Peristiwa Asama-Sansō

Peristiwa Asama-Sansō (あさま山荘事件, Asama-sansō jiken) adalah peristiwa penyanderaan di Karuizawa, Nagano, Prefektur Nagano, Jepang dari 19 Februari hingga 28 Februari 1972. Kesatuan polisi huru-hara mengepung sebuah rumah peristirahatan tempat disanderanya istri seorang pengelola penginapan di kaki Gunung Asama. Operasi pembebasan sandera dijadikan tayangan langsung oleh jaringan televisi Jepang. Tayangan langsung berdurasi 19 jam 40 menit ini merupakan siaran langsung secara maraton yang pertama kalinya di Jepang.

Peristiwa Asama-Sansō
Tanggal19-28 Februari 1972
LokasiKaruizawa, Prefektur Nagano, Jepang
Peserta/Pihak terlibatSerikat Tentara Merah,
Badan Kepolisian Nasional
Hasil2 anggota polisi dan 1 warga sipil tewas,
5 anggota Serikat Tentara Merah ditangkap,
1 sandera dibebaskan.

Peristiwa dimulai setelah lima orang bersenjata dari Serikat Tentara Merah menduduki sebuah vila penginapan di kaki Gunung Asama. Sebelum terjadinya peristiwa penyanderaan, kelompok Serikat Tentara Merah melakukan latihan di kamp terpencil sambil melakukan pembersihan di kalangan anggota sendiri yang dianggap tidak setia hingga berakibat pada tewasnya 14 anggota kelompok dan 1 orang saksi warga sipil. Kelompok penyandera terus berada dalam pengepungan oleh polisi selama 10 hari. Bangunan vila yang dijadikan lokasi penyanderaan bagaikan sebuah benteng. Dinding-dinding tebal dari beton dengan hanya satu jalan masuk, ditambah lokasi bangunan di kaki bukit yang terjal membuat pihak kepolisian hanya dapat melakukan pengepungan dari jarak jauh.

Pada hari terakhir penyanderaan, 28 Februari 1972, polisi melakukan penyerbuan untuk menyelamatkan sandera. Semua penyandera ditangkap dan sandera berhasil diselamatkan, namun dua anggota polisi tewas. Peristiwa ini akhirnya ikut menurunkan kepopuleran gerakan kiri di Jepang.

Latar belakang

sunting

Pada tahun 1960-an, gerakan mahasiswa kiri sangat populer di perguruan tinggi di Jepang. Gerakan mahasiswa kiri berpuncak pada haluan mereka yang makin keras, makin terfaksi, dan saling bersaing pada akhir tahun 1960-an. Setelah serangkaian insiden bentrokan antara kelompok-kelompok mahasiswa kiri yang berakhir dengan luka atau tewasnya anggota kepolisian dan warga sipil, Badan Kepolisian Nasional Jepang mulai melakukan penumpasan kelompok-kelompok mahasiswa kiri, persembunyian mereka diserbu, dan puluhan mahasiswa radikal ditangkap antara tahun 1971 dan 1972. Dalam usaha melarikan diri dari penangkapan, anggota radikal kelompok inti Serikat Tentara Merah (United Red Army, disingkat URA) sepanjang musim dingin 1972 mengundurkan diri ke kamp di lokasi terpencil di Prefektur Gunma.[1]

Pada minggu kedua Februari 1972, di bangunan yang dijadikan kamp latihan mereka, Ketua Serikat Tentara Merah Tsuneo Mori dan Wakil Ketua Hiroko Nagata (kadang-kadang disebut Yoko Nagata) memulai pembersihan terhadap anggota kelompoknya sendiri. Dalam pembersihan tersebut, Nagata dan Mori memerintahkan anggota mereka untuk memukuli satu per satu hingga mati, 8 anggota dan 1 orang nonanggota yang kebetulan ikut bersama kelompok. Enam anggota lain diikat di pohon di luar bangunan kamp hingga tewas kedinginan akibat udara musim dingin gunung yang membekukan. Pada tanggal 16 Februari, polisi menangkap Mori, Nagata dan 6 anggota kelompok radikal ketika sedang berada di bangunan kamp atau di desa yang berdekatan. Lima anggota lainnya yang bersenjata lengkap—membawa senapan dan senapan patah—melarikan diri lewat jalan setapak melintasi pegunungan hingga sampai ke Karuizawa di Prefektur Nagano yang bertetangga. Kelima mahasiswa radikal tersebut bernama Kunio Bando (25 tahun), lulusan Universitas Kyoto, Masakuni Yoshino (23 tahun), mahasiswa tingkat akhir Universitas Nasional Yokohama, Hiroshi Sakaguchi (25 tahun), mahasiswa putus studi dari Universitas Tokyo Suisan, dan Jiro Kato (19 tahun) bersama adik laki-lakinya, Saburo Kato (16 tahun).[2]

Peristiwa penyanderaan

sunting

Setelah melihat kelompok polisi yang melakukan pengejaran di dekat kawasan permukiman Karuizawa, 19 Februari, kelima mahasiswa radikal berlindung di rumah peristirahatan bernama Asama Sansō (Vila Gunung Asama) milik Kawai Musical Instruments Manufacturing. Ketika memasuki bangunan vila, mereka bertemu dengan Yasuko Muta (31 tahun), istri dari penjaga vila. Yasuko adalah satu-satunya orang yang berada dalam bangunan vila. Suaminya sedang membawa anjing mereka berjalan-jalan, sementara tamu-tamu penginapan sedang pergi berskating es. Kelima anggota radikal Serikat Tentara Merah menjadikan Yasuko Muta sebagai sandera, dan mulai membuat barikade di sekeliling bangunan vila.

Bangunan berlantai tiga dari kayu dan beton ini ternyata berfungsi sebagai benteng pertahanan yang kokoh. Vila yang diberi nama Asama Sansō karena berada di dekat Gunung Asama ini dibangun di sisi sebuah bukit. Dasar bangunan dari beton bertulang, dan bangunan ini berbentuk seperti jamur. Lantai paling atas bangunan lebih luas dari dua lantai di bawahnya. Jalan menuju ke vila berupa tanjakan yang sangat terjal dan tertutup salju. Sisi luar jendela-jendela vila memiliki penutup jendela yang tebal untuk melindungi kaca jendela dari badai. Tata letak ruang yang simpang siur dan tangga-tangga sempit menjadikan para penyandera mudah menghentikan anggota polisi yang berusaha menerobos masuk. Kelompok penyandera kemudian menghabiskan sebagian besar waktu mereka di lantai paling atas yang dilengkapi sebuah dapur, ruang makan, dan ruang tidur berlantaikan tatami. Dari lantai teratas vila, kelompok penyandera secara bebas dapat mengamati bukit dan lembah di sekelilingnya.[3] Kelompok penyandera meletakkan perabot berukuran besar dan futon untuk menutupi pintu-pintu dan jendela-jendela, dan mengikatkannya dengan kawat. Ketika pulang dan melihat vila telah dibarikade, suami Yasuko sadar telah terjadi sesuatu, dan segera menghubungi polisi. Polisi segera menutup jalan-jalan dan mengepung vila untuk memutus jalur pelarian yang mungkin diambil oleh para penyandera.[4]

Pihak kepolisian mulanya hanya menunggu hingga kelompok penyandera menyerah atas kemauan sendiri. Setelah penyanderaan berlangsung selama tiga hari, dan kelompok penyandera belum mau menyerah, polisi mematikan aliran listrik ke vila. Polisi juga memanggil orang tua dari beberapa anggota kelompok penyandera untuk datang ke lokasi. Pengeras-pengeras suara berukuran besar dipasang untuk mengumandangkan suara imbauan orang tua agar anak-anak mereka mau menyerah. Namun segala usaha tersebut tidak berhasil. Salah seorang dari orang tua yang dipanggil bahkan tidak tahu putranya sudah tewas dalam pembersihan antaranggota kelompok. Ketika peristiwa penyanderaan sedang berlangsung, pihak kepolisian dan orang tua masih belum mengetahui tentang adanya peristiwa pembersihan di kalangan anggota.[5]

Pada 25 Februari, polisi mulai bersiap untuk menyerbu ke vila. Sebuah derek pengangkat yang dilengkapi bola besi penghancur bangunan sudah diposisikan di dekat bangunan vila. Ruang pengemudi derek pengangkat juga berlapis baja. Anggota polisi melengkapi diri mereka dengan tangga-tangga, palu-palu berat, dan gergaji mesin. Lewat pengeras suara, suami Yasuko memohon dengan sangat kepada para penyandera agar istrinya dibebaskan, tapi usahanya tidak berhasil. Pada 27 Februari, polisi memakai mesin pelempar bola bisbol untuk membombardir bangunan vila dengan batu. Maksudnya agar para penyandera tidak dapat tidur semalaman.[6]

Pagi 28 Februari pukul 08.00, pasukan polisi sudah berada dalam posisi siap serbu. Ultimatum terakhir dikeluarkan sejam kemudian, namun kembali diabaikan para penyandera. Pada pukul 10.00, mesin derek pengangkat mulai menghancurkan dinding bangunan vila dengan bola besi. Polisi dengan berhati-hati mendekati bangunan dan mulai menerobos barikade yang dibuat penyandera. Pada tengah hari, polisi sudah menduduki dua lantai bangunan vila, sementara kelompok penyandera bersama sandera terkepung di lantai paling atas.[7]

Polisi menemui kesulitan menembus pertahanan kelompok penyandera, dan hingga berjam-jam kemudian tetap tidak mendapat kemajuan berarti untuk naik ke lantai paling atas. Selang air bertekanan tinggi dipakai polisi untuk menyemprotkan air ke lantai paling atas. Sebuah lubang besar dibuka pada bagian dinding bangunan untuk menyiram kelompok penyandera berikut sandera dengan air dingin. Sementara diserang semprotan air, kelompok penyandera tidak berhenti menembak dan melemparkan bom buatan sendiri ke arah polisi. Dua anggota polisi, Shigemitsu Takami (42 tahun) dan Hisataka Uchida (47 tahun) tertembak mati, sementara 15 anggota polisi lainnya terluka. Seorang pengamat warga sipil yang masuk ke lokasi tanpa izin polisi juga tertembak (menurut laporan, ditembak pihak penyandera) hingga tewas.[8]

Ketika hari mulai gelap, polisi menembus barikade lantai teratas, dan berhasil menangkap salah seorang dari Kato bersaudara. Keempat penyandera lainnya bersembunyi di balik tumpukan futon, dan masih menolak untuk menyerah. Ketika polisi mendekati mereka, Kunio Bando menembak salah seorang anggota polisi bernama Masahiro Endo hingga tepat kena di salah satu mata. Endo selamat namun harus kehilangan sebelah mata. Akhirnya pada pukul 18.15, 280 jam setelah dimulainya peristiwa penyanderaan, sandera berhasil diselamatkan, dan keempat penyandera yang tersisa ditangkap. Yasuko Muta, korban penyanderaan, berada dalam keadaan kedinginan, namun tidak terluka, dan mengatakan kepada polisi bahwa para penyandera tidak melakukan penyiksaan. Walaupun demikian, Muta mengaku dirinya diikat di sebuah tempat tidur hampir sepanjang berlangsungnya drama penyanderaan. Pada malam itu pula, ayah Kunio Bando yang merasa sangat kecewa atas tingkah laku putranya, tewas dengan cara menggantung diri di rumah kediamannya di Ōtsu, dekat Kyoto.[9]

Liputan media massa

sunting

Selama berlangsungnya penyanderaan, peristiwa ini diliput secara luas oleh media massa Jepang. Laporan diberikan secara berkala dan dilengkapi dengan perkembangan terbaru dari lokasi. Foto sandera (Yasuko Muta) ditampilkan berulang-ulang di televisi.[10]

Pada 28 Februari pukul 09.40, stasiun televisi televisi penyiaran publik NHK memulai liputan nonstop mengenai peristiwa penyanderaan hingga pukul 20.20 malam itu. Rating rata-rata untuk liputan khusus NHK hari itu sebesar 50,8% dan mencapai puncaknya pada pukul 18.26 sebesar 89,7%. Lalu lintas kendaraan terlihat relatif lebih sepi sepanjang hari itu di Tokyo.[11]

Pascaperistiwa

sunting

Lima penyandera dikenakan enam tuntutan: dua pembunuhan, satu percobaan pembunuhan, perbuatan menghalangi tugas polisi, pelanggaran Undang-Undang Pengendalian Senjata Api dan Pedang, dan perbuatan mengurung orang secara ilegal. Empat dari lima penyandera mendapat hukuman penjara yang lama, sementara Hiroshi Sakaguchi mendapat hukuman mati. Hingga Oktober 1997, Sakaguchi masih berada di penjara menunggu eksekusi.[12]

Pada 8 Agustus 1975, Pemerintah Jepang melepas Kunio Bando dan menerbangkannya ke Libya, negara yang memberikannya suaka. Kunio Bando dibebaskan sebagai pemenuhan tuntutan anggota Serikat Tentara Merah yang menyerbu Kedutaan Amerika Serikat dan Kedutaan Swedia di Kuala Lumpur, Malaysia, dan menjadikan 53 orang sebagai sandera. Bando nantinya diduga telah ikut membantu pembajakan Japan Airlines Penerbangan 472 dari Paris ke Tokyo pada tahun 1977 yang memaksa pesawat untuk mendarat Dhaka. Bando hingga kini tetap dalam daftar orang dicari, dan menurut sumber-sumber antara 1997 dan 2007, dilaporkan berada di Rusia, Cina, Filipina, dan Jepang.[13]

Yasuko Muta tetap tinggal di kawasan Karuizawa, dan bekerja di vila penginapan yang lain. Ia hingga kini tetap menolak untuk berbicara mengenai peristiwa penyanderaan, selain dari pernyataan awalnya kepada polisi dan pers tidak lama setelah dibebaskan.[14]

Peristiwa Asama-Sansō bersama peristiwa pembantaian di Bandar Udara Lod yang terjadi beberapa bulan kemudian, ikut menyebabkan reaksi negatif di kalangan masyarakat Jepang terhadap gerakan mahasiswa kiri. Setelah terjadinya peristiwa ini, gerakan kiri di Jepang masin berkurang dalam jumlah dan tidak mendapat dari dukungan publik.[15]

Catatan kaki

sunting
  1. ^ Nakamura, "'We did not leave anything positive,' says ex-radical", Schreiber, p. 198–201.
  2. ^ Schilling, "The final days of revolutionary struggle in Japan", Nakamura, "'We did not leave anything positive,' says ex-radical", Kyodo, "Wanted radical Kunio Bando was in Philippines in 2000: sources", Kyodo, "Court dismisses death-row inmates' translation appeals", Schreiber, p. 201–202.
  3. ^ Schreiber, p. 205–206.
  4. ^ Schreiber, p. 206–207.
  5. ^ Nakamura, "'We did not leave anything positive,' says ex-radical", Schreiber, p. 207.
  6. ^ Schreiber, p. 207–208.
  7. ^ Schreiber, p. 208–209.
  8. ^ Kyodo, "Wanted radical Kunio Bando was in Philippines in 2000: sources", Kyodo, "Court dismisses death-row inmates' translation appeals", Schreiber, p. 209.
  9. ^ Schreiber, p. 209–213.
  10. ^ Schreiber, p. 209–217.
  11. ^ Pulvers, "Mammon and myopia: Japan's governing '70s legacy", NHK, "Asama-Sanso Incident", Nakamura, "'We did not leave anything positive,' says ex-radical", Schreiber, p. 209–217.
  12. ^ Japan Times, "Death-row convict wins libel case", Schreiber, p. 209–217.
  13. ^ Kyodo",Wanted radical Kunio Bando was in Philippines in 2000: sources", Japan Times, "Death-row convict wins libel case", Schreiber, p. 209–217.
  14. ^ Schreiber, p. 217.
  15. ^ Pulvers, "Mammon and myopia: Japan's governing '70s legacy", Nakamura, "'We did not leave anything positive,' says ex-radical", Schreiber, p. 215–216.

Referensi

sunting
  • Schreiber, Mark (1996). Shocking Crimes of Postwar Japan. Tuttle Publishing. ISBN 4900737348. 

Situs web

sunting

Pranala luar

sunting