Reformasi agraria
Reformasi agraria adalah suatu istilah yang dapat merujuk kepada dua hal. Secara sempit istilah tersebut merujuk pada distribusi ulang lahan pertanian atas prakarsa atau dukungan pemerintah (lihat reformasi pertanahan (land reform)); sedangkan secara luas istilah tersebut merujuk pada peralihan sistem agraria suatu negara secara keseluruhan, yang sering kali juga meliputi reformasi pertanahan. Reformasi agraria dapat mencakup kebijakan dalam bidang kredit, pelatihan, penyuluhan, penyatuan tanah, dll. Bank Dunia mengevaluasi reformasi agraria menggunakan lima dimensi: (1) harga dan liberalisasi pasar, (2) reformasi pertanahan (termasuk pengembangan pasar pertanahan), (3) saluran pasokan atas pengolahan hasil dan input pertanian, (4) keuangan pedesaan, (5) institusi pasar.[1]
Definisi perbedaan antara reformasi agraria dan reformasi pertanahan adalah sebagai berikut:
Reformasi pertanahan ... adalah berkaitan dengan hak-hak atas tanah, serta sifat, kekuatan dan distribusinya, sementara ... [reformasi agraria] tidak hanya berfokus pada hal-hal tersebut, tetapi juga satu lingkup permasalahan yang lebih luas lagi: karakter kelas dalam hubungan-hubungan produksi dan distribusi dalam pertanian dan usaha-usaha terkait, serta bagaimana hubungannya dengan struktur kelas secara keseluruhan. Dengan demikian, ia berkaitan dengan kekuatan ekonomi dan politik serta hubungan antar keduanya...[2]
Dalam pengertian yang hampir sama, laporan Bank Dunia 2003 menyatakan:
... Suatu prasyarat utama agar reformasi pertanahan menjadi layak dan efektif dalam meningkatkan mata pencaharian para penerima manfaatnya ialah bahwa program-program tersebut sesuai dengan kebijakan yang lebih luas, yang ditujukan untuk mengurangi kemiskinan dan membangun lingkungan yang kondusif untuk pengembangan pertanian rakyat yang produktif oleh para penerima manfaat tersebut.[3]
Contoh mengenai permasalah lainnya, antara lain ialah mengenai "kepastian penguasaan lahan" bagi "buruh tani, buruh penyewa, ... penghuni lahan ... [dan] petani penyewa", yang dapat membuat para pekerja dan penyewa ini memiliki prospek yang lebih baik untuk dapat memperoleh kredit dari sektor swasta;[4] "layanan infrastruktur dan pendukungnya";[5] dukungan pemerintah atas "bentuk-bentuk usaha pedesaan" yang bersifat "pelengkap" untuk pertanian;[6] serta peningkatan partisipasi masyarakat dalam penetapan keputusan-keputusan pemerintah di wilayah pedesaan.[6]
Lihat pula
suntingReferensi
sunting- ^ Csaba Csaki and John Nash, The Agrarian Economies of Central and Eastern Europe and the Commonwealth of Independent States, World Bank Discussion Paper 387, Washington, DC, 1998.
- ^ Ben Cousins, Agrarian reform and the 'two economies': transforming South Africa's countryside, draft of Chapter 9 in Ruth Hall and Lungisile Ntsebeza, eds., The Land Question in South Africa: The Challenge of Transformation and Redistribution, HSRC Press, Cape Town, South Africa (2007).
- ^ World Bank, Land Policies for Growth and Poverty Reduction, World Bank and Oxford University Press, 2003. Quoted in Cousins, op. cit., p. 11.
- ^ Cousins, op. cit., p.4–5, 7, 10–11
- ^ Cousins, op. cit., p.12
- ^ a b Cousins, op. cit., p.14
Pranala luar
sunting- Global Food Security Threatened by Corporate Land Grabs in Poor Countries - laporan video oleh Democracy Now!
- Springer, S. 2012. "Illegal evictions? Overwriting possession and orality with law’s violence in Cambodia." Journal of Agrarian Change.