan pendek, tanaman pokok lainnya dibudidayakan, seperti singkong.[36]

Pedagang-pelaut

Lukisan seorang pelaut Jawa, 1855
Cetakan kayu dari seorang pedagang Jawa, 1640–1649

Para pedagang dan pelaut Jawa sudah sering melakukan pelayaran di lautan antara India dan Tiongkok pada awal abad ke-1.[37]:31-35 Kapal Borobudur dari dinasti Sailendra Jawa membawa pelaut dan pemukim Nusantara ke Madagaskar dan Afrika Barat pada abad ke-8,[38]:31-35[39]:41 tetapi ada kemungkinan bahwa mereka sudah berada di sana pada awal 500 SM.[40][41]

Champa diserang oleh kapal-kapal Jawa atau kapal Kunlun pada tahun 774 dan 787.[42][43][44] Pada tahun 774 sebuah serangan diluncurkan ke Po-Nagar di Nha-trang di mana para perompak menghancurkan kuil-kuil, sementara pada tahun 787 sebuah serangan diluncurkan ke Phang-rang.[45][46][47] Beberapa kota pesisir Champa mengalami serangan angkatan laut dan serangan dari Jawa. Armada Jawa disebut sebagai Javabala-sanghair-nāvāgataiḥ (angkatan laut dari Jawa) yang tercatat dalam prasasti Champa.[48][49]

Orang Jawa mungkin telah berhubungan dengan benua Australia pada abad ke-10 M, dan bermigrasi ke sana, pemukiman mereka ada hingga awal 1600-an. Menurut Prasasti Waharu IV (931 M) dan Prasasti Garaman (1053 M),[50][51] Kerajaan Mataram Kuno dan Kerajaan Kahuripan zaman Airlangga (1000–1049 M) di Jawa mengalami masa kemakmuran panjang sehingga membutuhkan banyak tenaga terutama untuk membawa hasil panen, mengemas, dan mengirimkannya ke pelabuhan. Tenaga kerja berupa orang kulit hitam diimpor dari Jenggi (Zanzibar), Pujut (Australia), dan Bondan (Papua).[52][53] Menurut Naerssen, mereka tiba di Jawa dengan jalan perdagangan (dibeli oleh pedagang) atau ditawan saat perang dan kemudian dijadikan budak.[54] Menurut Chiaymasiouro, raja Demak, pada 1601 M ada subkelompok orang Jawa yang sudah menetap di tanah bernama Luca Antara, yang diyakini sebagai Australia.[55] Tetapi ketika pelayan Eredia pergi ke Luca Antara pada tahun 1610, tanah tersebut seolah-olah telah ditinggalkan.[56]

Catatan Arab abad ke-10 Ajayeb al-Hind (Keajaiban India) memberikan laporan invasi di Afrika oleh bangsa yang disebut Wakwak atau Waqwaq,[57]:110 mungkin adalah orang-orang Melayu Sriwijaya atau orang Jawa dari kerajaan Mataram Kuno,[58]:39 pada 945–946 M. Mereka tiba di pantai Tanganyika dan Mozambik dengan 1000 kapal dan berusaha merebut benteng Qanbaloh, meskipun akhirnya gagal. Alasan serangan itu adalah karena tempat itu memiliki barang-barang yang cocok untuk negara mereka dan China, seperti gading, kulit kura-kura, kulit macan kumbang, dan ambergris, dan juga karena mereka menginginkan budak hitam dari orang Bantu (disebut Zeng atau Zenj oleh orang Arab, Jenggi oleh orang Jawa) yang kuat dan menjadi budak yang baik.[57]:110 Keberadaan orang Afrika berkulit hitam masih dicatat sampai abad ke-15 pada prasasti-prasasti berbahasa Jawa kuno[59][60] dan orang Jawa masih dicatat mengekspor budak berkulit hitam pada era dinasti Ming.[61]

Penelitian pada tahun 2016 menunjukkan bahwa orang Malagasi menunjukkan hubungan genetik dengan berbagai kelompok etnis Nusantara, terutama dari Kalimantan bagian selatan.[62] Bagian dari bahasa Malagasi bersumber dari bahasa Ma'anyan dengan kata pinjaman dari bahasa Sanskerta, dengan semua modifikasi linguistik lokal melalui bahasa Jawa atau Melayu.[63] Orang Ma'anyan dan Dayak bukanlah seorang pelaut dan merupakan penggarap sawah kering sedangkan sebagian orang Malagasi adalah petani sawah basah, sehingga kemungkinan besar mereka dibawa oleh orang Jawa dan Melayu dalam armada dagangnya, sebagai buruh atau budak.[57]:114-115 Budaya Jawa sepertinya juga mempengaruhi strata sosial di Madagaskar, gelar Malagasi "andriana" mungkin berasal dari gelar kebangsawanan Jawa kuno "Rahadyan" (Ra-hady-an), "hady" yang berarti "pejabat tinggi" atau "tuan".[64]

Selama era Majapahit, hampir semua komoditas dari Asia ditemukan di Jawa.[58]:233–234, 239–240 Ini dikarenakan perdagangan laut ekstensif yang dilakukan oleh kerajaan Majapahit yang menggunakan berbagai jenis kapal, terutamanya jong, untuk berdagang ke tempat-tempat yang jauh.[58]:56–60, 286–291 Orang Eropa pada awal abad ke-16 menyebutkan tempat dan rute yang dikunjungi pedagang Jawa, yang meliputi Maluku, Timor, Banda, Sumatra, Melaka, Cina, Tenasserim, Pegu, Benggala, Pulicat, Koromandel, Malabar, Cambay (Khambat), dan Aden. Dari catatan penulis lain, dapat diketahui bahwa ada juga yang pergi ke Maladewa, Calicut (Kozhikode), Oman, Aden, dan Laut Merah.[65]:191-193[66]:199 Ma Huan (penerjemah Cheng Ho) yang mengunjungi Jawa pada tahun 1413, menyatakan bahwa pelabuhan di Jawa memperdagangkan barang dan menawarkan layanan yang lebih banyak dan lebih lengkap daripada pelabuhan lain di Asia Tenggara.[58]:233-234, 239-241 Juga pada era Majapahit penjelajahan orang-orang Nusantara mencapai prestasi terbesarnya: Ludovico di Varthema (1470–1517), dalam bukunya Itinerario de Ludouico de Varthema Bolognese menyatakan bahwa orang Jawa Selatan berlayar ke "negeri jauh di selatan" hingga mereka tiba di sebuah pulau di mana satu hari hanya berlangsung selama empat jam dan "lebih dingin daripada di bagian dunia mana pun". Penelitian modern telah menentukan bahwa tempat tersebut terletak setidaknya 900 mil laut (1666 km) selatan dari titik paling selatan Tasmania.[67]:248-251 Ketika Afonso de Albuquerque menaklukkan Malaka (1511), orang Portugis mendapatkan sebuah peta dari seorang mualim Jawa, yang juga menampilkan bagian dari benua Amerika. Mengenai peta itu, Albuquerque berkata:[68][69]:98-99

... peta besar seorang mualim Jawa, yang berisi Tanjung Harapan, Portugal dan tanah Brazil, Laut Merah dan Laut Persia, Kepulauan Cengkih, navigasi orang Cina dan Gore, dengan garis rhumb dan rute langsung yang bisa ditempuh oleh kapal, dan dataran gigir (hinterland), dan bagaimana kerajaan berbatasan satu sama lain. Bagiku, Tuan, ini adalah hal terbaik yang pernah saya lihat, dan Yang Mulia akan sangat senang melihatnya memiliki nama-nama dalam tulisan Jawa, tetapi saya punya seorang Jawa yang bisa membaca dan menulis, saya mengirimkan karya ini kepada Yang Mulia, yang ditelusuri Francisco Rodrigues dari yang lain, di mana Yang Mulia dapat benar-benar melihat di mana orang Cina dan Gore (Jepang) datang, dan tentu saja kapal Anda harus pergi ke Kepulauan Cengkih, dan di mana tambang emas ada, dan pulau Jawa dan Banda, asal pala dan fuli pala, dan tanah raja Siam, dan juga akhir dari navigasi orang Cina, arah yang dilaluinya, dan bagaimana mereka tidak bernavigasi lebih jauh.
— Surat Albuquerque untuk raja Manuel I dari Portugal, 1 April 1512.

Orang Jawa, seperti suku-suku Austronesia lainnya, menggunakan sistem navigasi yang mantap: Orientasi di laut dilakukan menggunakan berbagai tanda alam yang berbeda-beda, dan dengan memakai suatu teknik perbintangan sangat khas yang dinamakan star path navigation. Pada dasarnya, para navigator menentukan haluan kapal ke pulau-pulau yang dikenali dengan menggunakan posisi terbitnya dan terbenamnya bintang-bintang tertentu di atas cakrawala.[70]:10 Pada zaman Majapahit, kompas dan magnet telah digunakan, selain itu kartografi (ilmu pemetaan) telah berkembang. Pada tahun 1293 Raden Wijaya memberikan sebuah peta dan catatan sensus penduduk pada pasukan Mongol dinasti Yuan, menunjukkan bahwa pembuatan peta telah menjadi bagian formal dari urusan pemerintahan di Jawa.[71]:53 Penggunaan peta yang penuh garis-garis memanjang dan melintang, garis rhumb, dan garis rute langsung yang dilalui kapal dicatat oleh orang Eropa, sampai-sampai orang Portugis menilai peta Jawa merupakan peta terbaik pada awal tahun 1500-an.[58]:163–164, 166–168 [67]:249[69][72]:lxxix[73]

Kehadiran kolonial Eropa mengurangi jangkauan para pedagang-pelaut Jawa. Namun, pada tahun 1645, Diogo do Couto mengkonfirmasi bahwa orang Jawa pernah berkomunikasi dengan pantai timur Madagaskar.[74][75]:57 Keputusan Amangkurat I dari Kesultanan Mataram untuk menghancurkan kapal di kota-kota pesisir dan menutup pelabuhan untuk mencegah mereka memberontak pada pertengahan abad ke-17 semakin mengurangi kemampuan orang Jawa dalam berlayar jarak jauh. Ini diperkuat dengan perjanjian Mataram-VOC tahun 1705 yang melarang orang Jawa berlayar ke sebelah timur Lombok, sebelah utara Kalimantan, dan sebelah barat Lampung.[76] Pada paruh kedua abad ke-18, sebagian besar pedagang-pelaut Jawa dibatasi hanya untuk perjalanan jarak pendek.[70]:20-21

Pembuat kapal

Kapal-kapal orang Jawa:
  • Kapal Borobudur dari candi Borobudur, abad ke-8.
  • Jong Jawa di teluk Banten, tahun 1610.

Orang Jawa dikenal memproduksi kapal besar yang disebut K'un-lun po (kapal po orang K'un-lun). Kapal-kapal ini telah melintasi lautan antara India dan Tiongkok pada abad ke-2, membawa hingga 1000 orang bersama 250–1000 ton kargo. Ciri-ciri kapal ini adalah berukuran besar (panjang lebih dari 50–60 m), memiliki papan berlapis, tidak bercadik, dipasang dengan banyak tiang dan layar, layar berupa layar tanja, dan memiliki teknik pengikat papan berupa ikatan dengan serat tumbuh-tumbuhan.[37]:41[39]:27-28[77]:275[78]:262[79]:347

Kegiatan perdagangan dan perbudakan Jawa di Afrika menyebabkan pengaruh yang kuat pada pembuatan perahu di Madagaskar dan pantai Afrika Timur. Hal ini ditunjukkan dengan adanya cadik dan oculi (hiasan mata) pada perahu-perahu Afrika.[80]:253-288[81]:94[82]:156

Jenis kapal besar lain yang dibangun orang Jawa adalah jong, yang baru dicatat pada prasasti berbahasa Jawa kuno dari abad ke-9 M.[83]:60 Meskipun karakteristiknya mungkin serupa, ia memiliki beberapa perbedaan dari po yaitu menggunakan pasak kayu untuk menyambung papan dan memiliki rasio penumpang terhadap bobot mati sebesar dua kalinya. Pada zaman Majapahit, sebuah jong biasanya membawa 600–700 orang dengan bobot mati 1200–1400 ton, dan memiliki LOD (panjang dek) sekitar 69,26–72,55 m dan LOA (panjang keseluruhan) sekitar 76,18–79,81 m. Yang terbesar, membawa 1000 orang dengan bobot mati 2000 ton, adalah sekitar 80,51 m LOD-nya dan 88,56 m LOA-nya.[84] Jong dibangun terutama di dua pusat pembuatan kapal utama di sekitar Jawa: Di pantai utara Jawa, di sekitar Cirebon dan Rembang-Demak (di selat Muria yang memisahkan gunung Muria dengan pulau Jawa), dan juga di pesisir Selatan Kalimantan, terutama di Banjarmasin dan pulau-pulau sekitarnya.[85]:377 Tempat ini sama-sama memiliki hutan jati, tetapi galangan kapal di Kalimantan tetap mendatangkan kayu jati dari Jawa, sedangkan Kalimantan sendiri menjadi pemasok kayu ulin.[86]:132 Pegu (sekarang Bago), yang merupakan pelabuhan besar pada abad ke-16, juga memproduksi jong, oleh orang Jawa yang menetap di sana.[87]:250

Takjub akan kemampuan mereka, Albuquerque mempekerjakan 60 tukang kayu dan arsitek kapal Jawa dari galangan kapal Malaka dan mengirimnya ke India, dengan harapan bahwa para pengrajin ini dapat memperbaiki kapal-kapal Portugis di India. Akan tetapi mereka tidak pernah sampai di India, mereka memberontak dan membawa kapal Portugis yang mereka tumpangi ke Pasai, di mana mereka disambut dengan luar biasa.[88]:102-103 Orang Belanda juga menyadari kemahiran orang Jawa dalam pembuatan kapal, pada abad ke-18 galangan-galangan kapal di Amsterdam mempekerjakan orang Jawa sebagai mandor.[89]:202 Pembuatan kapal di Jawa terhambat ketika VOC memperoleh pijakan di Jawa mulai awal abad ke-17. Namun, pada abad ke-18 daerah pembuatan kapal Jawa (khususnya Rembang dan Juwana) telah mulai membangun kapal besar bergaya Eropa (jenis bark dan brigantine),[70]:20 kapal-kapal jenis ini bisa mencapai 400–600 ton muatannya, dengan rata-rata sebesar 92 last (165.6–184 ton metrik).[90] Pada 1856, John Crawfurd mencatat bahwa aktivitas pembuatan kapal Jawa masih ada pada pesisir Utara Jawa, dengan galangan kapal yang diawasi oleh orang Eropa, namun semua pekerjanya orang Jawa. Kapal-kapal yang dibuat pada abad ke-19 memiliki tonase maksimum 50 ton dan digunakan untuk pengangkutan di sungai.[91]:95

Pandai besi

Pandai besi secara tradisional dihargai. Beberapa pandai besi berpuasa dan bermeditasi untuk mencapai kesempurnaan. Pandai besi Jawa menciptakan berbagai alat dan peralatan pertanian, dan juga barang-barang budaya seperti instrumen gamelan dan keris.[36] Seni membuat keris memberikan keterampilan teknis yang diterapkan pada pembuatan meriam. Meriam dan senjata api membutuhkan keahlian khusus dan mungkin dibuat oleh orang-orang yang sama. Kekuatan spiritual pandai besi dikatakan dipindahkan ke meriam yang mereka buat.[85]:384 Meriam galah (bedil tombak) tercatat digunakan oleh orang Jawa di Indonesia pada tahun 1413.[92][93]

Duarte Barbosa sekitar tahun 1514 mengatakan bahwa penduduk Jawa sangat ahli dalam membuat artileri dan merupakan penembak artileri yang baik. Mereka membuat banyak meriam 1 pon (cetbang atau rentaka), senapan lontak panjang, spingarde (arquebus), schioppi (meriam tangan), api Yunani, gun (bedil besar atau meriam), dan senjata api atau kembang api lainnya. Setiap tempat di sana dianggap sangat baik dalam mencetak/mengecor artileri, dan juga dalam ilmu penggunaanya.[65]:198[67]:254[94]:224 Pada tahun 1513, armada Jawa yang dipimpin oleh Pati Unus, berlayar untuk menyerang Melaka Portugis "dengan banyak artileri yang dibuat di Jawa, karena orang Jawa terampil dalam perpandaian besi dan pengecoran, dan dalam semua pekerjaan dengan besi, melebihi apa yang mereka miliki di India".[95]:162[96]:23

Zhang Xie dalam Dong Xi Yang Kao (1618) menyebutkan bahwa kota Palembang, yang telah ditaklukkan oleh orang Jawa, menghasilkan minyak api ganas (ming huo yu), yang menurut Hua I Kao adalah sejenis getah pohon (shu chin), dan juga disebut minyak lumpur (ni yu). Zhang Xie menulis:[97]:88

Benda ini sangat mirip dengan kapur barus, dan dapat merusak daging manusia. Ketika dinyalakan dan dilemparkan ke air, cahaya dan apinya menjadi lebih kuat. Orang barbar menggunakannya sebagai senjata api dan menghasilkan kebakaran hebat di mana layar, benteng, bagian atas, dan dayung semuanya terbakar dan tidak dapat menahannya. Ikan dan kura-kura yang bersentuhan dengannya tidak bisa lepas dari kehangusan.

Karena tidak disebutkan pompa penyembur, senjata itu mungkin adalah botol yang bisa pecah dengan sumbu.[97]:88

Pisau keris adalah barang penting, dengan banyak keris pusaka yang memiliki nilai sejarah signifikan. Desain keris adalah untuk merobek perut lawan, membuat cedera lebih parah.

Kota Gede terkenal dengan kerajinan perak dan kerajinan tangan yang berbahan perak.[98]

Orang Jawa membuat beberapa jenis baju zirah seperti karambalangan, kawaca, siping-siping, dan waju rante. Mereka juga membuat helm baja yang disebut rukuh. Baju zirah mungkin hanya digunakan oleh prajurit berpangkat tinggi dan pasukan terlatih/bergaji, dengan tentara permanen (standing army) yang digaji sebanyak 30.000 orang sudah ada pada era Singhasari dan Majapahit (1222 hingga 1527 M), pertama kali disebutkan dalam catatan Tiongkok Zhu Fan Zhi tahun 1225 M. Sebagian tentara Jawa biasanya terdiri dari petani pungutan yang bertempur dengan telanjang dada.[58]:320-321[99]:75-80[100]:111–113[101]:467[102]

Pembuatan Batik

Batik tradisional dibuat oleh perempuan sebagai hobi, tetapi beberapa kota dan desa memiliki spesialisasi dalam pembuatan batik, seperti Pekalongan, Kauman, Kampung Taman, dan Laweyan.

Ukiran kayu

Seni ukir kayu Jawa secara tradisional diterapkan pada berbagai atribut budaya seperti patung, boneka (wayang), dan topeng. Ukiran kayu juga menonjol sebagai ornamen dan detail rumah. Omah Kudus yang diukir dengan rumit adalah contoh bagus penguasaan ukiran kayu Jawa. Kota Jepara Jawa Tengah terkenal sebagai pusat lokakarya ukiran kayu Jawa, di mana para seniman dan tukang kayu secara khusus mengolah kayu jati Jawa.[103]

Tokoh-tokoh Jawa

Lihat pula

Referensi

  1. ^ Naim, Akhsan; Syaputra, Hendry (2011). Kewarganegaraan, Suku Bangsa, Agama, dan Bahasa Sehari-Hari Penduduk Indonesia: Hasil Sensus Penduduk 2010. Jakarta: Badan Pusat Statistik. hlm. 34–38. ISBN 9789790644175. 
  2. ^ Joshua Project. "Javanese, Orang Jawa in Malaysia". joshuaproject.net. Diakses tanggal 16 Oktober 2021. 
  3. ^ "Suriname". The World Factbook. Central Intelligence Agency. 18 December 2019. Diakses tanggal 16 Oktober 2021. 
  4. ^ Oudhof, Ko; Harmsen, Carel; Loozen, Suzanne; Choenn, Chan (2011). Omvang en spreiding van Surinaamse bevolkingsgroepen in Nederland (PDF) (dalam bahasa Belanda). Centraal Bureau voor de Statistiek Nederland. hlm. 103. 
  5. ^ "Javanese language". britannica.com. Encyclopedia Britannica. 2010. Diakses tanggal 17 March 2021. 
  6. ^ Thornton, David Leonard (1972). Javanization of Indonesian politics (Tesis). The University of British Columbia. doi:10.14288/1.0101705. https://circle.ubc.ca/handle/2429/33606. Diakses pada 7 November 2013. 
  7. ^ Indonesia's Population: Ethnicity and Religion in a Changing Political Landscape. Institute of Southeast Asian Studies. 2003. 
  8. ^ Margaret Kleffner Nydell Understanding Arabs: A Guide For Modern Times, Intercultural Press, 2005, ISBN 1931930252, hlm. xxiii, 14
  9. ^ sekitar 152 juta umat Muslim Bengali di Bangladesh dan 36,4 juta umat Muslim Bengali di Republik India (perkiraan CIA Factbook 2014, angka pada pertumbuhan populasi yang pesat); sekitar 10 juta orang Bangladesh di Timur Tengah, 1 juta orang Bengali di Pakistan, 5 juta orang Bangladesh-Inggris.
  10. ^ Gandhi, Rajmohan (2013). Punjab: A History from Aurangzeb to Mountbatten. New Delhi, India, Urbana, Illinois: Aleph Book Company. hlm. 1. ISBN 978-93-83064-41-0. 
  11. ^ https://ilmugeografi.com/ilmu-sosial/suku-bangsa-di-pulau-jawa
  12. ^ a b Spiller, Henry (2008). Gamelan music of Indonesia. Taylor & Francis. ISBN 978-0-415-96067-0. 
  13. ^ Taylor (2003), hlm. 7.
  14. ^ "Pemetaan Genetika Manusia Indonesia". Kompas.com (dalam bahasa Indonesian). Diarsipkan dari versi asli tanggal 23 Februari 2016. Diakses tanggal 5 September 2017. 
  15. ^ Miksic, John; Marcello Tranchini; Anita Tranchini (1996). Borobudur: Golden Tales of the Buddhas. Tuttle Publishing. ISBN 978-0-945971-90-0. 
  16. ^ Tarling, Nicholas (1999). Cambridge history of South East Asia: From early times to c.1500. Cambridge University Press. hlm. 203. ISBN 978-0-521-66369-4. 
  17. ^ a b c Spuler, Bertold; F.R.C. Bagley (31 Desember 1981). The Muslim world: a historical survey, Part 4. Brill Archive. hlm. 252. ISBN 978-90-04-06196-5. 
  18. ^ a b Capaldi, Liz; Joshua Eliot (2000). Bali handbook with Lombok and the Eastern Isles: the travel guide. Footprint Travel Guides. ISBN 978-0-658-01454-3. 
  19. ^ Marshall Cavendish Corporation (2007). World and Its Peoples: Indonesia and East Timor. Marshall Cavendish. hlm. 1333. ISBN 978-0-7614-7643-6. 
  20. ^ Wink, André (2004). Indo-Islamic society, 14th-15th centuries. BRILL. hlm. 217. ISBN 978-90-0413561-1. 
  21. ^ Ricklefs, M.C. (1991). A History of Modern Indonesia since c.1300, 2nd Edition. London: MacMillan. hlm. 9–10. ISBN 0-333-57689-6. 
  22. ^ Muljana, Slamet (2005). Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di Nusantara. Yogyakarta, Indonesia: LKiS. ISBN 979-8451-16-3. 
  23. ^ a b Pires, Tomé (1990). The Suma oriental of Tome Pires: an account of the East. New Delhi: Asian Educational Services. ISBN 81-206-0535-7. 
  24. ^ "Keris Indonesia". Direktorat Jenderal Kebudayaan Republik Indonesia. 17 Desember 2015. Diakses tanggal 1 Juli 2020. 
  25. ^ "Ketika Bule Selandia Baru Unjuk Kebolehan Beratraksi Gamelan Jawa". detikcom. 4 November 2013. Diakses tanggal 1 Juli 2020. 
  26. ^ Revianur, Aditya (5 Desember 2012). Wahono, Tri, ed. "Majapahit Jajah hingga Semenanjung Malaya". Kompas.com. Diakses tanggal 1 Juli 2020. 
  27. ^ Marr, David G.; Anthony Crothers Milner (1986). Southeast Asia in the 9th to 14th centuries. Institute of Southeast Asian Studies. ISBN 978-9971-988-39-5. 
  28. ^ Suwadji (2013). Ngoko Krama. Yogyakarta: Balai Bahasa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. ISBN 9786027777620. OCLC 890814963. 
  29. ^ Behrend 1996, hlm. 161.
  30. ^ Everson 2008, hlm. 1.
  31. ^ Soeseno, Ki Nardjoko (2014). Falsafah Jawa Soeharto & Jokowi. Araska. ISBN 978-602-7733-82-4. 
  32. ^ McDonald, Hamish (1980). Suharto's Indonesia. Melbourne: Fontana. hlm. 9–10. ISBN 0-00-635721-0. 
  33. ^ Dwi Royanto (24 Juni 2014). "Kenaikan Jumlah Pemudik Asal Jateng Tahun Ini Paling Tinggi". VIVA.co.id. Diakses tanggal 1 Juli 2020. 
  34. ^ "27,9 juta penduduk akan melakukan mudik lebaran 2014". Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Republik Indonesia. 14 Mei 2014. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2015-01-05. Diakses tanggal 1 Juli 2020. 
  35. ^ a b Gérard, Françoise; François Ruf (2001). Agriculture in crisis: people, commodities and natural resources in Indonesia, 1996-2000. Routledge. hlm. 301. ISBN 978-0-7007-1465-0. 
  36. ^ a b Dunham, Stanley Ann; Alice G. Dewey (2009). Surviving Against the Odds: Village Industry in Indonesia. Duke University Press. hlm. 50. ISBN 978-0-8223-4687-6. 
  37. ^ a b Dick-Read, Robert (2005). The Phantom Voyagers: Evidence of Indonesian Settlement in Africa in Ancient Times. Thurlton. 
  38. ^ Beale, Philip (April 2006). "From Indonesia to Africa: Borobudur Ship Expedition". Ziff Journal: 22 – via http://www.swahiliweb.net/ziff_journal_3_files/ziff2006-04.pdf. 
  39. ^ a b Dick-Read, Robert (Juli 2006). "Indonesia and Africa: questioning the origins of some of Africa's most famous icons". The Journal for Transdisciplinary Research in Southern Africa. 2 (1): 23–45. doi:10.4102/td.v2i1.307 . 
  40. ^ Blench, “The Ethnographic Evidence for Long-distance Contacts”, p. 432.
  41. ^ I. W. Ardika & P. Bellwood, “Sembiran: The Beginnings of Indian Contact with Bali”, Antiquity 65 (1991): 221–32. See also I. W. Ardika, P. Bellwood, I. M. Sutaba & K. C. Yuliati, “Sembiran and the First Indian Contacts with Bali: An Update”, Antiquity 71(1997): 193–95.
  42. ^ Tōyō Bunko (Japan) (1972). Memoirs of the Research Department. hlm. 6. Tōyō Bunko (Japan) (1972). Memoirs of the Research Department of the Toyo Bunko (the Oriental Library). Toyo Bunko. hlm. 6. 
  43. ^ Proceedings of the Symposium on 100 Years Development of Krakatau and Its Surroundings, Jakarta, 23-27 August 1983. Indonesian Institute of Sciences. 1985. hlm. 8. 
  44. ^ Greater India Society (1934). Journal. hlm. 69. 
  45. ^ Ralph Bernard Smith (1979). Early South East Asia: essays in archaeology, history, and historical geography. Oxford University Press. hlm. 447. 
  46. ^ Charles Alfred Fisher (1964). South-east Asia: a social, economic, and political geography. Methuen. hlm. 108. 
  47. ^ Ronald Duane Renard; Mahāwitthayālai Phāyap (1986). Anuson Walter Vella. Walter F. Vella Fund, Payap University. University of Hawaii at Manoa. Center for Asian and Pacific Studies. hlm. 121. 
  48. ^ Bulletin de l'École française d'Extrême-Orient. L'Ecole. 1941. hlm. 263. 
  49. ^ Daniel George Edward Hall; Phút Tấn Nguyễn (1968). Đông Nam Á sử lược. Pacific Northwest Trading Company. hlm. 136. 
  50. ^ Nastiti (2003), in Ani Triastanti, 2007, p. 39.
  51. ^ Nastiti (2003), in Ani Triastanti, 2007, p. 34.
  52. ^ Nugroho (2011). p. 39.
  53. ^ Nugroho (2011). p. 73.
  54. ^ Kartikaningsih (1992). p. 42, in Ani Triastanti (2007), p. 34.
  55. ^ de Eredia (1613). p. 63.
  56. ^ de Eredia (1613). p. 262.
  57. ^ a b c Kumar, Ann (2012). 'Dominion Over Palm and Pine: Early Indonesia’s Maritime Reach', dalam Geoff Wade (ed.), Anthony Reid and the Study of the Southeast Asian Past (Singapore: Institute of Southeast Asian Studies), 101–122.
  58. ^ a b c d e f Nugroho, Irawan Djoko (2011). Majapahit Peradaban Maritim. Suluh Nuswantara Bakti. ISBN 978-602-9346-00-8. 
  59. ^ Maziyah, Siti (2022). "Analysing the Presence of Enslaved Black People in Ancient Java Society". Journal of Maritime Studies and National Integration. 6 (1): 62–69. doi:10.14710/jmsni.v6i1.14010. ISSN 2579-9215. 
  60. ^ Jákl, Jiří (2017). "Black Africans on the maritime silk route". Indonesia and the Malay World. 45 (133): 334–351. doi:10.1080/13639811.2017.1344050. ISSN 1363-9811. 
  61. ^ Shu, Yuan, ed. (2017). 中国与南海周边关系史 (History of China's Relations with the South China Sea). Beijing Book Co. Inc. ISBN 9787226051870. 一、药材:胡椒、空青、荜拨、番木鳖子、芦荟、闷虫药、没药、荜澄茄、血竭、苏木、大枫子、乌爹泥、金刚子、番红土、肉豆蔻、白豆蔻、藤竭、碗石、黄蜡、阿魏。二、香料:降香、奇南香、檀香、麻滕香、速香、龙脑香、木香、乳香、蔷薇露、黄熟香、安息香、乌香、丁皮(香)。三、珍宝:黄金、宝石、犀角、珍珠、珊瑙、象牙、龟筒、 孔雀尾、翠毛、珊瑚。四、动物:马、西马、红鹦鹉、白鹦鹉、绿鹦鹉、火鸡、白 鹿、白鹤、象、白猴、犀、神鹿(摸)、鹤顶(鸟)、五色鹦鹉、奥里羔兽。五、金 属制品:西洋铁、铁枪、锡、折铁刀、铜鼓。六、布匹:布、油红布、绞布。[4]此 外,爪哇还向明朝输入黑奴、叭喇唬船、爪哇铣、硫黄、瓷釉颜料等。爪哇朝贡贸易 输人物资不仅种类多,而且数虽可观,如洪武十五年(1382年)一次进贡的胡椒就达 七万五千斤。[5]而民间贸易显更大,据葡商Francisco de Sa记载:“万丹、雅加达等港 口每年自漳州有帆船20艘驶来装载3万奎塔尔(quiutai)的胡椒。"1奎塔尔约合59 公斤则当年从爪哇输入中国胡椒达177万公斤。 
  62. ^ Kusuma, Pradiptajati; Brucato, Nicolas; Cox, Murray P.; Pierron, Denis; Razafindrazaka, Harilanto; Adelaar, Alexander; Sudoyo, Herawati; Letellier, Thierry; Ricaut, François-Xavier (2016-05-18). "Contrasting Linguistic and Genetic Origins of the Asian Source Populations of Malagasy". Scientific Reports. 6 (1). doi:10.1038/srep26066. ISSN 2045-2322. 
  63. ^ Murray P. Cox; Michael G. Nelson; Meryanne K. Tumonggor; François-X. Ricaut; Herawati Sudoyo (2012). "A small cohort of Island Southeast Asian women founded Madagascar". Proceedings of the Royal Society B. 279 (1739): 2761–8. doi:10.1098/rspb.2012.0012. PMC 3367776 . PMID 22438500. 
  64. ^ Adelaar, K.A. (2006). The Indonesian migrations to Madagascar: Making sense of the multidisciplinary evidence (PDF). in Adelaar, Austronesian diaspora and the ethnogenesis of people in Indonesian Archipelago, LIPI PRESS. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2009-11-22. Diakses tanggal 2008-05-19. 
  65. ^ a b Stanley, Henry Edward John (1866). A Description of the Coast of East Africa and Malabar in the Beginning of the Sixteenth Century by Duarte Barbosa. The Hakluyt Society.
  66. ^ Manguin, Pierre-Yves (1993). 'The Vanishing Jong: Insular Southeast Asian Fleets in Trade and War (Fifteenth to Seventeenth Centuries)', dalam Anthony Reid (ed.), Southeast Asia in the Early Modern Era (Ithaca: Cornell University Press), hlm. 197-213.
  67. ^ a b c Jones, John Winter (1863). The travels of Ludovico di Varthema in Egypt, Syria, Arabia Deserta and Arabia Felix, in Persia, India, and Ethiopia, A.D. 1503 to 1508. Hakluyt Society. 
  68. ^ Carta IX, 1 April 1512. Dalam Pato, Raymundo Antonio de Bulhão (1884). Cartas de Affonso de Albuquerque, Seguidas de Documentos que as Elucidam tomo I (pp. 29–65). Lisboa: Typographia da Academia Real das Sciencas. hlm. 64.
  69. ^ a b Olshin, Benjamin B. (1996). "A sixteenth century Portuguese report concerning an early Javanese world map". História, Ciências, Saúde-Manguinhos. 2 (3): 97–104. doi:10.1590/s0104-59701996000400005. ISSN 0104-5970. Diarsipkan dari versi asli tanggal 19 Oktober 2023. 
  70. ^ a b c Liebner, Horst H. (2005), "Perahu-Perahu Tradisional Nusantara: Suatu Tinjauan Perkapalan dan Pelayaran", dalam Edi, Sedyawati, Eksplorasi Sumberdaya Budaya Maritim, Jakarta: Pusat Riset Wilayah Laut dan Sumber Daya Nonhayati, Badan Riset Kelautan dan Perikanan; Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya, Universitas Indonesia, hlm. 53–124 
  71. ^ Suarez, Thomas (2012). Early Mapping of Southeast Asia: The Epic Story of Seafarers, Adventurers, and Cartographers Who First Mapped the Regions Between China and India. Tuttle Publishing.
  72. ^ Cortesão, Armando (1944). The Suma oriental of Tomé Pires : an account of the East, from the Red Sea to Japan, written in Malacca and India in 1512-1515 ; and, the book of Francisco Rodrigues, rutter of a voyage in the Red Sea, nautical rules, almanack and maps, written and drawn in the East before 1515 volume I. London: The Hakluyt Society. ISBN 9784000085052.    Artikel ini memuat teks dari sumber tersebut, yang berada dalam ranah publik.
  73. ^ "Teknologi Era Majapahit". Nusantara Review (dalam bahasa Inggris). 2 Oktober 2018. Diakses tanggal 11 Juni 2020. 
  74. ^ Couto, Diogo do (1645). Da Ásia: Década Quarta. Lisbon: Regia Officina Typografica, 1778-1788. Reprint, Lisbon, 1974. Década IV, part iii, p. 169.
  75. ^ Reid, Anthony (2000). Charting the Shape of Early Modern Southeast Asia. Silkworm Books. ISBN 9747551063. 
  76. ^ Ricklefs, Merle Calvin (2008). A History of Modern Indonesia Since c. 1200 Fourth Edition (E-Book version). New York: Palgrave Macmillan. hlm. 100—101 dan 117. ISBN 9780230546851. 
  77. ^ Manguin, Pierre-Yves (September 1980). "The Southeast Asian Ship: An Historical Approach". Journal of Southeast Asian Studies. 11: 266–276. 
  78. ^ Manguin, Pierre-Yves (1993). Trading Ships of the South China Sea. Journal of the Economic and Social History of the Orient. 36 (3): 253-280.
  79. ^ Christie, Anthony (1957). "An Obscure Passage from the "Periplus: ΚΟΛΑΝΔΙΟϕΩΝΤΑ ΤΑ ΜΕΓΙΣΤΑ"". Bulletin of the School of Oriental and African Studies, University of London. 19: 345–353. 
  80. ^ Hornell, James (1946). Water Transport: Origins & Early Evolution. Newton Abbot: David & Charles. OCLC 250356881. 
  81. ^ Dick-Read, Robert (2005). The Phantom Voyagers: Evidence of Indonesian Settlement in Africa in Ancient Times. Thurlton. 
  82. ^ Dick-Read, Robert (2008). Penjelajah Bahari: Pengaruh Peradaban Nusantara di Afrika. PT Mizan Publika. ISBN 9789794335062. 
  83. ^ Reid, Anthony (2000). Charting the Shape of Early Modern Southeast Asia. Silkworm Books. ISBN 9747551063. 
  84. ^ Averoes, Muhammad (2022). "Re-Estimating the Size of Javanese Jong Ship". HISTORIA: Jurnal Pendidik dan Peneliti Sejarah. 5 (1): 57–64. 
  85. ^ a b Tarling, Nicholas (1992). The Cambridge History of Southeast Asia: Volume 1, From Early Times to C.1800. Cambridge University Press. ISBN 9780521355056. 
  86. ^ Rouffaer, G.P. (1915). De eerste schipvaart der Nederlanders naar Oost-Indië onder Cornelis de Houtman Vol. I. Den Haag: 'S-Gravenhage M. Nijhoff. 
  87. ^ Cortesão, Armando (1944). The Suma oriental of Tomé Pires : an account of the East, from the Red Sea to Japan, written in Malacca and India in 1512-1515 ; and, the book of Francisco Rodrigues, rutter of a voyage in the Red Sea, nautical rules, almanack and maps, written and drawn in the East before 1515 volume II. London: The Hakluyt Society.    Artikel ini memuat teks dari sumber tersebut, yang berada dalam ranah publik.
  88. ^ Reid, Anthony (1988). Southeast Asia in the Age of Commerce, 1450-1680. Volume One: The Lands Below the Winds. Yale University Press. ISBN 9780300039214. 
  89. ^ Unger, Richard W. (2013). "Chapter Five: The Technology and Teaching of Shipbuilding 1300-1800". Technology, Skills and the Pre-Modern Economy in the East and the West. BRILL. ISBN 9789004251571. 
  90. ^ Lee, Kam Hing (1986): 'The Shipping Lists of Dutch Melaka: A Source for the Study of Coastal Trade and Shipping in the Malay Peninsula During the 17th and 18th Centuries', in Mohd. Y. Hashim (ed.), Ships and Sunken Treasure (Kuala Lumpur: Persatuan Muzium Malaysia), 53-76.
  91. ^ Lombard, Denys (2005). Nusa Jawa: Silang Budaya, Bagian 2: Jaringan Asia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Alih bahasa Indonesia dari Lombard, Denys (1990). Le carrefour javanais. Essai d'histoire globale (The Javanese Crossroads: Towards a Global History) vol. 2. Paris: Éditions de l'École des Hautes Études en Sciences Sociales.
  92. ^ Mayers (1876). "Chinese explorations of the Indian Ocean during the fifteenth century". The China Review. IV: p. 178.
  93. ^ Manguin, Pierre-Yves (1976). "L'Artillerie legere nousantarienne: A propos de six canons conserves dans des collections portugaises". Arts Asiatiques. 32: 233–268. 
  94. ^ Partington, J. R. (1999). A History of Greek Fire and Gunpowder (dalam bahasa Inggris). JHU Press. ISBN 978-0-8018-5954-0. 
  95. ^ Manguin, Pierre-Yves (2012). Lancaran, Ghurab and Ghali. In G. Wade & L. Tana (Eds.), Anthony Reid and the Study of the Southeast Asian Past (pp. 146–182). Singapore: ISEAS Publishing.
  96. ^ Crawfurd, John (1856). A Descriptive Dictionary of the Indian Islands and Adjacent Countries. Bradbury and Evans. 
  97. ^ a b Needham, Joseph (1986). Science and Civilisation in China, Volume 5: Chemistry and Chemical Technology, Part 7, Military Technology: The Gunpowder Epic. Cambridge: Cambridge University Press. 
  98. ^ Tadié, J; Guillaud, Dominique (ed.); Seysset, M. (ed.); Walter, Annie (ed.) (1998), Kota Gede : le devenir identitaire d'un quartier périphérique historique de Yogyakarta (Indonésie); Le voyage inachevé... à Joël Bonnemaison, ORSTOM, diakses tanggal 20 April 2012 
  99. ^ Jákl, Jiří (2014). Literary Representations of War and Warfare in Old Javanese Kakawin Poetry (Tesis). The University of Queensland. 
  100. ^ Oktorino, Nino (2020). Hikayat Majapahit - Kebangkitan dan Keruntuhan Kerajaan Terbesar di Nusantara. Jakarta: Elex Media Komputindo. ISBN 978-623-00-1741-4. 
  101. ^ Miksic, John N.; Goh, Geok Yian (2017). Ancient Southeast Asia. London: Routledge. 
  102. ^ Yang, Shao-yun (15 June 2020). "A Chinese Gazetteer of Foreign Lands: A new translation of Part 1 of the Zhufan zhi 諸蕃志 (1225)". Storymaps. Diakses tanggal 19 October 2023. 
  103. ^ "In a Central Java town, local wood enterprises carve a niche in the global market - CIFOR Forests News". CIFOR Forests News (dalam bahasa Inggris). 6 Maret 2018. Diakses tanggal 1 Juni 2018. 

Kepustakaan

  • Behrend, T E (1996). "Textual Gateways: the Javanese Manuscript Tradition". Dalam Ann Kumar; John H. McGlynn. Illuminations: The Writing Traditions of Indonesia (dalam bahasa Inggris). Jakarta: Lontar Foundation. ISBN 0834803496. 
  • Everson, Michael (6 Maret 2008). "Proposal for encoding the Javanese script in the UCS" (PDF). ISO/IEC JTC1/SC2/WG2. Unicode (N3319R3). 
  • Caldarola, Carlo (1982), Religion and Societies: Asia and the Middle East (dalam bahasa Inggris), Walter de Gruyter 
  • Gin, Ooi Keat (2004), Southeast Asia: A Historical Encyclopedia, from Angkor Wat to Timor. R-Z. Volume three (dalam bahasa Inggris), ABC-CLIO 
  • Hooker, M.B. (1988), Islam in South East Asia (dalam bahasa Inggris), Brill 

Bacaan lanjutan

  • Clifford Geertz.1960. The religion of Java. Glencoe: The Free press of Glencoe
  • Kuncaraningrat Raden Mas; Southeast Asian Studies Program (Institute of Southeast Asian Studies) (1985), Javanese culture, Oxford University Press, ISBN 978-0-19-582542-8 
  • Nugroho, Irawan Djoko (2011). Majapahit Peradaban Maritim. Suluh Nuswantara Bakti. ISBN 978-602-9346-00-8.
  • Triastanti, Ani. Perdagangan Internasional pada Masa Jawa Kuno; Tinjauan Terhadap Data Tertulis Abad X-XII. Skripsi Fakultas Ilmu Budaya. Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 2007.

Pranala luar

</noinclude>