Jerman Nazi
Penyuntingan Artikel oleh pengguna baru atau anonim untuk saat ini tidak diizinkan. Lihat kebijakan pelindungan dan log pelindungan untuk informasi selengkapnya. Jika Anda tidak dapat menyunting Artikel ini dan Anda ingin melakukannya, Anda dapat memohon permintaan penyuntingan, diskusikan perubahan yang ingin dilakukan di halaman pembicaraan, memohon untuk melepaskan pelindungan, masuk, atau buatlah sebuah akun. |
Jerman Nazi (bahasa Jerman: NS-Staat) adalah nama umum Jerman antara tahun 1933 dan 1945, ketika Adolf Hitler dan Partai Nazi (NSDAP) yang ia pimpin menguasai negara dengan sistem kediktatoran. Di bawah pemerintahan Hitler, Jerman diubah menjadi negara totaliter dan hampir seluruh aspek kehidupan dikendalikan oleh pemerintah. Nama resmi negara ini adalah Deutsches Reich (Reich Jerman) sampai 1943 dan Großdeutsches Reich (Reich Jerman Raya) dari 1943 sampai 1945. Jerman Nazi juga dikenal dengan sebutan Reich Ketiga (Drittes Reich), yang berarti "Kekaisaran Ketiga", dengan Kekaisaran Romawi Suci (800–1806) selaku kekaisaran pertama dan Kekaisaran Jerman (1871–1918) sebagai kekaisaran kedua. Rezim Nazi tumbang setelah Sekutu mengalahkan Jerman pada bulan Mei 1945, mengakhiri Perang Dunia II di Eropa.
Hitler ditunjuk sebagai Kanselir Jerman oleh Presiden Republik Weimar, Paul von Hindenburg, pada 30 Januari 1933. NSDAP kemudian mulai melenyapkan semua lawan politik dan memperkuat kekuasaannya. Hindenburg wafat pada 2 Agustus 1934 dan Hitler menjadi diktator Jerman dengan menggabungkan jabatan dan kekuasaan Kanselir dan Presiden. Referendum nasional yang diselenggarakan pada 19 Agustus 1934 mengukuhkan Hitler sebagai satu-satunya Führer (pemimpin) Jerman. Seluruh kekuasaan terpusat pada diri Hitler dan titahnya menjadi hukum tertinggi. Pemerintah bukanlah sebuah badan terkoordinasi yang bekerja sama, tetapi sekumpulan faksi yang berjuang untuk memperoleh kekuasaan dan meraih dukungan Hitler. Di tengah-tengah Depresi Hebat, rezim Nazi memulihkan kestabilan ekonomi dan mengakhiri pengangguran massal melalui kebijakan militer dan ekonomi campuran. Dengan belanja negara melebihi pendapatan, rezim ini mampu menggalakkan pekerjaan umum, termasuk pembangunan Autobahnen (jalan raya). Pulihnya ekonomi Jerman meningkatkan kepopuleran rezim Nazi.
Rasisme, terutama antisemitisme, menjadi bagian dari ideologi rezim ini. Bangsa Jerman dianggap oleh Nazi sebagai ras unggul, cabang paling murni dari ras Arya. Diskriminasi dan persekusi terhadap orang Yahudi dan Rom mulai digalakkan setelah Hitler berkuasa. Kamp konsentrasi pertama didirikan pada bulan Maret 1933. Yahudi dan kelompok lainnya yang "tidak dikehendaki" dipenjara, dan kaum liberal, sosialis, dan komunis dibunuh, dipenjara, atau diasingkan. Warga negara dan gereja Kristen yang menentang pemerintahan Hitler ditindas, dan banyak pemimpin agama yang dipenjarakan. Kurikulum pendidikan difokuskan pada biologi rasial, kebijakan kependudukan, dan wajib militer. Kesempatan karier dan pendidikan bagi wanita dibatasi. Rekreasi dan pariwisata diselenggarakan melalui program Kraft durch Freude, dan Olimpiade Musim Panas 1936 dimanfaatkan untuk memamerkan Jerman di panggung internasional. Menteri Propaganda Joseph Goebbels memanfaatkan film, rapat raksasa, dan orasi-orasi Hitler untuk memengaruhi opini masyarakat. Pemerintah mengendalikan ekspresi artistik, mempromosikan bentuk arsitektur dan kesenian tertentu (misalnya arsitektur neoklasik), dan melarang atau membatasi bentuk lainnya (seperti seni langgam modern atau abstrak).
Rezim Nazi mendominasi negara tetangga melalui ancaman militer pada tahun-tahun menjelang Perang Dunia II. Jerman Nazi melayangkan permintaan wilayah yang semakin agresif, mengancam dengan perang jika hal tersebut tidak dipenuhi. Nazi menguasai Austria dan hampir seluruh Cekoslowakia pada tahun 1938 dan 1939. Jerman menandatangani pakta nonagresi dengan Uni Soviet, dan menginvasi Polandia pada 1 September 1939, memicu Perang Dunia II di Eropa. Pada awal 1941, Jerman telah menguasai sebagian besar Eropa. Reichskommissariat mengambil kendali atas wilayah yang ditaklukkan dan pemerintahan Jerman ditegakkan di Polandia. Jerman mengeksploitasi bahan mentah dan tenaga kerja, baik di wilayah yang diduduki maupun di negara sekutunya. Einsatzgruppen membentuk skuad kematian di wilayah yang diduduki Jerman untuk melakukan pembunuhan massal terhadap jutaan Yahudi dan kelompok lainnya yang dianggap tidak dikehendaki oleh negara. Jutaan lainnya dipenjara, dipekerjakan sampai mati, atau dibunuh di kamp pemusnahan dan kamp konsentrasi Nazi. Genosida ini dikenal dengan sebutan Holokaus.
Meskipun invasi Jerman terhadap Uni Soviet pada tahun 1941 awalnya berhasil, kebangkitan Soviet dan masuknya Amerika Serikat ke kancah peperangan menyebabkan kekuatan Wehrmacht (angkatan bersenjata Jerman) melemah di Front Timur pada tahun 1943, dan pada akhir 1944, Jerman berhasil didorong mundur ke perbatasan pra-1939. Pengeboman udara berskala besar terhadap Jerman meningkat pada tahun 1944 dan kekuatan Poros dipaksa mundur ke Eropa Timur dan Selatan. Setelah Sekutu menginvasi Prancis, Jerman dipukul mundur oleh Uni Soviet di timur dan oleh Sekutu lainnya di barat. Hitler menolak menyerah, sehingga perang terus berkobar dan menyebabkan kehancuran besar-besaran infrastruktur Jerman dan bertambahnya korban jiwa pada bulan-bulan terakhir perang. Akhirnya Hitler bunuh diri pada 30 April 1945 dan Jerman menyerah pada 8 Mei. Sekutu yang memenangkan perang memprakarsai kebijakan denazifikasi dan mengadili pejabat Nazi yang masih hidup atas kejahatan perang dalam peradilan Nürnberg.
Nama
Nama resmi negara ini dalam bahasa Jerman adalah Deutsches Reich dari 1933 sampai 1943 dan Großdeutsches Reich dari 1943 sampai 1945, sedangkan istilah umum yang digunakan saat ini adalah "Jerman Nazi" dan "Reich Ketiga". Nama "Reich Ketiga" merupakan terjemahan dari istilah Drittes Reich yang digunakan dalam propaganda Nazi; istilah tersebut pertama kali disebutkan dalam buku Das Dritte Reich karya Arthur Moeller van den Bruck tahun 1923. Buku ini menjelaskan Kekaisaran Romawi Suci (962–1806) sebagai Reich pertama dan Kekaisaran Jerman (1871–1918) sebagai Reich kedua.[2]
Latar belakang
Jerman dikenal dengan nama Republik Weimar antara tahun 1919 sampai 1933. Bentuk pemerintahannya adalah republik dengan sistem semipresidensial. Republik Weimar menghadapi sejumlah masalah, seperti hiperinflasi, ekstremisme politik (termasuk kekerasan oleh paramiliter sayap kiri dan kanan), pertikaian dengan Sekutu yang memenangkan Perang Dunia I, dan kegagalan partai-partai yang terpecah belah dalam upaya membentuk koalisi pemerintahan.[3] Kemerosotan parah perekonomian Jerman dimulai setelah Perang Dunia I berakhir, terutama karena harus membayar pampasan perang yang disyaratkan oleh Perjanjian Versailles 1919. Pemerintah mencetak uang untuk membayar pampasan serta utang negara yang ditimbulkan oleh perang, tetapi hal ini memicu hiperinflasi yang menyebabkan kenaikan harga barang-barang konsumsi, kekacauan ekonomi, dan huru-hara yang dipicu kekurangan pangan.[4] Ketika pemerintah gagal membayar pampasan perang pada Januari 1923, tentara Prancis menduduki kawasan industri Jerman di sepanjang Sungai Ruhr dan hal ini pun memicu kerusuhan.[5]
Partai Buruh Jerman Sosialis Nasional (Nationalsozialistische Deutsche Arbeiterpartei, NSDAP; Partai Nazi) didirikan pada tahun 1920. Partai ini adalah penerus Partai Buruh Jerman (DAP) yang dibentuk setahun sebelumnya, dan menjadi salah satu partai berhaluan kanan jauh di Jerman.[6] Program kerja partai NSDAP meliputi penggulingan Republik Weimar, penolakan isi Perjanjian Versailles, paham antisemitisme radikal, serta anti-Bolshevisme.[7] NSDAP menjanjikan pemerintahan pusat yang kuat, memperluas Lebensraum ("ruang hidup") bagi bangsa Jerman, pembentukan masyarakat nasional berdasarkan ras, dan pembersihan rasial melalui penindasan orang Yahudi yang akan dilucuti kewarganegaraan dan hak-hak sipilnya.[8] Partai ini dan organisasi paramiliternya, Sturmabteilung (SA; Detasemen Badai; Seragam Cokelat), menggunakan kekerasan untuk memperjuangkan pandangan politik mereka, mengganggu rapat organisasi lawan, serta menyerang anggota partai lain maupun orang Yahudi di jalanan.[9] Kelompok bersenjata sayap kanan seperti itu banyak dijumpai di negara bagian Bayern dan ditoleransi oleh pemerintahan setempat yang berhaluan kanan jauh di bawah pimpinan Gustav Ritter von Kahr.[10]
Ketika pasar saham di Amerika Serikat mengalami kejatuhan pada 24 Oktober 1929, dampaknya terhadap Jerman sangat parah.[11] Jutaan orang kehilangan pekerjaan dan beberapa bank besar bertumbangan. Hitler dan NSDAP bersiap-siap untuk memanfaatkan kekacauan ini demi meraih dukungan bagi partai mereka. Mereka berjanji akan memperkuat perekonomian dan menyediakan lapangan kerja.[12] Banyak pemilih yang menganggap NSDAP mampu memulihkan ketertiban, memadamkan kerusuhan, dan meningkatkan reputasi internasional Jerman. Setelah pemilihan umum federal tahun 1932, NSDAP menjadi partai terbesar di Reichstag, meraih 230 kursi dengan mandat dari 37,4 persen suara rakyat.[13]
Sejarah
Nazi merebut kekuasaan
Meskipun Nazi memenangkan dua pemilihan umum Reichstag tahun 1932, partai ini tidak berhasil memperoleh suara mayoritas. Oleh sebab itu, Hitler memimpin pemerintahan koalisi bersama Partai Rakyat Nasional Jerman yang berhaluan konservatif, walaupun koalisi ini akhirnya berumur pendek.[14] Pemerintahan koalisi ini terbentuk saat Presiden Paul von Hindenburg mengangkat Hitler sebagai Kanselir Jerman yang baru pada 30 Januari 1933, setelah gagalnya Kanselir Kurt von Schleicher membentuk kabinet yang didukung mayoritas Reichstag. Peristiwa ini dikenal dengan sebutan Machtergreifung ("pengambilalihan kekuasaan").[15]
Pada malam 27 Februari 1933, gedung Reichstag dibakar. Marinus van der Lubbe, seorang komunis Belanda, dinyatakan bersalah karena menyulut kebakaran. Hitler menyatakan bahwa pembakaran tersebut menandai dimulainya pemberontakan komunis. Maklumat Kebakaran Reichstag (yang diberlakukan pada 28 Februari 1933) meniadakan sebagian besar kebebasan sipil, termasuk hak untuk berkumpul dan kebebasan pers. Maklumat tersebut juga memperbolehkan polisi untuk menahan seseorang tanpa tuntutan pidana. Undang-undang tersebut disertai dengan kampanye propaganda yang membuat masyarakat mendukung tindakan tersebut. Penindasan dan kekerasan terhadap kaum komunis oleh SA diberlakukan secara nasional dan 4.000 anggota Partai Komunis Jerman ditangkap.[16]
Pada bulan Maret 1933, Undang-Undang Pemberian Kuasa disahkan di Reichstag sebagai amandemen terhadap Konstitusi Weimar dengan suara 444-94.[17] Amandemen ini memungkinkan Hitler dan kabinetnya untuk mengesahkan undang-undang (bahkan undang-undang yang melanggar konstitusi) tanpa persetujuan presiden atau Reichstag.[18] Undang-undang ini membutuhkan dua pertiga suara agar bisa disahkan, sehingga Nazi menggunakan taktik intimidasi serta menggunakan ketentuan Maklumat Kebakaran Reichstag untuk mencegah partisipasi anggota Partai Demokrat Sosial, sedangkan Partai Komunis telah dilarang.[19][20] Pada tanggal 10 Mei, pemerintah menyita aset Partai Demokrat Sosial, dan partai tersebut kemudian dilarang pada 22 Juni.[21] Pada 21 Juni, SA menggeledah kantor Partai Rakyat Nasional Jerman (bekas rekan koalisi NSDAP) dan membubarkannya pada tanggal 29 Juni. Partai-partai politik besar yang tersisa kemudian juga dibubarkan. Pada tanggal 14 Juli 1933, Jerman menjadi negara satu partai dengan disahkannya undang-undang yang menetapkan NSDAP sebagai satu-satunya partai resmi di Jerman. Pendirian partai-partai baru juga dinyatakan ilegal, dan semua partai politik lainnya yang belum bubar juga dilarang.[22] Undang-Undang Pemberian Kuasa kelak berfungsi sebagai landasan hukum kediktatoran yang diciptakan NSDAP.[23] Pemilu lanjutan pada November 1933, 1936, dan 1938 dikendalikan oleh Nazi; hanya anggota NSDAP dan segelintir kandidat independen yang terpilih.[24]
Nazifikasi Jerman
Kabinet Hitler menggunakan ketentuan dalam Maklumat Kebakaran Reichstag dan Undang-Undang Pemberian Kuasa untuk memulai proses Gleichschaltung ("koordinasi"), yang menempatkan seluruh aspek kehidupan di bawah kendali partai.[25] Negara bagian yang pemerintah terpilihnya tidak berada di bawah kendali Nazi atau koalisi pimpinan Nazi dipaksa menyetujui penunjukan Komisaris Reich, yang berkewajiban memastikan agar negara bagian tersebut sejalan dengan kebijakan pemerintah pusat. Para Komisaris ini memiliki kuasa untuk mengangkat dan memberhentikan pejabat pemerintah daerah, anggota parlemen negara bagian, dan hakim. Melalui cara ini, Jerman secara de facto menjadi negara kesatuan karena semua pemerintah negara bagian dikendalikan oleh pemerintah pusat di bawah NSDAP.[26][27] Parlemen negara bagian dan Reichsrat (dewan perwakilan daerah) dihapuskan pada Januari 1934,[28] dan segenap kekuasaan negara bagian dilimpahkan ke pemerintah pusat.[27]
Semua organisasi sipil, termasuk kelompok tani, organisasi sukarelawan, dan klub olahraga, diganti kepemimpinannya dengan simpatisan atau anggota partai Nazi; organisasi-organisasi sipil ini wajib digabung dengan NSDAP atau dibubarkan.[29] Pemerintah Nazi merayakan "Hari Buruh Nasional" pada May Day (1 Mei) 1933 dan mengundang seluruh perwakilan serikat buruh ke Berlin. Sehari setelahnya, pasukan SA menghancurkan kantor-kantor serikat buruh di seluruh negeri; semua serikat buruh dipaksa bubar dan para pemimpinnya ditangkap.[30] Undang-Undang Pemulihan Kepegawaian Negeri Profesional disahkan pada bulan April, yang melarang profesi guru, profesor, hakim, magistrat, dan pejabat pemerintah ditempati oleh Yahudi atau orang-orang yang dicurigai tidak berkomitmen kepada partai.[31] Dengan ini, satu-satunya lembaga nonpolitik yang tidak berada di bawah kendali NSDAP adalah gereja.[32]
Rezim Nazi menghapuskan simbol-simbol Republik Weimar (termasuk bendera triwarna hitam, merah dan emas) dan menciptakan simbolisme baru. Bendera triwarna hitam, putih, dan merah yang dipakai kekaisaran sebelumnya digunakan kembali sebagai satu dari dua bendera resmi Jerman; satu lagi adalah bendera swastika NSDAP, yang menjadi satu-satunya bendera nasional pada tahun 1935. Mars partai NSDAP, "Horst-Wessel-Lied" ("Lagu Horst Wessel"), menjadi lagu kebangsaan kedua.[33]
Jerman masih berada dalam situasi ekonomi yang kacau; sebanyak enam juta warga Jerman menganggur dan neraca perdagangan mengalami defisit parah.[34] Dengan meningkatkan belanja negara melebihi pendapatan ("pengeluaran defisit"), proyek-proyek pekerjaan umum digalakkan sejak tahun 1934, menciptakan 1,7 juta lapangan kerja baru pada akhir tahun tersebut.[34] Upah rata-rata pun mulai mengalami kenaikan.[35]
Pengukuhan kekuasaan
Pimpinan SA berusaha menekan Hitler untuk meraih kekuasaan politik dan militer yang lebih besar. Sebagai tanggapan, Hitler memanfaatkan Schutzstaffel (SS) dan Gestapo untuk membersihkan kepemimpinan di SA secara menyeluruh.[36] Hitler menyasar Stabschef (Kepala Staf) SA Ernst Röhm dan pemimpin SA lainnya, yang ditangkap dan ditembak, bersama dengan sejumlah musuh politik Hitler (seperti Gregor Strasser dan mantan kanselir Kurt von Schleicher).[37] Sebanyak 200 orang dibunuh dari tanggal 30 Juni sampai 2 Juli 1934 dalam peristiwa yang kemudian dikenal dengan Malam Pisau Panjang.[38]
Pada 2 Agustus 1934, Hindenburg meninggal dunia. Sehari sebelumnya, kabinet telah mengesahkan "Undang-Undang Pejabat Negara Tertinggi Reich", yang menyatakan bahwa setelah kematian Hindenburg, jabatan presiden akan dihapuskan dan kekuasaannya digabung dengan kekuasaan kanselir.[39] Dengan demikian, Hitler menjadi kepala negara sekaligus kepala pemerintahan dan secara resmi bergelar Führer und Reichskanzler ("Pemimpin dan Kanselir"), meskipun akhirnya gelar Reichskanzler dihapuskan.[40] Jerman menjadi negara totaliter dengan Hitler sebagai pemimpinnya.[41] Sebagai kepala negara, Hitler menjadi Panglima Tertinggi angkatan bersenjata. Undang-undang baru mengubah sumpah kesetiaan bagi para prajurit sehingga diharuskan bersumpah setia kepada diri Hitler, bukannya kepada panglima atau negara.[42] Pada 19 Agustus 1934, penggabungan kekuasaan presiden dengan kanselir disetujui oleh 90 persen pemilih dalam sebuah referendum.[43]
Kebanyakan warga Jerman merasa lega karena konflik dan perkelahian jalanan pada era Weimar telah berakhir. Mereka dibanjiri propaganda yang disusun oleh Menteri Penerangan Umum dan Propaganda, Joseph Goebbels, yang menjanjikan perdamaian dan banyak hal lainnya bagi warga Jerman di negara bersatu yang bebas Marxis tanpa terhalang Perjanjian Versailles.[44] NSDAP memperoleh dan mengesahkan kekuasaannya mula-mula melalui kegiatan revolusioner, kemudian melalui manipulasi mekanisme hukum, pemanfaatan wewenang kepolisian, serta dengan mengambil alih institusi pemerintah dan negara bagian.[45][46] Kamp konsentrasi Nazi besar pertama (yang awalnya untuk tahanan politik) dibuka di Dachau pada tahun 1933.[47] Menjelang akhir Perang Dunia II, terdapat ratusan kamp konsentrasi dengan berbagai ukuran dan fungsi yang telah didirikan oleh rezim Nazi.[48]
Mulai bulan April 1933, sejumlah kebijakan yang menentukan status dan hak-hak Yahudi mulai dilembagakan.[49] Langkah-langkah ini memuncak dengan pengesahan Undang-Undang Nürnberg pada tahun 1935 yang melucuti hak-hak dasar Yahudi.[50] Nazi menyita harta benda Yahudi dan melarang mereka menikah dengan non-Yahudi. Orang Yahudi juga tidak diperbolehkan bekerja di berbagai bidang, termasuk hukum, kedokteran, dan pendidikan. Pada akhirnya rezim Nazi menyatakan kaum Yahudi sebagai puak-puak yang "tidak dikehendaki" untuk berada di antara warga negara dan bangsa Jerman.[51]
Penguatan militer
Pada tahun-tahun awal rezim Nazi, Jerman tidak memiliki sekutu, dan amat lemah secara militer akibat Perjanjian Versailles. Prancis, Polandia, Italia, dan Uni Soviet memiliki alasan tersendiri untuk menentang berkuasanya Hitler. Polandia mengajak Prancis melakukan perang preventif melawan Jerman pada Maret 1933. Italia Fasis khawatir dengan potensi munculnya negara tetangga yang jauh lebih kuat dan jika suatu saat perluasan Jerman mengarah ke Balkan dan Austria, yang dianggap Benito Mussolini sebagian berada di bawah pengaruh Italia.[52]
Pada awal Februari 1933, Hitler menyatakan bahwa Jerman harus mulai mempersenjatai diri, meskipun awalnya dilakukan secara sembunyi-sembunyi karena melanggar Perjanjian Versailles. Pada 17 Mei 1933, Hitler berpidato di hadapan Reichstag, menjabarkan keinginannya untuk mewujudkan perdamaian dunia dan menerima tawaran dari Presiden Amerika Franklin D. Roosevelt mengenai pelucutan militer, asalkan negara-negara Eropa lainnya juga melakukan hal yang sama.[53] Ketika kekuatan Eropa lainnya enggan menerima tawaran ini, Hitler menarik Jerman keluar dari Konferensi Pelucutan Senjata Dunia dan Liga Bangsa-Bangsa pada bulan Oktober, menyatakan bahwa klausul pelucutan senjata tidak adil jika hanya diberlakukan untuk Jerman.[54] Dalam referendum yang diselenggarakan pada bulan November, 95 persen pemilih mendukung penarikan diri Jerman.[55]
Pada tahun 1934, Hitler memberi tahu para pemimpin militernya bahwa perang di timur harus dimulai pada 1942.[56] Saarland, yang berada di bawah pengawasan Liga Bangsa-Bangsa selama 15 tahun sejak akhir Perang Dunia I, melalui pemungutan suara pada Januari 1935 memutuskan untuk menjadi bagian Jerman.[57] Pada bulan Maret 1935, Hitler mengumumkan pembentukan angkatan udara, dan anggota Reichswehr akan ditambah menjadi 550.000 orang.[58] Britania Raya menyetujui pembentukan armada laut Jerman melalui Perjanjian Laut Inggris-Jerman pada 18 Juni 1935.[59]
Ketika invasi Italia ke Etiopia hanya diprotes ringan oleh pemerintah Britania dan Prancis, pada 7 Maret 1936 Hitler menggunakan Perjanjian Bantuan Bersama Prancis-Soviet sebagai alasan untuk mengerahkan 3.000 tentara Jerman menuju zona demiliterisasi di Rhineland, yang melanggar ketentuan Perjanjian Versailles.[60] Karena wilayah tersebut adalah bagian dari Jerman, pemerintah Britania dan Prancis merasa bahwa upaya untuk menegakkan Perjanjian Versailles tidak sebanding dengan risiko perang yang akan dihadapi.[61] Dalam pemilu satu partai yang diadakan pada 29 Maret, NSDAP meraih 98,9 persen dukungan.[61] Pada tahun 1936, Hitler menandatangani Pakta Anti-Komintern dengan Jepang maupun perjanjian nonagresi dengan Mussolini yang kemudian disebut "Poros Roma-Berlin."[62]
Hitler mengirimkan bantuan dan pasokan militer kepada tentara Nasionalis Jenderal Francisco Franco dalam Perang Saudara Spanyol yang mulai berkobar sejak Juli 1936. Legiun Condor Jerman memasok sejumlah pesawat dan awak, serta satu kontingen tank. Pesawat Legiun menghancurkan kota Guernica pada tahun 1937.[63] Pihak Nasionalis menang pada tahun 1939 dan menjadi sekutu tidak resmi Jerman Nazi.[64]
Austria dan Cekoslowakia
Pada bulan Februari 1938, Hitler menekankan pada Kanselir Austria Kurt Schuschnigg tentang perlunya Jerman mengamankan perbatasannya. Schuschnigg menjadwalkan plebisit terkait kemerdekaan Austria pada 13 Maret, tetapi Hitler mengirim ultimatum pada Schuschnigg pada 11 Maret, menuntut agar ia menyerahkan seluruh kekuasaannya kepada NSDAP Austria atau ia harus menghadapi serangan Jerman. Tentara Jerman memasuki Austria pada keesokan harinya dan disambut antusias oleh para penduduk.[65]
Republik Cekoslowakia dihuni oleh banyak orang Jerman yang menjadi bangsa minoritas, khususnya di Sudetenland. Di bawah tekanan dari kelompok separatis Partai Jerman Sudeten, pemerintah Cekoslowakia menawarkan konsesi ekonomi kepada wilayah tersebut.[66] Hitler memutuskan bahwa ia tidak hanya akan menggabungkan Sudetenland ke dalam Reich, tetapi juga akan menghancurkan negara Cekoslowakia sepenuhnya.[67] Nazi melakukan kampanye propaganda guna menggalang dukungan untuk menyerang Cekoslowakia.[68] Para pemimpin militer Jerman menentang rencana tersebut karena Jerman dirasa belum siap untuk berperang.[69]
Krisis ini menyebabkan Britania Raya, Cekoslowakia, dan Prancis (sekutu Cekoslowakia) bersiap untuk berperang. Dengan maksud untuk menghindari perang, Perdana Menteri Britania Neville Chamberlain mengatur serangkaian pertemuan, yang menghasilkan Perjanjian München yang ditandatangani pada 29 September 1938. Pemerintah Cekoslowakia dipaksa menerima pencaplokan Sudetenland oleh Jerman. Chamberlain disambut dengan sorak-sorai ketika ia mendarat di London dan menyatakan bahwa perjanjian tersebut membawa "perdamaian bagi zaman kita".[70] Sementara itu, Polandia merebut sebidang wilayah Cekoslowakia di dekat Cieszyn pada 2 Oktober. Selain itu, sebagai dampak dari Perjanjian München, Hungaria menuntut dan memperoleh wilayah seluas 12.000 kilometer persegi (4.600 sq mi) di sepanjang perbatasan utaranya sesuai dengan Putusan Arbitrase Wina Pertama pada 2 November.[71] Selanjutnya, setelah perundingan dengan Presiden Emil Hácha, Cekoslowakia terbagi dua: Republik Slowakia diproklamasikan pada 14 Maret 1939, sedangkan wilayah Ceko yang tersisa dicaplok oleh Hitler dan dijadikan Protektorat Bohemia dan Moravia pada 15 Maret.[72] Pada hari yang sama, Hungaria menduduki dan mencaplok Karpatska Ukraina yang baru saja diproklamasikan dan tidak diakui, serta sehamparan wilayah yang dipersengketakan dengan Slowakia.[73][74]
Cadangan devisa Austria dan Ceko dirampas oleh Nazi; persediaan bahan baku seperti logam maupun barang jadi seperti senjata dan pesawat terbang dikirim ke Jerman. Konglomerat industri Reichswerke Hermann Göring mengambil kendali atas pengelolaan fasilitas produksi baja dan batu bara di kedua negara tersebut.[75]
Polandia
Pada Januari 1934, Jerman menandatangani perjanjian nonagresi dengan Polandia.[76] Pada bulan Maret 1939, Hitler menuntut pengembalian Kota Merdeka Danzig dan Koridor Polandia, wilayah yang memisahkan Prusia Timur dengan Jerman. Britania mengumumkan akan membantu Polandia jika diserang. Hitler yakin bahwa Britania hanya menggertak, sehingga ia memerintahkan agar invasi dilancarkan pada bulan September 1939.[77] Pada 23 Mei, Hitler mengungkapkan kepada para jenderalnya mengenai rencana keseluruhannya yang tidak hanya menguasai Koridor Polandia, tetapi juga merebut wilayah Polandia lainnya di timur. Ia memperkirakan kali ini mereka akan menghadapi perlawanan.[78]
Jerman menegaskan kembali persekutuannya dengan Italia dan menandatangani perjanjian nonagresi dengan Denmark, Estonia, dan Latvia, serta meresmikan hubungan dagang dengan Rumania, Norwegia, dan Swedia.[79] Menteri Luar Negeri Joachim von Ribbentrop melakukan perundingan dengan Uni Soviet, menghasilkan perjanjian nonagresi Pakta Molotov–Ribbentrop yang ditandatangani pada bulan Agustus 1939.[80] Perjanjian tersebut juga memuat protokol rahasia yang membagi Polandia dan negara-negara Baltik menjadi wilayah di bawah pengaruh Jerman dan Soviet.[81]
Perang Dunia II
Pecahnya perang
Jerman menginvasi Polandia dan merebut Kota Merdeka Danzig pada 1 September 1939, sehingga memulai Perang Dunia II di Eropa.[82] Sesuai kewajibannya yang diatur perjanjian, Britania Raya dan Prancis menyatakan perang terhadap Jerman dua hari kemudian.[83] Polandia jatuh dalam waktu sekitar satu bulan, sementara Uni Soviet mulai menyerang dari timur pada 17 September.[84] Reinhard Heydrich, kepala Sicherheitspolizei (SiPo; Polisi Keamanan) dan Sicherheitsdienst (SD; Dinas Keamanan), memerintahkan pada 21 September bahwa Yahudi Polandia harus ditangkap dan dikumpulkan di kota-kota dengan jaringan rel kereta yang baik. Awalnya, Yahudi direncanakan dideportasi ke arah timur, atau mungkin ke Madagaskar.[85] Dengan menggunakan daftar yang telah dipersiapkan sebelumnya, sekitar 65.000 intelektual, bangsawan, rohaniwan, dan guru Polandia dibunuh pada akhir 1939 dalam upaya untuk melenyapkan identitas Polandia sebagai sebuah bangsa.[86][87] Namun, walaupun sudah berperang dengan Prancis dan Britania di barat, hanya sedikit aksi militer yang terjadi di front tersebut hingga bulan Mei, sehingga periode ini dikenal sebagai "Perang Palsu." Pada masa ini, peperangan yang berkobar adalah Perang Musim Dingin antara Uni Soviet dan Finlandia, dan pertempuran maritim antara Jerman dan kekuatan Sekutu di Samudra Atlantik dan perairan Eropa. [88]
Sejak awal perang, blokade Britania terhadap pengiriman barang ke Jerman sangat berdampak terhadap ekonominya. Jerman sangat bergantung pada impor minyak, batu bara, dan gandum.[89] Akibat embargo perdagangan dan blokade ini, impor Jerman turun 80 persen.[90] Untuk mengamankan pengiriman bijih besi dari Swedia ke Jerman, Hitler memerintahkan invasi Denmark dan Norwegia, yang dimulai pada tanggal 9 April. Denmark jatuh pada hari itu juga, sedangkan sebagian besar Norwegia berhasil dikuasai pada akhir bulan yang sama.[91][92] Pada awal Juni, Jerman telah menduduki seluruh Norwegia.[93]
Penaklukan Eropa
Atas saran dari sejumlah petinggi militernya, Hitler memerintahkan serangan terhadap Prancis serta Belanda, Belgia, dan Luksemburg, yang dimulai pada Mei 1940.[94][95] Jerman dengan cepat menaklukkan Luksemburg dan Belanda. Setelah manuver Jerman di Hutan Ardennes di Belgia berhasil menipu tentara Sekutu, pasukan Britania dan Prancis yang terpojok terpaksa dievakuasi dari Dunkerque (Dunkirk) ke daratan Britania.[96] Prancis menyerah tanggal 22 Juni.[97] Kemenangan Jerman di Prancis melejitkan popularitas Hitler dan memicu demam perang di kalangan warga Jerman.[98]
Jerman melanggar ketentuan Konvensi Den Haag dengan mengerahkan perusahaan-perusahaan industri di Belanda, Prancis, dan Belgia untuk memproduksi material perang bagi Jerman.[99] Nazi menyita ribuan lokomotif dan kereta luncur, stok senjata, dan menguasai bahan baku seperti tembaga, timah, minyak, dan nikel dari Prancis.[100] Biaya pendudukan dibebankan kepada Prancis, Belgia, dan Norwegia.[101] Terhambatnya perdagangan menyebabkan terjadinya penimbunan, pasar gelap, dan ketidakpastian masa depan.[102] Persediaan makanan menipis karena produksi turun di sebagian besar wilayah Eropa.[103] Kelaparan dialami oleh banyak negara yang diduduki Jerman.[103]
Tawaran perdamaian Hitler kepada Perdana Menteri Britania Raya yang baru, Winston Churchill, ditolak pada bulan Juli 1940. Laksamana Besar Erich Raeder memberi tahu Hitler pada bulan Juni bahwa keunggulan di udara adalah prasyarat bagi keberhasilan menginvasi Britania, sehingga Hitler memerintahkan serangkaian serangan udara terhadap pangkalan udara dan stasiun radar Angkatan Udara Britania (RAF), dan menggempur kota-kota Britania, termasuk London, Liverpool, dan Manchester pada malam hari. Selanjutnya Pertempuran Britania berkecamuk di udara, tetapi Luftwaffe Jerman gagal melumpuhkan RAF. Pada akhir Oktober, Hitler menyadari bahwa keunggulan udara ini tidak tercapai. Invasi terhadap Britania ditunda secara permanen oleh Hitler, dan rencana ini sendiri sedari awal sebenarnya tidak pernah ditanggapi serius oleh para petinggi Angkatan Darat Jerman.[104][105][e] Menurut sejarawan Andrew Gordon, alasan utama kegagalan rencana invasi ini adalah keunggulan Angkatan Laut Britania, bukannya aksi RAF.[106]
Pada 27 September 1940, persekutuan antara Jerman dengan Italia dan Jepang diperkuat dengan penandatanganan Pakta Tripartit di Berlin. Perjanjian ini mengatur persekutuan militer antara ketiga negara, mengakui "kepemimpinan" Jerman dan Italia di Eropa serta Jepang di Asia, dan menjanjikan bantuan jika salah satu dari mereka diserang Amerika Serikat (tanpa menyebutkan nama AS secara langsung).[107] Sekutu-sekutu Jerman lain selanjutnya bergabung dengan perjanjian ini: Bulgaria pada 17 November, Rumania dan Slowakia pada 23 November.[108][109][110] Jerman melibatkan kekuatan negara-negara tersebut dalam aksi militernya: kelak pada akhir 1942, terdapat 24 divisi tentara dari Rumania di Front Timur, 10 dari Italia, dan 10 dari Hungaria.[111]
Pada bulan Februari 1941, Korps Afrika Jerman tiba di Libya untuk membantu Italia menghadapi Britania dalam Kampanye Afrika Utara.[112] Pada 6 April, Jerman melancarkan invasi ke Yugoslavia (setelah pemerintahan pro-Jerman di negara tersebut ditumbangkan dalam kudeta) dan Yunani (yang baru saja menghalau serangan sekutu Jerman yaitu Italia).[113][114] Yugoslavia dibagi-bagi antara Jerman, Hungaria, Italia, dan Bulgaria, dan sebuah negara boneka di Kroasia, sedangkan Yunani diduduki Jerman, Italia, dan Bulgaria.[115][116]
Invasi Uni Soviet
Pada 22 Juni 1941, sekitar 3,8 juta tentara Blok Poros menyerang Uni Soviet, sekalipun Jerman dan Uni Soviet terikat Pakta Non-Agresi Molotov–Ribbentrop.[117] Selain tujuan yang dinyatakan Hitler untuk memperluas Lebensraum, serangan berskala besar ini (yang diberi nama sandi Operasi Barbarossa) bertujuan menghancurkan Uni Soviet dan merebut sumber daya alamnya untuk keperluan perang melawan negara-negara Barat.[118] Reaksi di kalangan warga Jerman adalah terkejut dan khawatir mengenai perang yang tampaknya semakin berkepanjangan atau meragukan bahwa bahwa Jerman dapat memenangkan perang yang terjadi di dua front.[119]
Invasi Jerman berhasil menaklukkan wilayah yang luas, termasuk negara-negara Baltik, Belarus, dan Ukraina barat. Setelah kemenangan Jerman dalam Pertempuran Smolensk pada bulan September 1941, Hitler memerintahkan Satuan Darat Grup Tengah agar berhenti mendekati Moskwa dan mengalihkan satuan-satuan Panzernya agar untuk sementara membantu pengepungan Leningrad dan Kiev.[120] Hal ini memberi jeda yang dimanfaatkan Angkatan Darat Soviet (Tentara Merah) untuk memobilisasi cadangan tentara baru. Serangan terhadap Moskwa dimulai lagi pada Oktober 1941, dan berakhir dengan kegagalan pada bulan Desember.[121] Pada 7 Desember 1941, Jepang menyerang Pearl Harbor, Hawaii. Empat hari kemudian, Jerman menyatakan perang terhadap Amerika Serikat,[122] walaupun Pakta Tripaktit tidak mewajibkan hal ini karena Jepang adalah pihak yang memulai serangan.[123]
Persediaan pangan menipis di wilayah Uni Soviet dan Polandia yang ditaklukkan Jerman karena saat dipukul mundur pasukan Soviet membakar habis banyak lahan pertanian dan sebagian besar sisanya dikirim ke Jerman.[124] Di Jerman sendiri, jatah makanan harus dikurangi pada tahun 1942. Sebagai pencanang Rencana Empat Tahun, Hermann Göring menuntut peningkatan pengiriman gandum dari Prancis dan ikan dari Norwegia. Panen tahun 1942 berjalan dengan baik, dan persediaan pangan tetap mencukupi di Eropa Barat.[125]
Jerman dan seluruh Eropa hampir sepenuhnya bergantung pada impor minyak asing.[126] Jerman sendiri sangat bergantung pada ladang minyak di Ploieşti, Rumania.[127] Untuk membuka sumber minyak baru, pada bulan Juni 1942 Jerman meluncurkan Fall Blau ("Kasus Biru"), sebuah serangan terhadap ladang minyak di Kaukasus.[128] Pasukan Poros terus maju dan Tentara Keenam Wehrmacht berhasil mencapai Stalingrad di Sungai Volga. Pada bulan November, pasukan Jerman telah menguasai sebagian besar kota tersebut, tetapi posisinya rentan karena Tentara Keenam berada jauh di garis depan dan sayapnya hanya dijaga Tentara Ketiga dan Keempat Rumania yang relatif lemah.[129] Hal ini dimanfaatkan Tentara Merah untuk melancarkan serangan balasan (Operasi Uranus) pada 19 November, yang membelah posisi Blok Poros sehingga Stalingrad terkepung pada 23 November.[130][131] Göring meyakinkan Hitler bahwa Stalingrad dapat dipasok melalui udara, tetapi hal ini mustahil dilakukan.[132] Hitler menolak mengizinkan pasukannya mundur sehingga menyebabkan gugurnya 200.000 tentara Jerman dan Rumania; dari 91.000 tentara yang akhirnya menyerah di Stalingrad pada 31 Januari 1943, hanya 6.000 orang yang selamat kembali ke Jerman setelah perang.[133]
Titik balik dan keruntuhan
Kekalahan Jerman terus meningkat setelah peristiwa Stalingrad, yang menyebabkan popularitas Partai Nazi menurun tajam dan memperburuk moral pasukan.[134] Tentara Soviet terus memukul Jerman ke arah barat setelah gagalnya serangan Jerman dalam Pertempuran Kursk pada musim panas 1943. Pada akhir 1943, Jerman kehilangan sebagian besar wilayah kekuasaannya di kawasan timur.[135] Di Mesir, Korps Afrika yang dikomandoi Marsekal Lapangan Erwin Rommel dikalahkan oleh pasukan Britania di bawah komando Marsekal Lapangan Bernard Montgomery pada Oktober 1942.[136] Sekutu mendarat di Sisilia pada bulan Juli 1943, pada bulan yang sama Mussolini digulingkan dan digantikan oleh Pietro Badoglio.[137] Pemerintahan Badoglio akhirnya menyerah pada Sekutu pada awal bulan September, sementara pasukan Sekutu mendarat di Italia Selatan dan wilayah Italia lainnya diduduki Jerman atau ditempatkan di bawah negara boneka Republik Sosial Italia.[138][139] Sementara itu, armada pengebom Amerika dan Britania yang memiliki pangkalan di Inggris mulai menggempur Jerman. Banyak serangan yang sengaja menyasar warga sipil dalam upaya menggoyahkan moral Jerman.[137] Produksi pesawat tempur Jerman tidak dapat mengimbangi jumlah pesawat yang hancur. Tanpa perlawanan angkatan udara Jerman, kampanye pengeboman Sekutu menjadi semakin dahsyat. Dengan menyasar kilang minyak dan pabrik, Sekutu melumpuhkan industri perang Jerman pada akhir 1944.[140]
Pada tanggal 6 Juni 1944, pasukan Amerika, Britania, dan Kanada melakukan pendaratan D-Day di Normandia dan membentuk front baru melawan Jerman.[141] Pada 20 Juli 1944, Hitler selamat dari percobaan pembunuhan oleh sebuah komplotan anti-Nazi di kalangan pejabat militer.[142] Ia memerintahkan pembalasan keras, mengakibatkan ditangkapnya sekitar 7.000 penangkapan dan hukuman mati terhadap 4.900 orang.[143] Jerman melancarkan serangan balik di hutan Ardennes (16 Desember 1944 – 25 Januari 1945); ini menjadi serangan besar terakhir Jerman di front barat, sedangkan di timur pasukan Soviet memasuki Jerman pada 27 Januari.[144] Hitler menolak menyerah dan bersikeras bahwa Jerman harus berjuang hingga titik darah penghabisan. Alhasil, perang terus berkobar dan kematian serta kehancuran berlanjut hingga masa akhir perang.[145] Melalui Menteri Kehakiman Otto Georg Thierack, Hitler memerintahkan siapa pun yang tidak siap berperang harus diadili di pengadilan militer, dan ribuan orang dihukum mati.[146] Di banyak daerah, warga Jerman menyerah kepada Sekutu yang mendekat meskipun ada imbauan dari pemimpin setempat untuk terus berjuang. Hitler memerintahkan penghancuran sarana transportasi, jembatan, industri, dan infrastruktur lainnya (strategi bumi hangus), tetapi Menteri Persenjataan Albert Speer diam-diam mengusahakan agar perintah ini tidak dilaksanakan sepenuhnya.[145]
Selama Pertempuran Berlin berkecamuk (16 April 1945 – 2 Mei 1945), Hitler dan stafnya tinggal di Führerbunker di bawah tanah sementara Tentara Merah terus mendekat.[147] Pada tanggal 30 April, ketika pasukan Soviet hanya berjarak dua blok dari Reichskanzlei, Hitler bersama kekasihnya Eva Braun melakukan bunuh diri.[148] Pada tanggal 2 Mei, Jenderal Helmuth Weidling menyerahkan Berlin tanpa syarat kepada Jenderal Soviet Vasily Chuikov.[149] Hitler digantikan oleh Laksamana Agung Karl Dönitz sebagai Presiden Reich dan Goebbels sebagai Kanselir.[150] Goebbels dan istrinya Magda bunuh diri pada hari berikutnya setelah membunuh enam anaknya.[151] Antara 4 dan 8 Mei 1945, sebagian besar tentara Jerman yang tersisa menyerah tanpa syarat. Instrumen Penyerahan Diri Jerman ditandatangani pada 8 Mei, menandai berakhirnya rezim Nazi dan mengakhiri Perang Dunia II di Eropa.[152]
Dukungan rakyat untuk Hitler hampir sepenuhnya hilang ketika perang hampir berakhir.[153] Angka bunuh diri di Jerman meningkat, khususnya di daerah-daerah tempat Tentara Merah menyerbu. Di kalangan prajurit dan anggota partai, bunuh diri dianggap sebagai cara terhormat dan heroik dibandingkan dengan menyerah. Sementara itu, desas-desus dan propaganda mengenai perilaku tak beradab tentara Soviet yang semakin mendekat menyebabkan kepanikan di kalangan warga sipil di Front Timur, terutama wanita yang takut diperkosa.[154] Jutaan warga sipil etnis Jerman melarikan dari wilayah-wilayah yang menjadi sasaran serangan Tentara Merah. Pengungsian ini mencapai puncaknya pada awal 1945: menurut perkiraan pemerintah Nazi, sekitar 8 juta warga sedang bergerak ke barat menuju Jerman pada pertengahan Februari 1945.[155] Sebagian menggunakan mobil atau kereta yang ditarik hewan, tetapi kebanyakan harus berjalan kaki di tengah musim dingin tanpa fasilitas memadai.[155] Di kawasan barat pun sebagian warga melarikan diri dari serangan Sekutu Barat menuju pusat Reich. Menurut sejarawan Richard J. Evans, "Di semua tempat di Jerman pada bulan-bulan awal 1945 orang-orang berpindah, hidup dengan ancaman kekerasan dan kematian yang terus menerus, menanti akhir [perang] dengan campuran ketakutan dan harapan."[156]
Korban jiwa Jerman
Perkiraan jumlah korban tewas akibat perang di Jerman berkisar antara 5,5 sampai 6,9 juta orang.[157] Penelitian oleh sejarawan Jerman, Rüdiger Overmans, menyebutkan jumlah tentara Jerman yang gugur dan hilang sebanyak 5,3 juta, termasuk 900.000 orang yang dikenakan wajib militer dari luar wilayah Jerman 1937.[158] Richard Overy memperkirakan pada tahun 2014 bahwa sekitar 353.000 warga sipil tewas dalam serangan udara Sekutu.[159] Kematian warga sipil lainnya meliputi 300.000 warga Jerman (termasuk Yahudi) yang menjadi korban persekusi politik, ras, dan agama oleh rezim Nazi,[160] dan 200.000 warga Jerman dibunuh dalam program eutanasia Nazi.[161] Pengadilan politik bernama Sondergerichte menjatuhkan hukuman mati terhadap sekitar 12.000 anggota perlawanan anti-Nazi di Jerman, dan pengadilan sipil menghukum mati 40.000 warga Jerman.[162] Pemerkosaan massal terhadap wanita Jerman juga terjadi.[163]
Pada akhir perang, Eropa menampung lebih dari 40 juta pengungsi,[164] perekonomian Jerman ambruk, dan 70 persen infrastruktur industri hancur.[165] Warga etnis Jerman yang tidak mengungsi dari Eropa tengah, timur, dan tenggara menderita pembalasan brutal serta pengusiran oleh Uni Soviet dan negara-negara yang kemudian berdiri seperti Polandia dan Cekoslowakia.[156] Sekitar 12 hingga 14 juta warga etnis Jerman melarikan diri atau diusir dari negara asalnya, baik pada masa akhir perang maupun setelah perang berakhir.[166] Pemerintah Jerman Barat memperkirakan sebanyak 2,2 juta warga sipil Jerman tewas dalam pelarian, pengusiran, dan kerja paksa di Uni Soviet.[167] Angka ini tetap tak terbantahkan sampai tahun 1990-an, ketika beberapa sejarawan menyebutkan jumlah korban jiwa hanya sebanyak 500.000–600.000.[168][169][170] Pada tahun 2006, pemerintah Jerman menegaskan kembali pernyataannya bahwa sebanyak 2-2,5 juta jiwa warga Jerman menjadi korban.[f]
Geografi
Perubahan wilayah selama Perang Dunia II
Akibat kekalahan Jerman dalam Perang Dunia I dan sesuai hasil Perjanjian Versailles, Jerman kehilangan Alsace-Lorraine, Schleswig Utara, dan Memel. Saarland untuk sementara menjadi protektorat Prancis sembari menunggu penduduknya melakukan referendum. Polandia menjadi negara baru dan diberi akses laut dengan didirikannya Koridor Polandia, yang memisahkan Prusia dari wilayah Jerman lainnya, sedangkan Danzig menjadi kota merdeka.[171]
Jerman kembali menguasai Saarland melalui referendum yang diselenggarakan pada tahun 1935 dan menganeksasi Austria melalui Anschluss pada tahun 1938.[172] Perjanjian München 1938 memberikan Sudetenland ke tangan Jerman, dan sebagian Cekoslowakia direbut enam bulan kemudian.[70] Di bawah ancaman invasi laut, Lituania menyerahkan distrik Memel pada bulan Maret 1939.[173]
Antara tahun 1939 dan 1941, tentara Jerman menginvasi Polandia, Denmark, Norwegia, Prancis, Luksemburg, Belanda, Belgia, Yugoslavia, Yunani, dan Uni Soviet.[97] Jerman menganeksasi Slovenia utara pada April 1941,[174] sedangkan Mussolini menyerahkan Trieste, Tirol Selatan, dan Istria kepada Jerman pada tahun 1943.[g][138] Daerah bekas Slovenia dan Italia ini kemudian digabungkan ke dalam Zona Operasi Pantai Adriatik serta Zona Operasi Kaki Pegunungan Alpen.[175]
Wilayah yang diduduki
Beberapa daerah yang ditaklukkan dijadikan wilayah Jerman, sejalan dengan tujuan jangka panjang Hitler untuk mendirikan Reich Jerman Raya. Beberapa wilayah, seperti Alsace-Lorraine, diletakkan di bawah wewenang Gau (distrik daerah). Reichskommissariate (Komisariat Reich), rezim mirip penguasa kolonial, didirikan di beberapa negara. Wilayah-wilayah yang berada di bawah pemerintahan langsung Jerman termasuk Protektorat Bohemia dan Moravia, Reichskommissariat Ostland (mencakup negara-negara Baltik dan Belarus), dan Reichskommissariat Ukraine. Wilayah-wilayah yang ditaklukkan di Belgia dan Prancis berada di bawah kendali Administrasi Militer Belgia dan Prancis Utara.[176] Eupen-Malmedy di Belgia, yang dulunya menjadi bagian Jerman sampai tahun 1919, dianeksasi. Sebagian Polandia digabungkan ke dalam wilayah Reich, sedangkan Pemerintahan Umum didirikan di Polandia tengah yang diduduki.[177] Pemerintahan Denmark, Norwegia (Reichskommissariat Norwegen), dan Belanda (Reichskommissariat Niederlande) berada di bawah wewenang pemerintah sipil yang umumnya dikelola oleh penduduk setempat.[176][h] Hitler ingin agar suatu saat semua wilayah ini digabungkan ke dalam pemerintahan Reich.[178] Jerman membentuk pemerintahan boneka di Serbia pada tahun 1941,[179] sedangkan Protektorat Italia di Albania dan Kegubernuran Italia di Montenegro diduduki pada tahun 1943 agar tidak jatuh ke tangan Sekutu selepas kapitulasi Kerajaan Italia.[180]
Perubahan pascaperang
Dengan disahkannya Deklarasi Berlin pada 5 Juni 1945 dan kemudian dibentuknya Dewan Kendali Sekutu, empat kekuatan Sekutu (Amerika Serikat, Uni Soviet, Britania Raya, dan Prancis) mengambil alih pemerintahan Jerman untuk sementara.[181] Dalam Konferensi Potsdam pada bulan Agustus 1945, Sekutu mengatur pendudukan Jerman dan proses denazifikasi negara tersebut. Jerman dipecah menjadi empat zona pendudukan, masing-masingnya diduduki tiap negara Sekutu, yang mengumpulkan pembayaran pampasan dari tiap zona. Karena sebagian besar kawasan industri berada di zona barat, Uni Soviet diberi penambahan pampasan.[182] Dewan Kendali Sekutu membubarkan Prusia pada 20 Mei 1947.[183] Bantuan ke Jerman mulai berdatangan dari Amerika Serikat melalui Rancangan Marshall pada tahun 1948.[184] Pendudukan Sekutu berlangsung sampai 1949, ketika Jerman Timur dan Jerman Barat didirikan. Pada tahun 1970, Jerman menyelesaikan masalah perbatasannya dengan Polandia melalui penandatanganan Perjanjian Warsawa.[185] Pada tahun 1990, kedua negara Jerman dan keempat negara Sekutu menandatangani Perjanjian Penyelesaian Akhir terhadap Jerman, yang menyetujui dilepaskannya klaim Sekutu atas Jerman, dan klaim Jerman atas wilayahnya yang hilang pada akhir Perang Dunia II. Jerman Barat dan Jerman Timur bersatu pada tahun yang sama.[186]
Politik
Ideologi
NSDAP adalah partai politik sayap kanan jauh yang muncul pada masa pergolakan sosial dan keuangan yang terjadi setelah berakhirnya Perang Dunia I. NSDAP awalnya kecil dan terpinggirkan, hanya meraih 2,6% suara federal dalam pemilu 1928, sebelum dimulainya Depresi Hebat pada tahun 1929.[187] Pada 1930, NSDAP meraih 18,3% suara federal, menjadikannya sebagai partai politik terbesar kedua Reichstag.[188] Ketika berada di penjara setelah upaya Bierkeller Putsch yang gagal pada 1923, Hitler menulis Mein Kampf, yang menjabarkan rencananya untuk mengubah masyarakat Jerman menjadi sebuah masyarakat berdasarkan ras.[189] Ideologi Nazi menyatukan unsur-unsur antisemitisme, kebersihan ras, dan eugenika, dan menggabungkannya dengan pan-Jermanisme dan perluasan wilayah yang bertujuan memperluas Lebensraum (ruang hidup) bagi bangsa Jerman.[190] Rezim ini berusaha mewujudkannya dengan menyerang Polandia dan Uni Soviet, bermaksud mendeportasi atau memusnahkan bangsa Yahudi dan Slavia yang tinggal di sana, yang dipandang lebih rendah dari ras unggul Arya dan dianggap bagian dari konspirasi Yahudi-Bolshevik.[191][192] Rezim Nazi meyakini bahwa hanya Jerman yang mampu mengalahkan kekuatan Bolshevisme dan menyelamatkan umat manusia dari penguasaan dunia oleh Yahudi Internasional.[193] Kelompok lainnya yang dianggap tidak layak hidup oleh Nazi meliputi difabel fisik dan mental, bangsa Rom, homoseksual, Saksi Yehuwa, dan orang yang menyimpang secara sosial.[194][195]
Rezim Nazi menentang modernisme budaya dan mendukung pembangunan militer yang luas dengan mengorbankan intelektualisme.[196][197] Kreativitas dan seni dikekang, kecuali jika bisa dimanfaatkan sebagai media propaganda.[198] Partai menggunakan simbol-simbol seperti Bendera Darah dan ritual seperti rapat raksasa Partai Nazi untuk menumbuhkan persatuan dan meningkatkan popularitas rezim.[199]
Pemerintahan
Hitler memerintah Jerman secara autokrasi dengan memaksakan Führerprinzip ("prinsip pemimpin"), yang mewajibkan kepatuhan mutlak bagi semua bawahan. Ia mengumpamakan struktur pemerintahan sebagai piramida dengan dirinya yang berada di puncak. Peringkat partai tidak ditentukan oleh pemilu, dan jabatan diisi melalui pengangkatan oleh pejabat yang berpangkat lebih tinggi.[200] Nazi menggunakan propaganda untuk membangun kultus kepribadian terhadap Hitler.[201] Sejarawan seperti Kershaw menggarisbawahi dampak psikologis keterampilan Hitler sebagai orator.[202] Roger Gill menyatakan: "Pidatonya yang mengharukan menawan pikiran dan hati banyak warga Jerman: ia benar-benar menghipnosis para pendengarnya."[203]
Walaupun para pejabat tinggi melapor kepada Hitler dan mengikuti kebijakannya, mereka memiliki otonomi yang cukup besar.[204] Hitler ingin agar para pejabatnya mengambil inisiatif dalam mengupayakan kebijakan dan tindakan yang sejalan dengan tujuan partai dan keinginan Hitler tanpa melibatkan dirinya dalam pengambilan keputusan sehari-hari.[205] Pemerintah Nazi berisi campuran faksi-faksi yang dipimpin oleh elite partai, yang bersaing memperoleh kekuasaan dan meraih dukungan sang Führer.[206] Gaya kepemimpinan Hitler adalah memberi perintah yang bertentangan kepada bawahannya dan memberikan mereka jabatan dengan tugas dan tanggung jawab yang tumpang tindih.[207] Melalui cara ini, ia memupuk persaingan dan pertikaian antar bawahannya dalam rangka menguatkan dan memaksimalkan kekuasaannya.[208]
Maklumat Reichsstatthalter yang dikeluarkan pada tahun 1933 sampai 1935 menghapuskan Länder (negara bagian) yang ada di Jerman dan menggantinya dengan daerah administrasi baru, Gaue, yang diperintah oleh para pemimpin NSDAP (Gauleiters).[209] Perubahan ini tidak sepenuhnya dilaksanakan karena Länder masih digunakan untuk beberapa departemen pemerintah seperti pendidikan. Hal ini menimbulkan kekacauan birokrasi akibat yurisdiksi dan tanggung jawab yang saling tumpang tindih.[210]
Pegawai negeri Yahudi diberhentikan pada tahun 1933, kecuali bagi yang pernah ikut dinas militer dalam Perang Dunia I. Anggota NSDAP atau simpatisan partai ditunjuk sebagai pengganti pegawai Yahudi yang diberhentikan.[211] Sebagai bagian dari proses Gleichschaltung, Undang-Undang Pemerintahan Daerah Reich 1935 menghapuskan pemilihan kepala daerah, dan wali kota ditunjuk oleh Kementerian Dalam Negeri.[212]
Hukum
Pada bulan Agustus 1934, aparatur sipil dan anggota militer diwajibkan bersumpah setia tanpa syarat kepada Hitler. Undang-undang ini menjadi dasar Führerprinzip, konsep bahwa titah Hitler mematahkan semua undang-undang yang ada.[213] Segala tindakan yang disetujui Hitler (bahkan pembunuhan) menjadi perbuatan yang sah.[214] Semua undang-undang yang diusulkan oleh menteri kabinet harus disetujui oleh kantor Wakil Führer Rudolf Hess, yang juga memiliki hak veto untuk menunjuk pejabat tinggi.[215]
Sebagian besar sistem peradilan dan undang-undang Republik Weimar tetap dipakai untuk menangani kejahatan nonpolitik.[216] Pengadilan memutuskan dan melaksanakan jauh lebih banyak hukuman mati dibandingkan dengan sebelum Nazi mengambil alih kekuasaan.[216] Terdakwa yang divonis dalam tiga atau lebih pelanggaran (bahkan pelanggaran kecil) dianggap sebagai pembuat onar dan dipenjara tanpa batas waktu.[217] Mencopet dianggap sebagai bukti kecacatan genetis dan pekerja seks komersial (yang sebelumnya cukup ditoleransi di Jerman) dianggap sebagai kelompok 'asosial'. Ribuan orang dianggap sudah melekat dengan sifat kriminal oleh polisi, jaksa, atau pengadilan, sehingga ditangkap dan dipenjara tanpa melalui sidang pengadilan.[218]
Jenis pengadilan baru, Volksgerichtshof ("Pengadilan Rakyat"), didirikan pada tahun 1934 untuk menangani kasus-kasus politik.[219] Pengadilan ini menjatuhkan lebih dari 5.000 hukuman mati hingga pembubarannya pada tahun 1945.[220] Hukuman mati dapat dijatuhkan untuk pelanggaran-pelanggaran seperti menjadi seorang komunis, mencetak selebaran hasutan, atau bahkan membuat lelucon mengenai Hitler atau pejabat Nazi lainnya.[221] Gestapo berperan sebagai polisi penyidik yang bertanggung jawab menegakkan ideologi Sosialis Nasional dengan melacak dan menangkap para pelanggar politik, Yahudi, dan kelompok lainnya yang tidak dikehendaki.[222] Pelanggar politik yang dibebaskan dari penjara sering kali ditangkap kembali oleh Gestapo dan dijebloskan ke kamp konsentrasi.[223]
Nazi menggunakan propaganda untuk menyebarluaskan konsep Rassenschande ("pencemaran ras") dalam rangka membenarkan kebutuhan akan hukum rasial.[224] Pada bulan September 1935, Undang-Undang Nürnberg diberlakukan. Undang-undang ini awalnya melarang hubungan seksual dan perkawinan antara bangsa Arya dan Yahudi, dan kemudian lebih luas lagi dengan menyertakan "Gipsi, Negro atau anak tidak sah mereka."[225] Undang-undang ini juga melarang mempekerjakan wanita Jerman yang berusia di bawah 45 tahun sebagai pembantu rumah tangga di keluarga Yahudi.[226] Undang-Undang Kewarganegaraan Reich menyatakan bahwa hanya orang-orang "berdarah Jerman atau berdarah terkait" yang berhak menjadi warga negara.[227] Dengan demikian, Yahudi dan non-Arya lainnya dicabut kewarganegaraan Jermannya. Undang-undang ini juga memperbolehkan Nazi menolak kewarganegaraan orang-orang yang tidak mendukung rezim.[227] Ketetapan tambahan dikeluarkan pada bulan November, yang mendefinisikan seseorang dianggap Yahudi jika tiga dari empat kakek-neneknya adalah Yahudi, atau dua jika ia menganut agama Yahudi.[228]
Militer dan paramiliter
Wehrmacht
Angkatan bersenjata terpadu Jerman dari tahun 1935 sampai 1945 disebut Wehrmacht (pasukan pertahanan). Pasukan ini meliputi Heer (Angkatan Darat), Kriegsmarine (Angkatan Laut), dan Luftwaffe (Angkatan Udara). Sejak 2 Agustus 1934, prajurit angkatan bersenjata diwajibkan bersumpah setia tanpa syarat kepada Hitler secara pribadi. Berbeda dengan sumpah sebelumnya, yang mensyaratkan kesetiaan kepada konstitusi negara dan badan-badan yang sah, sumpah baru ini mewajibkan prajurit militer untuk mematuhi Hitler, meskipun diperintahkan melakukan sesuatu yang ilegal.[229] Terlepas dari upaya untuk mempersiapkan negara secara militer, situasi perekonomian Jerman tidak dapat mendukung pelaksanaan perang berkepanjangan. Strategi baru dikembangkan berdasarkan taktik Blitzkrieg ("perang kilat"), yang menggunakan serangan terkoordinasi cepat dengan menghindari titik kuat musuh. Serangan dimulai dengan bombardir artileri, diikuti oleh pengeboman dan penggempuran dari udara. Kemudian pasukan tank menyerang, dan akhirnya satuan infanteri akan menyerbu masuk untuk mengamankan wilayah yang direbut.[230] Kemenangan Jerman berlanjut sampai pertengahan 1940, tetapi kegagalan melumpuhkan Britania menjadi titik balik kemunduran Jerman dalam peperangan. Keputusan menyerang Uni Soviet dan kekalahan besar di Stalingrad memukul pasukan Jerman hingga akhirnya mengalami kekalahan.[231] Jumlah prajurit yang bertugas di Wehrmacht dari tahun 1935 sampai 1945 sekitar 18,2 juta, 5,3 juta di antaranya gugur.[158]
Hitler menyatakan prajurit militer wajib membiarkan dan memberi dukungan logistik kepada Einsatzgruppen—regu pembunuh keliling yang membunuh jutaan nyawa di Eropa Timur—jika keadaan taktis memungkinkan.[232] Pasukan Wehrmacht juga berpartisipasi langsung dalam Holocaust dengan menembaki warga sipil atau melakukan genosida dengan kedok operasi antipartisan.[233] Simpatisan Partai Nazi menyerukan Yahudi adalah penghasut perjuangan partisan dan oleh sebab itu harus dimusnahkan.[234] Pada 8 Juli 1941, Heydrich mengumumkan bahwa segenap Yahudi di wilayah yang ditaklukkan di Eropa Timur harus dianggap sebagai partisan, dan memberikan perintah untuk menembaki semua lelaki Yahudi yang berusia 15 sampai 45 tahun.[235] Pada bulan Agustus, imbauan ini diperluas mencakup seluruh populasi Yahudi.[236]
SA dan SS
Sturmabteilung (SA; Detasemen Badai; Seragam Cokelat), didirikan pada 1921, adalah sayap paramiliter pertama NSDAP; tugas awalnya adalah melindungi para pemimpin Nazi dalam acara rapat dan pertemuan umum.[237] Pasukan ini juga ambil bagian dalam bentrokan jalanan melawan kekuatan partai politik saingan dan melakukan tindak kekerasan terhadap Yahudi dan kelompok lainnya.[238] Di bawah kepemimpinan Ernst Röhm, SA tumbuh pesat pada 1934, memiliki lebih dari 500 ribu anggota (4,5 juta jika termasuk pasukan cadangan) pada saat angkatan bersenjata negara masih dibatasi hanya boleh beranggotakan 100.000 tentara menurut Perjanjian Versailles.[239]
Röhm berhasrat mengambil alih komando angkatan bersenjata dan meleburnya ke dalam jajaran SA.[240] Hindenburg dan Menteri Pertahanan Werner von Blomberg mengancam akan memberlakukan darurat militer jika kegiatan SA tidak dibatasi.[241] Ini adalah salah satu penyebab Hitler memerintahkan pembunuhan pimpinan SA, termasuk Röhm, pada peristiwa "Malam Pisau Panjang" 1934. Setelah pembersihan tersebut, SA tidak lagi menjadi kekuatan utama.[38]
Satuan pengawal yang bernaung di bawah SA, Schutzstaffel (SS; Skuadron Perlindungan), awalnya merupakan satuan yang kecil, tetapi kemudian tumbuh menjadi salah satu kelompok bersenjata terbesar dan terkuat di Jerman Nazi.[242] SS dikomandoi oleh Reichsführer-SS Heinrich Himmler sejak tahun 1929 dan memiliki lebih dari 250 ribu prajurit pada tahun 1938.[243] Himmler awalnya berniat menjadikan SS sebagai regu pengawal elite, garis pertahanan terakhir Hitler.[244] Waffen-SS, satuan militer SS, berevolusi menjadi angkatan bersenjata tambahan bagi Jerman. Satuan ini bergantung pada angkatan bersenjata reguler untuk perlengkapan dan persenjataan berat, dan kebanyakan satuannya berada di bawah kendali taktis Komando Tinggi Angkatan Bersenjata (OKW).[245][246] Pada akhir 1942, seleksi dan persyaratan rasial yang sebelumnya diberlakukan ketat tak lagi dilakukan dalam perekrutan anggota SS. Setelah itu, Waffen-SS terus berkembang melalui perekrutan dan wajib militer, tetapi sejak 1943 mereka bukan lagi pasukan tempur elite.[247]
SS melakukan banyak kejahatan perang terhadap warga sipil dan tentara sekutu.[248] Sejak 1935, SS menjadi ujung tombak penindasan terhadap Bangsa Yahudi, yang kemudian dijebloskan ke dalam ghetto dan kamp konsentrasi.[249] Ketika Perang Dunia II pecah, satuan Einsatzgruppen SS mengikuti tentara Jerman ke Polandia dan Uni Soviet, dan dari tahun 1941 sampai 1945, satuan ini telah membunuh lebih dari dua juta orang, termasuk 1,3 juta orang Yahudi.[250] Sepertiga anggota Einsatzgruppen direkrut dari prajurit Waffen-SS.[251][252] SS-Totenkopfverbände (kepala satuan pembunuh) mengelola kamp konsentrasi dan kamp pemusnahan, tempat jutaan orang lainnya tewas.[253][254] Sebanyak 60.000 prajurit Waffen-SS bertugas di kamp Nazi.[255]
Pada tahun 1931, Himmler membentuk badan intelijen SS yang kelak bernama Sicherheitsdienst (SD; Dinas Keamanan) bersama wakilnya, Heydrich. [256] Organisasi ini bertugas melacak dan menangkap komunis dan lawan politik lainnya.[257][258] Himmler memrakarsai dimulainya ekonomi paralel di bawah naungan Kantor Pusat Ekonomi dan Administrasi SS. Departemen induk ini memiliki perusahaan perumahan, pabrik, dan penerbit.[259][260]
Ekonomi
Ekonomi dalam negeri
Saat meraih kekuasaan, permasalahan ekonomi paling mendesak yang dihadapi Nazi adalah angka pengangguran nasional yang mencapai 30 persen.[261] Hitler menunjuk ekonom Hjalmar Schacht, seorang teknokrat yang bukan anggota Partai Nazi, sebagai Presiden Reichsbank dan Menteri Perekonomian. Ia menciptakan skema pendanaan melalui defisit pada bulan Mei 1933, memodali proyek-proyek dengan penerbitan surat sanggup bayar yang disebut surat Mefo. Ketika surat Mefo dipakai sebagai alat bayar, Reichsbank mencetak uang. Hitler dan tim ekonominya mengharapkan perluasan wilayah akan menyediakan dana untuk membayar utang nasional yang melonjak.[262] Kebijakan Schacht mendongkrak lapangan pekerjaan melalui proyek-proyek pekerjaan umum dan berhasil mengurangi angka pengangguran dengan cepat, yang tercepat dari negara mana pun pada masa Depresi Hebat.[261] Namun, pemulihan ekonomi yang terjadi tidak merata; pengurangan jam kerja dan terganggunya ketersediaan kebutuhan pokok menyebabkan kekecewaan terhadap pemerintahan Nazi pada awal 1934.[263]
Pada Oktober 1933, pabrik pesawat Junkers diambil alih pemerintah. Setelah bekerja sama dengan produsen pesawat lain dan di bawah arahan Menteri Penerbangan Göring, produksinya meningkat. Dari 3.200 pekerja yang memproduksi 100 unit pesawat per tahun pada 1932, industri ini berkembang dengan mempekerjakan 250 ribu orang dan memproduksi lebih dari 10.000 pesawat sepuluh tahun kemudian.[264]
Birokrasi yang rumit diciptakan untuk mengatur impor bahan baku dan barang jadi dengan tujuan meniadakan persaingan asing di pasar Jerman dan dengan demikian meningkatkan neraca pembayaran negara. Nazi mendorong pengembangan industri bahan sintetis untuk menggantikan bahan seperti minyak dan tekstil.[265] Ketika pasar mengalami keberlimpahan dan harga minyak rendah, pada 1933 pemerintah Nazi menyepakati perjanjian bagi hasil dengan IG Farben, menjamin bahwa mereka memperoleh pengembalian modal 5 persen yang diinvestasikan di pabrik pengolahan minyak di Leuna. Perolehan laba yang melebihi jumlah tersebut akan disetorkan kepada Reich. Pada 1936, Farben menyesali kesepakatan tersebut karena investasi tersebut menghasilkan banyak kelebihan laba.[266] Dalam upayanya mengamankan pasokan minyak bumi yang memadai pada masa perang, Jerman menekan Rumania untuk menandatangani perjanjian dagang pada bulan Maret 1939.[267]
Proyek pekerjaan umum besar yang dibiayai dengan pengeluaran defisit meliputi pembangunan jaringan Autobahnen (jalan bebas hambatan) dan penyediaan dana bagi program yang diprakarsai pemerintah sebelumnya untuk perbaikan perumahan dan pertanian.[268] Untuk merangsang pertumbuhan industri konstruksi, kredit ditawarkan kepada bisnis swasta dan subsidi disediakan untuk pembelian dan perbaikan rumah.[269] Dengan persyaratan bahwa istri akan berhenti bekerja, pinjaman hingga 1.000 Reichsmark diberikan bagi pasangan muda keturunan Arya yang ingin menikah, dan jumlah yang harus dilunasi dipotong sebesar 25 persen untuk setiap anak yang dilahirkan.[270] Aturan wanita hanya boleh bekerja di rumah dicabut pada tahun 1937 karena terjadi kekurangan pekerja terampil.[271]
Hitler menginginkan kepemilikan mobil yang meluas sebagai bagian dari Jerman baru dan memerintahkan Ferdinand Porsche merancang KdF-wagen (mobil "Kuat dengan Sukacita"), dimaksudkan sebagai mobil yang bisa dibeli oleh semua kalangan. Sebuah prototipe ditampilkan dalam Pameran Motor Internasional di Berlin pada 17 Februari 1939. Dengan pecahnya Perang Dunia II, pabrik beralih fungsi memproduksi kendaraan militer. Tidak ada unit yang terjual hingga perang selesai, dan kelak mobil ini dinamai Volkswagen (mobil rakyat).[272]
Angka pengangguran mencapai enam juta orang saat Nazi mengambil alih kekuasaan pada tahun 1933 turun menjadi satu juta pada 1937.[273] Sebagian pengurangan ini diakibatkan dikeluarkannya wanita dari angkatan kerja.[274] Upah riil turun 25 persen antara tahun 1933 dan 1938.[261] Setelah pembubaran serikat buruh pada bulan Mei 1933, anggarannya disita dan para pemimpinnya ditangkap,[275] termasuk mereka yang mencoba bekerja sama dengan NSDAP.[30] Organisasi baru, Serikat Buruh Jerman, didirikan dan berada di bawah naungan fungsionaris NSDAP Robert Ley.[275] Rata-rata jam kerja mingguan adalah 43 jam pada tahun 1933, dan meningkat menjadi 47 jam pada 1939.[276]
Pada awal 1934, tujuan ekonomi bergeser ke arah mempersenjatai negara. Pada 1935, pengeluaran militer menghabiskan 73 persen dari total pengeluaran pemerintah.[277] Pada 18 Oktober 1936, Hitler menunjuk Göring sebagai Kepala Rencana Empat Tahun, yang bertujuan mempercepat proses persenjataan negara.[278] Selain mencanangkan pembangunan kilat pabrik baja, pabrik karet sintetis, dan pabrik lainnya, Göring menerapkan pengendalian harga dan upah serta membatasi penerbitan dividen saham.[261] Pengeluaran besar dianggarkan untuk persenjataan meskipun menimbulkan defisit.[279] Rencana yang diumumkan pada akhir 1938 untuk membangun angkatan laut dan angkatan udara secara besar-besaran tidak dapat diwujudkan karena Jerman kekurangan anggaran dan sumber daya material untuk membangun satuan militer yang direncanakan, serta akibat terbatasnya bahan bakar yang diperlukan untuk mengoperasikannya.[280] Dengan diperkenalkannya wajib militer pada tahun 1935, Reichswehr, yang dibatasi sampai 100.000 prajurit sesuai ketentuan Perjanjian Versailles, dikembangkan menjadi 750.000 prajurit yang aktif berdinas pada awal Perang Dunia II, dan satu juta lebih menjadi prajurit cadangan.[281] Pada Januari 1939, angka pengangguran turun menjadi 301.800 dan turun lagi menjadi 77.500 pada bulan September.[282]
Ekonomi masa perang dan kerja paksa
Ekonomi perang Nazi adalah ekonomi campuran yang menggabungkan pasar bebas dengan perencanaan terpusat. Menurut sejarawan Richard Overy, ekonomi Jerman Nazi berada di tengah-tengah ekonomi terencana ala Uni Soviet dan sistem kapitalis ala Amerika Serikat.[283]
Pada tahun 1942, setelah kematian Menteri Persenjataan Fritz Todt, Hitler menunjuk Albert Speer sebagai penggantinya.[284] Penjatahan barang-barang konsumsi pada masa perang menyebabkan meningkatnya tabungan individu, dan dananya kemudian dipinjamkan kepada pemerintah untuk membiayai perang.[285] Pada 1944, peperangan menguras 75 persen produk domestik bruto Jerman, lebih tinggi jika dibandingkan dengan 60 persen di Uni Soviet dan 55 persen di Britania Raya.[286] Speer meningkatkan produksi kebutuhan perang dengan meningkatkan perencanaan dan kendali terpusat, mengurangi produksi barang-barang konsumsi, dan memanfaatkan kerja paksa dan perbudakan.[287][288] Ekonomi masa perang Jerman pada akhirnya sangat bergantung pada pekerja paksa. Jerman mengimpor dan memperbudak sekitar 12 juta orang dari 20 negara Eropa untuk bekerja di pabrik dan ladang. Sekitar 75 persen di antaranya berasal dari Eropa Timur.[289] Pekerja ini banyak yang menjadi korban pengeboman Sekutu karena tidak menerima perlindungan memadai dari serangan udara. Kondisi hidup yang buruk menyebabkan tingginya angka penyakit, luka-luka, dan kematian, serta maraknya sabotase dan aksi kriminal.[290] Ekonomi masa perang juga bergantung pada perampasan besar-besaran, awalnya melalui penyitaan harta benda Yahudi oleh negara dan kemudian dengan menjarah sumber daya di wilayah yang diduduki.[291]
Pekerja asing yang dibawa ke Jerman digolongkan ke dalam empat klasifikasi: pekerja tamu, internir militer, pekerja sipil, dan pekerja Timur. Setiap kelompok tunduk pada peraturan yang berbeda. Nazi mengeluarkan larangan hubungan seksual antara warga Jerman dan pekerja asing.[292][293]
Pada tahun 1944, lebih dari setengah juta wanita bertugas sebagai regu penolong di angkatan bersenjata Jerman.[294] Jumlah wanita Jerman yang bekerja hanya meningkat sebanyak 271.000 (1,8 persen) dari 1939 sampai 1944.[295] Akibat dikuranginya produksi barang-barang konsumsi, para wanita hengkang dari industri tersebut dan kemudian bekerja di sektor ekonomi perang. Mereka juga melakukan pekerjaan yang sebelumnya dipegang oleh laki-laki, terutama di sektor pertanian dan di toko-toko milik keluarga.[296]
Pengeboman strategis besar-besaran oleh Sekutu menyasar kilang pengolahan minyak dan bensin, serta sistem transportasi Jerman, terutama jaringan rel dan terusan.[297] Industri persenjataan mulai lumpuh pada September 1944. Pada bulan November, bahan bakar batu bara tidak bisa lagi didistribusikan dan produksi persenjataan baru tak mungkin lagi dilakukan.[298] Menurut Overy, pengeboman Sekutu meningkatkan beban ekonomi perang Jerman dan memaksa mengalihkan seperempat tenaga kerja dan sektor industrinya untuk membangun pertahanan udara; menurut Overy pengalihan ini kemungkinan besar telah mempercepat berakhirnya perang.[299]
Eksploitasi keuangan di wilayah taklukan
Selama perang, Nazi melakukan banyak penjarahan di daerah Eropa yang diduduki. Sejarawan dan wartawan perang William L. Shirer menulis: "Jumlah total jarahan [Nazi] tidak akan pernah diketahui; terbukti melampaui yang dapat dihitung manusia secara akurat."[300] Cadangan emas dan harta asing lainnya disita dari bank nasional di negara yang diduduki, sedangkan "biaya pendudukan" yang besar dibebankan pada negara yang bersangkutan. Pada masa perang, Nazi menghitung biaya pendudukan yang diterimanya sebesar 60 miliar Reichsmark, dengan Prancis membayar sebesar 31,5 miliar. Banque de France terpaksa memberikan kredit sebesar 4,5 miliar Reichsmark kepada Jerman, sedangkan 500.000 Reichsmark dibebankan kepada Prancis Vichy oleh Nazi dalam bentuk "imbalan" dan biaya lain-lain. Nazi mengeksploitasi negara-negara taklukan lainnya dengan cara yang sama. Setelah perang, Survei Pengeboman Strategis Amerika Serikat menyimpulkan Jerman telah meraup 104 miliar Reichsmark dalam bentuk biaya pendudukan dan pemindahan kekayaan lainnya dari negara-negara Eropa yang diduduki, termasuk dua pertiga produk domestik bruto Belgia dan Belanda.[300]
Penjarahan Nazi juga meliputi koleksi seni pribadi dan publik, artefak, logam mulia, buku, dan barang pribadi. Hitler dan Göring secara khusus berhasrat menguasai karya seni rampasan dari negara Eropa yang diduduki Jerman:[301] Hitler berencana menyimpan karya seni curian tersebut di galeri Führermuseum (Museum Pemimpin) yang direncanakan dibangun,[302] sedangkan Göring ingin melengkapi koleksi pribadinya. Göring, yang menjarah hampir seluruh peninggalan karya seni Polandia dalam kurun enam bulan setelah invasi Jerman, berhasil mengumpulkan koleksi seni bernilai lebih dari 50 juta Reichsmark.[301] Pada tahun 1940, Gugus Tugas Reichsleiter Rosenberg dibentuk untuk menjarah karya seni dan peninggalan budaya dari koleksi publik dan pribadi, perpustakaan, dan museum di seluruh Eropa. Prancis mengalami penjarahan paling parah. Sekitar 26.000 gerbong kereta berisi harta karun seni, perabotan, dan barang jarahan lainnya dikirim ke Jerman dari Prancis.[303] Pada Januari 1941, Rosenberg memperkirakan harta yang dijarah dari Prancis bernilai lebih dari satu miliar Reichsmark.[304] Selain itu, tentara Jerman menjarah atau membeli hasil bumi dan pakaian (barang-barang yang semakin sulit didapatkan di Jerman) untuk dikirim pulang.[305]
Barang dan bahan baku juga dirampas. Di Prancis, sekitar 9.000.000 ton biji-bijian disita selama perang, termasuk 75 persen persediaan gandum. Selain itu, 80 persen cadangan minyak negara dan 74 persen produksi baja Prancis diangkut ke Jerman. Nilai hasil rampasan ini diperkirakan 184,5 miliar franc. Di Polandia, penjarahan bahan baku oleh Nazi telah dimulai sebelum invasi Jerman.[306]
Setelah Operasi Barbarossa, Uni Soviet juga dijarah. Pada tahun 1943 saja, 9.000.000 ton biji-bijian, 2.000.000 ton pakan, 3.000.000 ton kentang, dan 662.000 ton daging dikirim ke Jerman. Selama pendudukan Jerman, sekitar 12 juta babi dan 13 juta domba diambil. Nilai penjarahan ini diperkirakan mencapai 4 miliar Reichsmark. Nilai ini relatif rendah dibanding negara-negara yang diduduki di Eropa Barat, kemungkinan karena pertempuran sengit di Front Timur.[307]
Kebijakan rasial dan eugenika
Rasisme dan antisemitisme
Rasisme dan antisemitisme adalah prinsip dasar NSDAP dan rezim Nazi. Kebijakan rasial Jerman Nazi didasarkan pada kepercayaan terhadap keberadaan ras unggul. Nazi mendalilkan adanya konflik rasial antara ras unggul Arya dengan ras-ras rendahan, terutama Yahudi, yang dipandang sebagai ras campuran yang menyusup ke kalangan masyarakat dan bertanggung jawab atas eksploitasi dan penindasan ras Arya.[308]
Persekusi Yahudi
Awal kebijakan anti-Yahudi
Diskriminasi terhadap Yahudi dimulai segera setelah Hitler meraih kekuasaan. Menyusul serangkaian serangan sebulan penuh oleh anggota SA terhadap tempat usaha dan sinagoge Yahudi, pada 1 April 1933 Hitler mendeklarasikan pemboikotan nasional terhadap bisnis Yahudi.[309] Undang-Undang Pemulihan Kepegawaian Negeri Profesional yang disahkan pada 7 April memaksa semua pegawai negeri non-Arya untuk pensiun dari profesi hukum dan pegawai negeri.[310] Undang-undang serupa merampas hak kalangan profesional dan para praktisi Yahudi lainnya, dan pada 11 April, dikeluarkan maklumat yang menyatakan bahwa siapa pun yang memiliki satu orang tua atau leluhur Yahudi dianggap non-Arya.[311] Sebagai bagian dari upaya menghilangkan pengaruh Yahudi dari kehidupan budaya, anggota Liga Pelajar Sosialis Nasional memusnahkan buku-buku yang dianggap non-Jerman, dan pembakaran buku secara nasional diselenggarakan pada tanggal 10 Mei.[312]
Rezim Nazi menggunakan kekerasan dan tekanan ekonomi untuk mendorong Yahudi agar meninggalkan Jerman.[313] Perusahaan milik Yahudi tidak diberi akses pasar, dilarang beriklan, dan tidak diberi peluang ikut proyek pemerintah. Warga Yahudi dilecehkan dan menjadi sasaran kekerasan.[314] Banyak kota memasang rambu-rambu yang melarang masuknya Yahudi.[315]
Pada November 1938, seorang pemuda Yahudi meminta bertemu dengan duta besar Jerman di Paris dan diarahkan untuk menghadap sekretaris kedutaan; ia menembak mati sekretaris tersebut sebagai balasan atas perlakuan terhadap keluarganya di Jerman. Insiden ini dijadikan dalih oleh NSDAP untuk menghasut pogrom (kekerasan rasial) terhadap orang Yahudi pada tanggal 9 November 1938. Anggota SA merusak atau menghancurkan rumah peribadatan dan properti Yahudi di seluruh Jerman. Paling tidak 91 orang Yahudi Jerman dibunuh dalam pogrom ini, yang kemudian disebut Kristallnacht atau "Malam Kaca Pecah".[316][317] Pembatasan lebih lanjut diberlakukan terhadap Yahudi beberapa bulan berikutnya. Mereka dilarang memiliki usaha atau bekerja di toko-toko ritel, mengendarai mobil, pergi ke bioskop, mengunjungi perpustakaan, atau memiliki senjata, dan siswa Yahudi dikeluarkan dari sekolah. Komunitas Yahudi didenda satu miliar mark untuk membayar kerusakan akibat Kristallnacht, dan diberi tahu bahwa setiap pembayaran klaim asuransi akan disita.[318] Pada 1939, sekitar 250.000 dari 437.000 Yahudi Jerman beremigrasi ke Amerika Serikat, Argentina, Britania Raya, Palestina, dan negara lainnya.[319][320] Banyak yang memilih untuk tetap tinggal di benua Eropa. Emigran Yahudi ke Palestina diizinkan membawa harta benda ke sana berdasarkan ketentuan Perjanjian Haavara, tetapi sebagian besar Yahudi yang pindah ke negara lain harus meninggalkan hampir semua harta mereka di Jerman, yang kemudian disita oleh pemerintah.[320]
Holokaus dan Solusi Akhir
Setelah gagal menyerang Moskwa pada bulan Desember 1941, Hitler memutuskan seluruh Yahudi di Eropa harus segera dimusnahkan.[321] Pembantaian terhadap warga sipil Yahudi terus berlangsung di wilayah-wilayah pendudukan di Polandia dan Uni Soviet. Rencana pemusnahan seluruh populasi Yahudi Eropa (berjumlah sebelas juta jiwa) disahkan dalam Konferensi Wannsee pada 20 Januari 1942. Sebagian orang Yahudi akan dipekerjakan sampai mati dan sisanya akan dibunuh dalam rangka penerapan Solusi Akhir atas Permasalahan Yahudi.[322] Awalnya para korban dibunuh oleh regu tembak Einsatzgruppen kemudian melalui kamar gas atau mobil van gas, tetapi metode ini terbukti tidak praktis untuk operasi berskala besar.[323][324] Pada 1942, kamp-kamp pemusnahan yang dilengkapi dengan kamar gas didirikan di Auschwitz, Chełmno, Sobibor, Treblinka, dan tempat lainnya.[325] Jumlah keseluruhan Yahudi yang dibunuh diperkirakan 5,5 sampai enam juta,[254] termasuk lebih dari satu juta anak-anak.[326]
Sekutu menerima keterangan mengenai pembunuhan dari pemerintah Polandia di pengasingan dan pemimpin Polandia di Warsawa, kebanyakan bersumber dari laporan intelijen bawah tanah di Polandia.[327][328] Warga Jerman mengetahui apa yang terjadi karena tentara yang kembali dari wilayah pendudukan melaporkan apa yang telah mereka lihat dan lakukan.[329] Menurut sejarawan Richard J. Evans, sebagian besar warga Jerman menentang genosida tersebut.[330][i]
Persekusi Rom
Seperti halnya Yahudi, orang Rom menjadi sasaran persekusi sejak awal rezim. Kaum Rom dilarang menikah dengan warga Jerman. Mereka dikirim ke kamp konsentrasi mulai tahun 1935 dan banyak yang tewas.[194][195] Setelah invasi Polandia, 2.500 orang Rom dan Sinti dideportasi dari Jerman ke kawasan Pemerintahan Umum Polandia dan dipenjara di kamp-kamp kerja paksa. Para korban kemungkinan besar dibantai di Bełżec, Sobibor, atau Treblinka. Sementara itu, sekitar 5.000 orang Sinti dan Lalleri Austria dideportasi ke Ghetto Łódź pada akhir 1941, dengan setengahnya diperkirakan tewas. Orang Rom yang selamat dari ghetto kemudian dipindahkan ke kamp pemusnahan Chełmno pada awal 1942.[331]
Nazi bermaksud mendeportasi semua orang Rom dari Jerman dan mengurung mereka di Zigeunerlager (kamp Gipsi). Himmler memerintahkan deportasi orang Rom dari Jerman pada Desember 1942, dengan beberapa pengecualian. Sebanyak 23.000 orang Rom dideportasi ke kamp konsentrasi Auschwitz, 19.000 di antaranya tewas. Di luar Jerman, orang Rom dikerahkan sebagai buruh, dan banyak yang dibunuh. Di negara-negara Baltik dan Uni Soviet, 30.000 orang Rom dibunuh oleh SS, Tentara Jerman, dan Einsatzgruppen. Di wilayah Serbia yang diduduki, 1.000 sampai 12.000 orang Rom dibunuh, sedangkan hampir 25.000 orang Rom yang tinggal di Negara Merdeka Kroasia tewas. Pada akhir perang, diperkirakan jumlah korban jiwa sekitar 220.000, atau sekitar 25 persen dari populasi Rom di Eropa.[331]
Persekusi kelompok lainnya
Aksi T4 adalah program pembunuhan sistematis terhadap para penyandang disabilitas jasmani dan kejiwaan serta pasien di rumah sakit jiwa yang terjadi dari tahun 1939 sampai 1941, dan berlanjut hingga akhir perang. Awalnya, para korban ditembak oleh Einsatzgruppen dan satuan lainnya; kamar gas dan van gas bermuatan karbon monoksida digunakan pada awal 1940.[332][333] Di bawah Undang-Undang Pencegahan Penyakit Keturunan yang disahkan pada 14 Juli 1933, sekitar 400.000 pasien menjalani sterilisasi paksa.[334] Lebih dari setengahnya adalah pasien gangguan kejiwaan, yang tidak hanya mencakup orang-orang yang mendapat nilai buruk dalam uji kecerdasan, tetapi juga orang yang perilakunya menyimpang dari standar yang diharapkan dalam penghematan, perilaku seksual, dan kebersihan. Sebagian besar korban berasal dari kelompok terpinggirkan seperti pekerja seks, orang miskin, tunawisma, dan pelaku kriminal.[335] Kelompok lainnya yang dipersekusi dan dibunuh meliputi sekte Saksi Yehuwa, homoseksual, dan anggota oposisi politik dan agama.[195][336]
Generalplan Ost
Peperangan yang dikobarkan Jerman di Timur didasari oleh pandangan Hitler sejak lama bahwa Yahudi adalah musuh besar bangsa Jerman dan Lebensraum diperlukan untuk perluasan wilayah Jerman. Hitler memusatkan perhatiannya pada Eropa Timur dengan tujuan menaklukkan Polandia dan Uni Soviet.[191][192] Setelah pendudukan Polandia pada tahun 1939, semua orang Yahudi yang tinggal di daerah Pemerintahan Umum dikurung di ghetto, dan mereka yang sehat secara fisik diwajibkan melakukan kerja paksa.[337] Pada 1941, Hitler memutuskan untuk memusnahkan bangsa Polandia sepenuhnya; dalam kurun 15 sampai 20 tahun, Pemerintahan Umum direncanakan akan terbebas dari etnis Polandia dan dihuni kembali oleh pemukim Jerman.[338] Sekitar 3,8 sampai 4 juta warga Polandia diperbudak,[339] dan Nazi berencana memperbudak 14 juta orang dari negara-negara yang ditaklukkan.[192][340]
Generalplan Ost ("Rencana Umum untuk Kawasan Timur") menyerukan deportasi penduduk Eropa Timur dan Uni Soviet ke Siberia, yang akan dimanfaatkan sebagai buruh paksa atau dibantai.[341] Untuk menentukan siapa yang harus dibunuh, Himmler membentuk Volksliste, sistem klasifikasi penduduk yang dianggap berdarah Jerman.[342] Ia memerintahkan warga keturunan Jerman yang menolak diklasifikasikan sebagai etnik Jerman harus dideportasi ke kamp konsentrasi, dijadikan tenaga kerja paksa, atau anak-anak mereka harus diambil oleh negara.[343][344] Rencana tersebut juga mencakup penculikan anak-anak yang dianggap memiliki memiliki sifat Arya-Nordik yang menurut Nazi berasal dari keturunan Jerman.[345] Tujuan Nazi adalah melaksanakan Generalplan Ost setelah penaklukan Uni Soviet, tetapi ketika invasi gagal, Hitler harus mempertimbangkan pilihan lain.[341][346] Awalnya muncul beberapa gagasan seperti deportasi atau mendorong emigrasi Yahudi ke Palestina atau Madagaskar, tetapi rencana seperti ini tidak ada yang dapat diterapkan dengan mudah.[347][348] Akhirnya, pada Desember 1941 Hitler memutuskan bahwa "Solusi Akhir" untuk "Persoalan Yahudi" adalah dengan melakukan pembunuhan besar-besaran.[349]
Selain rencana melenyapkan Yahudi, Nazi juga berencana mengurangi populasi di wilayah yang ditaklukkan sebanyak 30 juta orang dengan cara melaparkan penduduk melalui aksi yang disebut Rencana Kelaparan. Persediaan pangan akan dialihkan untuk tentara dan warga sipil Jerman. Kota-kota dimusnahkan dan tanahnya dibiarkan menjadi hutan atau ditempati oleh pemukim Jerman.[350] Secara keseluruhan, Rencana Kelaparan dan Generalplan Ost diperkirakan akan menyebabkan kelaparan 80 juta penduduk di Uni Soviet.[351] Rencana ini sebagian terwujud dalam bentuk kematian demosida sekitar 19,3 juta warga sipil dan tawanan perang di Uni Soviet dan tempat lainnya di Eropa.[352] Semasa perang, sebanyak 27 juta penduduk Uni Soviet tewas; sekitar sembilan juta di antaranya gugur dalam pertempuran.[353] Satu dari empat penduduk Soviet tewas atau terluka.[354]
Penindasan etnik Polandia
Bangsa Polandia dipandang oleh Nazi sebagai bangsa non-Arya yang merupakan manusia rendahan, dan selama pendudukan Jerman, 2,7 juta orang Polandia dibantai.[355] Warga sipil Polandia menjadi sasaran kerja paksa bagi industri Jerman; mereka ditawan, diusir, dan dieksekusi secara massal untuk membuka lahan bagi pemukim Jerman. Pihak berwenang Jerman terlibat dalam upaya sistematis pemusnahan budaya dan identitas nasional Polandia. Selama operasi AB-Aktion, banyak dosen dan kaum inteligensia Polandia ditangkap, diangkut ke kamp konsentrasi, atau dieksekusi. Pada masa perang, Polandia kehilangan sekitar 39 sampai 45 persen dokter dan dokter gigi, 26 sampai 57 persen pengacara, 15 sampai 30 persen guru, 30 sampai 40 persen ilmuwan dan dosen, dan 18 sampai 28 persen pendeta.[356]
Penyiksaan tawanan perang Soviet
Nazi menahan 5,75 juta tawanan perang Soviet, jumlah yang terbanyak dari semua kekuatan Sekutu lainnya. Dari angka tersebut, sekitar 3,3 juta dibunuh,[357] dengan 2,8 juta di antaranya dibunuh pada bulan Juni 1941 sampai Januari 1942.[358] Banyak tawanan perang yang tewas kelaparan atau terpaksa melakukan kanibalisme saat ditahan di kandang terbuka di Auschwitz dan di tempat lainnya.[359]
Sejak 1942, tawanan perang Soviet dianggap sebagai sumber tenaga kerja dan menerima perlakuan lebih baik agar bisa bekerja.[360] Pada Desember 1944, 750.000 tawanan perang Soviet dipekerjakan, termasuk di pabrik-pabrik persenjataan Jerman (hal ini melanggar konvensi Den Haag dan Jenewa), tambang, dan sektor pertanian.[361]
Pemindahan etnis Jerman
Sebagai bagian dari kebijakan rasial Heim ins Reich, pemerintah Nazi juga berusaha "memulangkan" penduduk beretnis Jerman yang tersebar di berbagai belahan Eropa ke wilayah Jerman. Hitler menunjuk Heinrich Himmler sebagai "Komisioner Reich untuk Konsolidasi Etnis Jerman" pada Oktober 1939, dan melakukan pertukaran populasi dengan Uni Soviet sebelum Jerman berperang melawan negara tersebut.[362] Warga etnis Jerman ini (banyak yang melakukannya dengan sukarela) mengisi Lebensraum bangsa Jerman yang semakin meluas dengan aneksasi selama perang, dan menggantikan posisi etnis lain yang dibunuh (seperti Yahudi) atau diusir dari Jerman (seperti bangsa Prancis, Polandia, dan Slovenia).[363] Laporan pemerintah Jerman pada Juni 1944 menunjukkan bahwa lebih dari 1 juta etnis Jerman telah berhasil dimukimkan di wilayah Jerman, sebagian besar berasal dari kawasan Eropa Timur dan Tengah seperti Rusia, Volhinia, Galisia, dan Bessarabia.[364]
Masyarakat
Pendidikan
Undang-undang anti-Yahudi yang diberlakukan pada tahun 1933 mengakibatkan penghentian dari jabatan semua guru, dosen, dan pejabat Yahudi dalam sistem pendidikan. Sebagian besar guru diwajibkan menjadi anggota Nationalsozialistischer Lehrerbund (NSLB; Liga Guru Sosialis Nasional) dan dosen dipaksa bergabung dengan Liga Dosen Sosialis Nasional Jerman.[365][366] Para guru wajib bersumpah setia dan patuh kepada Hitler, dan jika gagal menyesuaikan diri dengan cita-cita partai, mereka akan dilaporkan oleh siswa atau rekan guru dan diberhentikan.[367][368] Kurangnya pendanaan gaji menyebabkan banyak guru berhenti mengajar. Rata-rata jumlah siswa per kelas meningkat dari 37 pada 1927 menjadi 43 pada 1938 karena kekurangan guru.[369]
Arahan-arahan yang sering kali saling bertentangan dikeluarkan oleh Menteri Dalam Negeri Wilhelm Frick, Bernhard Rust dari Kementerian Sains, Pendidikan dan Kebudayaan Reich, dan lembaga-lembaga lain mengenai kurikulum pelajaran dan buku teks yang boleh digunakan di sekolah dasar dan menengah.[370] Buku-buku yang tidak disetujui oleh rezim ditarik dari perpustakaan sekolah.[371] Pemikiran Sosialis Nasional wajib diajarkan sejak Januari 1934.[371] Siswa yang terpilih sebagai calon anggota elite partai memperoleh pendidikan khusus sejak usia 12 tahun di Sekolah Adolf Hitler untuk pendidikan dasar dan Institut Pendidikan Politik Nasional untuk pendidikan menengah. Indoktrinasi Sosialis Nasional yang terperinci terhadap calon pemangku jabatan elite militer dilaksanakan di NS-Ordensburgen.[372]
Kurikulum pendidikan dasar dan menengah berfokus pada biologi ras, kebijakan kependudukan, budaya, geografi, dan kebugaran jasmani.[373] Kurikulum di sebagian besar mata pelajaran, termasuk biologi, geografi, dan bahkan aritmetika, diubah dengan fokus terhadap ras.[374] Pendidikan militer menjadi komponen utama pendidikan jasmani, dan mata pelajaran fisika berorientasi pada materi kemiliteran, seperti balistik dan aerodinamika.[375][376] Siswa diwajibkan menonton semua film yang disiapkan oleh Kementerian Penerangan Umum dan Propaganda Reich.[371]
Di universitas, penunjukan pejabat tinggi menjadi subjek perebutan kekuasaan antara kementerian pendidikan, dewan universitas, dan Liga Mahasiswa Sosialis Nasional Jerman.[377] Meskipun ada tekanan dari Liga dan kementerian pemerintah, kebanyakan dosen tidak melakukan perubahan pada perkuliahan atau silabus selama periode Nazi.[378] Hal ini umumnya berlaku di universitas-universitas yang berlokasi di wilayah mayoritas Katolik.[379] Pendaftaran di universitas-universitas Jerman menurun dari 104.000 mahasiswa pada tahun 1931 menjadi 41.000 pada 1939, tetapi pendaftaran di sekolah-sekolah kedokteran meningkat tajam karena para dokter Yahudi dipaksa berhenti, sehingga lulusan kedokteran memiliki prospek pekerjaan yang bagus.[380] Sejak 1934, mahasiswa diwajibkan menghadiri sesi pelatihan militer yang dijalankan oleh SA.[381] Mahasiswa tahun pertama juga harus menjalani masa enam bulan di kamp kerja pada Dinas Buruh Reich, dan ditambah sepuluh minggu bagi mahasiswa tahun kedua.[382]
Perkembangan sains
Sebelum berkuasanya rezim Nazi, Jerman merupakan salah satu negara paling maju dalam bidang sains. Ilmuwan Jerman menjadi pakar di banyak cabang ilmu, terutama fisika atom dan mekanika kuantum.[383] Kebangkitan Nazi diiringi dengan pembersihan universitas dari akademisi non-Arya (terutama Yahudi) dan mereka yang dianggap menganut paham politik berseberangan dengan Nazi. Pada 1934 (tahun kedua kekuasaan Nazi), 1.600 dari 5.000 dosen telah diberhentikan, sepertiganya orang Yahudi dan sisanya akibat perbedaan politik. Ilmuwan-ilmuwan terkemuka Jerman, termasuk 20 orang yang pernah atau kelak akan mendapat Hadiah Nobel terpaksa keluar dari Jerman, di antaranya Albert Einstein dan Erwin Schrödinger.[384] Jabatan-jabatan penting di bidang penelitian dan pendidikan tinggi banyak diisi ilmuwan-ilmuwan pro-Nazi yang bermutu rendah dari segi keilmuan.[385]
Pada masa Nazi juga muncul ideologi yang menganggap bahwa sains sendiri memiliki karakter ras sehingga harus "dijermankan". Upaya paling keras terjadi di bidang fisika, dengan munculnya Deutsche Physik ("Fisika Jerman", juga disebut "Fisika Arya") yang diusung oleh fisikawan pemenang Nobel Philipp Lenard dan Johannes Stark. Menurut mereka, "Fisika Jerman" bersifat konkret dan menekankan eksperimen serta praktik. "Fisika Jerman" dianggap sebagai lawan dari "Fisika Yahudi" yang bersifat abstrak, teoretis, dan harus disingkirkan, seperti teori relativitas dan mekanika kuantum yang dikembangkan Einstein dan ilmuwan-ilmuwan lainnya.[386] Gagasan ini mendapat dukungan sebagian pihak dalam pemerintah, termasuk Menteri Dalam Negeri Frick dan fungsionaris-fungsionaris Partai Nazi.[387] Ilmuwan-ilmuwan non-Nazi yang masih bertahan di Jerman, terutama fisikawan terkemuka Werner Heisenberg, mencoba menghambat gagasan ini dengan melobi Kementrian Pendidikan dan menekankan pentingnya teori relativitas dan mekanika kuantum.[387] Sejak 1936, kedua kelompok tersebut menulis artikel-artikel yang saling menyerang dan pertikaian ini berujung pada sebuah debat pada November 1940 yang berakhir dengan ditariknya tuduhan sifat "Yahudi" terhadap fisika teoretis.[388]
Reaksi fisi nuklir ditemukan oleh ilmuwan Jerman Otto Hahn pada 1938 dan diketahui berpotensi menghasilkan daya ledak tinggi. Seiring pecahnya Perang Dunia II, ilmuwan-ilmuwan Jerman, termasuk Hahn dan Heisenberg, menawarkan penelitian reaktor nuklir dan bom atom dengan memanfaatkan penemuan tersebut. Tawaran ini disambut baik rezim Nazi, tetapi pada saat itu perkembangan sains di Jerman sudah tertinggal akibat pemberhentian dan keluarnya ilmuwan-ilmuwan terkemuka dari Jerman serta serangan intelektual terhadap fisika teoretis. Jika pada 1927 ilmuwan-ilmuwan Jerman menulis lebih banyak artikel ilmiah tentang fisika nuklir dibanding Amerika Serikat dan Britania Raya, pada 1939 Jerman hanya mengeluarkan 166 artikel sementara AS dan Britania total mengeluarkan 471.[388] Selain itu, upaya ini juga terhambat akibat kurangnya dana (sumber daya Jerman banyak terkuras untuk pengeluaran terkait perang), kurangnya organisasi terpadu antara kelompok-kelompok yang terlibat, kekurangan bahan baku, dan sabotase Sekutu terhadap pabrik air berat Norwegia yang dikendalikan Jerman.[389] Hingga akhir perang, ilmuwan Jerman belum berhasil menciptakan bom atom. Sementara itu, Proyek Manhattan di Amerika Serikat, dengan dana lebih besar serta ilmuwan dan bahan baku yang lebih banyak, akhirnya berhasil membuat senjata tersebut pada tahun 1945.[390]
Peran wanita dan keluarga
Wanita menjadi landasan kebijakan sosial Nazi. Nazi menentang feminisme dan mengklaim bahwa gerakan tersebut adalah ciptaan para cendekiawan Yahudi. Sebagai gantinya, Nazi mendorong pembentukan masyarakat patriarkal dan mendorong wanita Jerman untuk mengakui bahwa "dunianya adalah suami, keluarga, anak-anak, dan rumahnya."[274] Kelompok-kelompok feminis dibubarkan atau dipaksa bergabung dengan Liga Wanita Sosialis Nasional, yang mempromosikan kegiatan ibu rumah tangga di seluruh negara. Kursus-kursus pengasuhan anak, menjahit, dan memasak dilaksanakan. Feminis terkemuka, termasuk Anita Augspurg, Lida Gustava Heymann, dan Helene Stöcker, terpaksa hidup di pengasingan.[391] Liga Wanita Sosialis Nasional menerbitkan NS-Frauen-Warte, satu-satunya majalah wanita yang disetujui NSDAP di Jerman Nazi;[392] majalah ini memuat beberapa konten propaganda tetapi sebagian besar berisi seperti majalah wanita biasa.[393]
Wanita didorong meninggalkan dunia kerja, dan pembentukan keluarga besar oleh wanita Arya dikampanyekan dengan menggunakan propaganda. Wanita menerima medali Ehrenkreuz der Deutschen Mutter atau "Salib Kehormatan Ibu Jerman" berdasarkan jumlah anak yang mereka lahirkan; mereka dapat memperoleh medali perunggu jika melahirkan empat anak, perak untuk enam anak, dan emas untuk delapan anak atau lebih.[391] Keluarga besar menerima subsidi pemerintah untuk membantu menanggung pengeluaran. Meskipun langkah-langkah tersebut menyebabkan meningkatnya angka kelahiran, jumlah keluarga yang memiliki empat anak atau lebih menurun lima persen antara tahun 1935 dan 1940.[394] Mengeluarkan wanita dari angkatan kerja tidak berdampak membuka lapangan pekerjaan untuk pria karena pekerjaan yang ditinggalkan wanita adalah pembantu rumah tangga, penenun, atau pekerjaan di industri makanan dan minuman (pekerjaan-pekerjaan yang tidak diminati oleh pria).[395] Filosofi Nazi mencegah wanita dipekerjakan di pabrik amunisi perang, sehingga buruh asing dipekerjakan di sana. Setelah perang dimulai, budak dipekerjakan secara luas.[396] Pada Januari 1943, Hitler mengeluarkan maklumat yang mewajibkan semua wanita yang berusia di bawah lima puluh tahun bertugas membantu upaya perang.[397] Setelah itu, wanita dikerahkan bekerja di sektor pertanian dan industri, dan pada September 1944, 14,9 juta wanita bekerja dalam produksi amunisi.[398]
Para pemimpin Nazi menganut gagasan bahwa pekerjaan rasional dan teoretis tidak cocok bagi sifat wanita, sehingga mereka mencoba menghalangi upaya wanita untuk mengenyam pendidikan tinggi.[399] Undang-undang yang disahkan pada April 1933 membatasi jumlah wanita yang diterima di universitas maksimal sepuluh persen dari jumlah mahasiswa pria.[400] Jumlah siswi baru di sekolah menengah turun dari 437.000 pada tahun 1926 menjadi 205.000 pada tahun 1937. Jumlah wanita yang terdaftar di sekolah dasar turun dari 128.000 pada 1933 menjadi 51.000 pada 1938. Namun, karena pria mengikuti militer pada masa perang, jumlah wanita yang mendaftar sekolah menengah meningkat pada tahun 1944.[401]
Wanita diharapkan menjadi sosok kuat, sehat, serta penuh tenaga dan keberanian.[402] Wanita petani tangguh yang bekerja di ladang dan melahirkan anak-anak yang kuat dianggap sebagai sosok ideal, dan wanita dipuji jika memiliki tubuh atletis dan kulit kecokelatan karena bekerja di luar rumah.[403] Berbagai organisasi kepemudaan juga dibentuk untuk menanamkan nilai-nilai Nazi. Sejak 25 Maret 1939, keanggotaan Pemuda Hitler wajib bagi semua anak yang berusia di atas sepuluh tahun.[404] Jungmädelbund (Liga Anak Perempuan) adalah organisasi bagi anak perempuan yang berusia antara 10 sampai 14 tahun, sedangkan Bund Deutscher Mädel (BDM; Liga Putri Jerman) dibentuk untuk remaja putri berusia 14 sampai 18 tahun. Program BDM berfokus pada pendidikan jasmani dengan kegiatan seperti lari, lompat jauh, salto, lompat tali, gerak jalan, dan berenang.[405]
Rezim Nazi menerapkan kode etik yang sangat longgar dalam masalah seks dan bersimpati terhadap wanita yang melahirkan anak di luar nikah.[406] Pergaulan bebas meningkat saat perang berlangsung, dan serdadu yang belum menikah sering kali menjalin hubungan dengan banyak wanita secara bersamaan. Istri tentara sering terlibat hubungan di luar nikah. Seks terkadang digunakan sebagai iming-iming agar pekerja asing bekerja lebih baik.[407] Namun, selebaran-selebaran diedarkan untuk menghimbau wanita Jerman agar menghindari hubungan seksual dengan pekerja asing karena berbahaya bagi kemurnian darah mereka.[408]
Dengan persetujuan Hitler, Himmler ingin agar masyarakat Nazi tak lagi memiliki stigma buruk terhadap kelahiran di luar nikah, terutama anak-anak yang memiliki ayah anggota SS yang sudah diperiksa kemurnian rasnya.[409] Himmler ingin setiap keluarga anggota SS memiliki empat sampai enam anak.[409] Asosiasi Lebensborn (Air Mancur Kehidupan) yang didirikan oleh Himmler pada tahun 1935 membangun sejumlah rumah bersalin untuk menampung para wanita yang seorang diri pada masa kehamilan.[410] Kedua orang tua diperiksa kemurnian rasnya sebelum ditampung di sana.[410] Anak-anak yang dilahirkan sering kali diadopsi oleh keluarga anggota SS.[410] Rumah bersalin tersebut juga terbuka bagi istri anggota SS dan NSDAP, yang dengan cepat mengisi lebih dari setengah kamar yang tersedia.[411]
Hukum Jerman Nazi melarang aborsi kecuali karena alasan medis, dan aturan ini ditegakkan dengan ketat. Jumlah aborsi menurun dari 35.000 per tahun pada awal 1930-an menjadi kurang dari 2.000 per tahun pada akhir dasawarsa yang sama. Namun, pada tahun 1935, disahkan undang-undang baru yang memperbolehkan aborsi atas dasar eugenika, yaitu untuk mengurangi kelahiran manusia yang dianggap tidak dikehendaki.[412]
Kesehatan
Jerman menerapkan kebijakan antitembakau yang ketat, terutama setelah riset Franz H. Müller pada 1939 menunjukkan hubungan sebab akibat antara merokok dan kanker paru-paru.[413] Kantor Kesehatan Reich mengambil langkah-langkah untuk membatasi kegiatan merokok, termasuk mengadakan ceramah dan menyebar pamflet.[414] Merokok dilarang di tempat kerja, di kereta api, dan di kalangan anggota militer yang sedang bertugas.[415] Instansi pemerintah juga berupaya mengendalikan zat karsinogenik lainnya seperti asbestos dan pestisida.[416] Sebagai bagian dari kampanye kesehatan masyarakat, persediaan air dibersihkan, unsur timbal dan raksa dihilangkan dari produk konsumen, dan wanita didesak untuk menjalani pemeriksaan rutin kanker payudara.[417]
Asuransi kesehatan yang didanai pemerintah tersedia bagi warga negara, tetapi tertutup untuk warga Yahudi mulai tahun 1933. Pada tahun yang sama, dokter Yahudi dilarang merawat pasien yang diasuransikan pemerintah. Pada tahun 1937, dokter Yahudi dilarang merawat pasien non-Yahudi, dan pada 1938, hak mereka untuk berpraktik sebagai dokter dihapus sepenuhnya.[418]
Percobaan medis yang banyak dipengaruhi ilmu semu dilakukan terhadap tahanan kamp konsentrasi sejak tahun 1941.[419] Dokter yang paling dikenal sebagai pelaku percobaan manusia adalah SS-Hauptsturmführer Dr. Josef Mengele yang berperan sebagai dokter kamp di Auschwitz.[420] Sebagian besar korbannya meninggal dunia atau sengaja dibunuh.[421] Tahanan di kamp konsentrasi sendiri bisa dibeli oleh perusahaan farmasi untuk pengujian obat-obatan dan eksperimen lainnya.[422]
Pelestarian lingkungan
Terdapat kelompok-kelompok masyarakat di Jerman Nazi yang mendukung hak asasi hewan, dan banyak warga menggemari kebun binatang dan satwa liar.[423] Pemerintah mengambil beberapa langkah untuk memastikan perlindungan hewan dan lingkungan. Pada tahun 1933, Nazi memberlakukan undang-undang perlindungan hewan yang ketat terkait hewan yang boleh digunakan untuk riset medis.[424] Namun, penegakan undang-undang ini terbilang longgar, dan meskipun ada larangan pembedahan makhluk hidup, Kementerian Dalam Negeri dengan mudah memberikan izin eksperimen terhadap hewan.[425]
Kantor Kehutanan Reich di bawah kepemimpinan Göring memberlakukan peraturan yang mewajibkan rimbawan menanam berbagai pohon untuk memastikan agar ada habitat yang cocok bagi satwa liar.[426] Rezim Nazi juga mengesahkan Undang-Undang Perlindungan Alam Reich pada tahun 1935 untuk melindungi bentang alam dari pembangunan ekonomi yang berlebihan. Hal ini memungkinkan pengambilalihan tanah milik swasta untuk mendukung pelestarian alam dan membantu perencanaan jangka panjang.[427] Sementara itu, upaya kecil-kecilan dilakukan untuk mengatasi polusi udara, tetapi setelah perang dimulai, penegakan undang-undang yang sudah ada masih kurang.[428]
Penindasan gereja
Ketika Nazi merebut kekuasaan pada tahun 1933, sekitar 67 persen penduduk Jerman menganut agama Kristen Protestan, 33 persen Katolik Roma, sedangkan Yahudi hanya kurang dari 1 persen.[429][430] Menurut sensus 1939, 54 persen warga Jerman menganut agama Protestan, 40 persen Katolik Roma, 3,5 persen Gottgläubig ("percaya pada Tuhan"; sebuah gerakan keagamaan Nazi), dan 1,5 persen tidak beragama.[431]
Di bawah proses Gleichschaltung, Hitler berupaya menciptakan Gereja Reich Protestan dengan meleburkan 28 gereja negara bagian yang berhaluan Protestan di Jerman.[432] Tujuan akhirnya adalah menghilangkan seluruh gereja di Jerman.[433] Ludwig Müller yang pro-Nazi diangkat sebagai Uskup Reich dan kelompok lobi pro-Nazi bernama "Kristen Jerman" memperoleh kendali atas gereja baru ini.[434] Kelompok ini menolak Perjanjian Lama karena dianggap berasal dari kaum Yahudi, dan mereka menuntut agar orang Yahudi yang sudah memeluk agama Kristen dilarang memasuki gereja.[435] Pastor Martin Niemöller menanggapi hal tersebut dengan membentuk Bekennende Kirche ("Gereja yang Mengaku"), tempat sejumlah pemuka Kristen menentang rezim Nazi.[436] Ketika sinode Bekennende Kirche memprotes kebijakan Nazi mengenai agama pada tahun 1935, 700 pendeta ditangkap.[437] Müller kemudian mengundurkan diri dan Hitler menunjuk Hanns Kerrl sebagai Menteri Urusan Gereja sebagai kelanjutan dari upaya untuk mengendalikan agama Protestan.[438] Pada tahun 1936, seorang utusan Bekennende Kirche memprotes Hitler terkait penindasan agama dan pelanggaran hak asasi manusia.[437] Ratusan pendeta lalu ditangkap.[438] Meskipun demikian, gereja terus melakukan perlawanan, dan pada awal 1937, Hitler mengakhiri upayanya untuk menyatukan gereja-gereja Protestan.[437] Namun, Niemöller ditangkap pada 1 Juli 1937 dan dipenjara selama tujuh tahun di kamp konsentrasi Sachsenhausen dan Dachau.[439] Universitas-universitas teologi ditutup dan para pendeta dan teolog denominasi Protestan lainnya juga ditangkap.[437]
Penindasan terhadap Gereja Katolik di Jerman berlangsung setelah Nazi berkuasa.[441] Hitler bergerak cepat dalam membungkam gerakan politik Katolik. Di bawah kekuasaannya, para fungsionaris Partai Pusat Katolik dan Partai Rakyat Bayern ditangkap; partai-partai ini kemudian bubar bersama dengan semua partai politik non-Nazi lainnya pada Juli 1933.[442] Perjanjian Reichskonkordat (Konkordat Reich) dengan Vatikan ditandatangani pada tahun 1933 di tengah maraknya rongrongan terhadap gereja di Jerman.[334] Perjanjian tersebut mewajibkan rezim Nazi untuk menghormati independensi lembaga-lembaga Katolik dan melarang rohaniwan terlibat dalam politik.[443] Hitler sering mengabaikan Konkordat ini dan menutup semua lembaga Katolik yang fungsinya tidak murni berkaitan agama.[444] Rohaniwan, biarawati, dan pemimpin awam menjadi sasaran; ribuan ditangkap dengan tuduhan yang dibuat-buat seperti penyelundupan uang atau amoralitas.[445] Beberapa pemimpin Katolik menjadi sasaran pembunuhan selama tragedi Malam Pisau Panjang 1934.[446][447][448] Kebanyakan persatuan pemuda Katolik menolak membubarkan perkumpulan mereka, dan pemimpin Pemuda Hitler Baldur von Schirach mengimbau anggotanya untuk menyerang remaja Katolik di jalanan.[449] Kampanye-kampanye propaganda menuduh bahwa Gereja Katolik korup, sementara pertemuan publik untuk kaum Katolik dibatasi dan penerbit-penerbit Katolik disensor. Sekolah-sekolah Katolik diwajibkan mengurangi jam pelajaran agama dan salib disingkirkan dari gedung-gedung pemerintah.[450]
Paus Pius XI menerbitkan ensiklik "Mit brennender Sorge" ("Dengan Keprihatinan Mendalam") yang diselundupkan ke Jerman untuk Minggu Palma 1937 dan dibacakan di setiap mimbar, yang mengutuk sikap bermusuhan rezim Nazi terhadap gereja.[445][451] Sebagai tanggapan, Goebbels menindak keras dan meningkatkan propaganda terhadap umat Katolik. Pendaftaran di sekolah-sekolah agama menurun tajam, dan pada tahun 1939, seluruh sekolah Katolik dibubarkan atau diubah menjadi fasilitas umum.[452] Gereja Katolik kemudian kembali melayangkan protes lewat surat pastoral "Perjuangan menentang Kekristenan dan Gereja" yang ditulis oleh para uskup Jerman tanggal 22 Maret 1942.[453] Sekitar 30 persen imam Katolik pernah ditindak polisi dengan berbagai cara selama era Nazi, termasuk sebagian yang sampai dipenjara.[454] Terdapat banyak mata-mata yang mengawasi kegiatan para rohaniwan, sementara pastor-pastor yang dianggap membahayakan ditangkap atau dikirim ke kamp konsentrasi—terutama ke barak khusus rohaniwan di Dachau.[455] Di wilayah Polandia yang diduduki pada tahun 1939, Nazi melancarkan penumpasan dan pembubaran Gereja Katolik secara sistematis.[456][457]
Alfred Rosenberg, kepala Kantor Luar Negeri NSDAP dan pemimpin budaya dan pendidikan yang ditunjuk Hitler untuk Jerman Nazi, menganggap Gereja Katolik sebagai salah satu musuh besar Nazi. Ia merencanakan "pemusnahan kepercayaan Kristen asing yang diimpor ke Jerman", dan agar Alkitab dan salib Kristen di semua gereja, katedral, dan kapel diganti dengan buku Mein Kampf dan simbol swastika. Sekte Kristen lainnya juga dijadikan target; Ketua NSDAP-Kanzlei Martin Bormann secara terbuka menyatakan pada tahun 1941, "Sosialis Nasional dan Kekristenan tidak bisa disatukan."[433] Shirer menulis bahwa penentangan terhadap Kristen di dalam tubuh NSDAP begitu mengakar sehingga "Rezim Nazi berniat memberantas Agama Kristen di Jerman jika memungkinkan, dan menggantinya dengan paganisme lama dewa-dewa Jermanik serta paganisme baru para ekstremis Nazi."[433]
Gerakan anti-Nazi
Meskipun tidak ada gerakan perlawanan terpadu yang menentang rezim Nazi di dalam negeri, tindakan pembangkangan oleh individu atau kelompok tertentu kerap terjadi, seperti sabotase, pemogokan kerja, hingga upaya menggulingkan rezim atau membunuh Hitler.[458] Partai Komunis dan Partai Demokrat Sosial (yang statusnya sudah terlarang) membentuk jaringan perlawanan pada pertengahan 1930-an. Jaringan ini hanya berhasil memicu gangguan dan memulai mogok kerja yang tidak berlangsung lama.[459] Politikus Carl Friedrich Goerdeler yang awalnya mendukung Hitler berubah pikiran pada tahun 1936 dan kemudian ikut serta dalam komplotan 20 Juli.[460][461] Jaringan mata-mata Orkestra Merah memberikan informasi kepada Sekutu mengenai kejahatan perang Nazi, membantu merencanakan pelarian dari Jerman, dan membagikan selebaran. Kelompok ini diciduk Gestapo dan lebih dari 50 anggotanya diadili dan dihukum mati pada tahun 1942.[462] Kelompok perlawanan Partai Komunis dan Partai Demokrat Sosial memulai kembali kegiatan perlawanan pada akhir 1942, tetapi tidak mampu berbuat banyak selain membagikan selebaran. Kedua kelompok tersebut menganggap satu sama lain sebagai saingan potensial di Jerman pascaperang, dan kegiatan perlawanan mereka pada umumnya tidak terkoordinasi.[463] Kelompok perlawanan Mawar Putih beroperasi pada tahun 1942-1943, dan kebanyakan anggotanya ditangkap atau dihukum mati, dengan penangkapan terakhir terjadi pada tahun 1944.[464] Kelompok perlawanan sipil lainnya, Lingkaran Kreisau, menjalin koneksi dengan orang dalam militer, dan banyak anggotanya ditangkap setelah gagalnya upaya komplotan 20 Juli.[465]
Meskipun upaya perlawanan sipil berdampak terhadap opini publik, tentara adalah satu-satunya organisasi yang memiliki kemampuan menggulingkan pemerintah.[466][467] Sebuah komplotan perlawanan yang beranggotakan para petinggi militer terbentuk pada tahun 1938. Kelompok ini meyakini bahwa Britania Raya akan menyatakan perang terhadap Jerman setelah Hitler berencana menginvasi Cekoslowakia, dan Jerman akan kalah. Kelompok ini berkomplot menggulingkan dan membunuh Hitler. Anggotanya termasuk Generaloberst Ludwig Beck, Generaloberst Walther von Brauchitsch, Generaloberst Franz Halder, Laksamana Wilhelm Canaris, dan Generalleutnant Erwin von Witzleben, yang bergabung dalam konspirasi pimpinan Oberstleutnant Hans Oster dan Mayor Helmuth Groscurth dari Abwehr. Rencana kudeta dibatalkan setelah penandatanganan Perjanjian München pada bulan September 1938.[468] Sejumlah tokoh juga terlibat dalam kudeta yang direncanakan pada tahun 1940, tetapi lagi-lagi para anggotanya berubah pikiran dan mundur, sebagian karena naiknya popularitas Nazi setelah kemenangan-kemenangan awal dalam perang.[469][470] Upaya pembunuhan Hitler direncanakan dengan serius pada tahun 1943, ketika Henning von Tresckow bergabung dengan kelompok Oster dan berupaya meledakkan pesawat Hitler pada 1943. Rangkaian upaya membunuh Hitler terus berlanjut hingga akhirnya terjadi peristiwa 20 Juli 1944, bagian dari Operasi Walküre. Salah satu faktor pendorong rencana pembunuhan ini adalah meningkatnya risiko kekalahan Jerman dalam perang.[471][472] Dalam peristiwa ini, Kolonel Claus von Stauffenberg memasang bom di ruang rapat markas militer Hitler di Rastenburg. Hitler, yang nyaris terbunuh dalam ledakan bom tersebut, kemudian memerintahkan pembalasan besar-besaran yang mengakibatkan dijatuhkannya hukuman mati terhadap lebih dari 4.900 orang.[473]
Budaya
Jika pengalaman Reich Ketiga mengajarkan kita sesuatu, itu adalah mencintai mahakarya musik, seni, dan literatur tidak memberi rakyat kekebalan moral atau politik apa pun terhadap kekerasan, kekejaman, atau tunduk pada kediktatoran.
Rezim Nazi mempromosikan konsep Volksgemeinschaft, yaitu komunitas etnik bangsa Jerman. Tujuannya adalah membangun masyarakat tanpa kelas yang didasarkan pada kemurnian ras dan kebutuhan untuk mempersiapkan peperangan, penaklukan, dan perjuangan melawan Marxisme.[474][475]
Pada 1933, Barisan Buruh Jerman mendirikan organisasi Kraft durch Freude (KdF; Kuat melalui Sukacita). Selain mengambil kendali puluhan ribu klub rekreasi swasta, organisasi ini menawarkan liburan dan hiburan yang diatur sangat ketat, seperti berlayar di kapal pesiar, mengunjungi tempat-tempat wisata, dan konser.[476][477] Reichskulturkammer (Dewan Budaya Reich) dikelola oleh Kementerian Propaganda pada bulan September 1933. Seksi-seksi dewan dibentuk untuk mengendalikan aspek kehidupan budaya seperti film, radio, surat kabar, seni rupa, musik, teater, dan sastra. Anggota profesi ini diwajibkan bergabung dengan serikat pekerja masing-masing. Yahudi dan kelompok yang dianggap tidak terandalkan secara politik tidak diperbolehkan bekerja di bidang seni, dan akibatnya banyak yang beremigrasi. Buku-buku dan naskah-naskah harus disetujui oleh Kementerian Propaganda sebelum diterbitkan. Standar hiburan semakin memburuk ketika rezim berusaha memanfaatkan sektor budaya agar hanya menjadi media propaganda.[478]
Radio menjadi populer di Jerman pada tahun 1930-an; lebih dari 70 persen rumah tangga memiliki pesawat radio pada 1939, lebih banyak dari negara mana pun. Pada Juli 1933, dilakukan pembersihan karyawan stasiun-stasiun radio dari simpatisan sayap kiri maupun kelompok-kelompok lainnya yang tidak dikehendaki pemerintah.[479] Propaganda dan pidato menjadi konten siaran radio yang lazim setelah Hitler berkuasa, tetapi kemudian Goebbels berkeras agar musik juga banyak disiarkan supaya pendengar tidak beralih ke siaran radio asing untuk mencari hiburan.[480]
Penyensoran
Seperti media lainnya, surat kabar di Jerman Nazi dikendalikan oleh negara. Dewan Media Reich memberedel atau membeli surat kabar dan penerbit. Pada tahun 1939, lebih dari dua pertiga surat kabar dan majalah dimiliki langsung oleh Kementerian Propaganda.[481] Surat kabar harian NSDAP, Völkischer Beobachter ("Pengamat Etnik"), disunting oleh Rosenberg, yang juga menulis Mitos Abad Keduapuluh, sebuah buku berisi teori ras yang mengagungkan keunggulan ras Nordik.[482] Goebbels mengendalikan kantor-kantor berita dan memerintahkan agar semua surat kabar di Jerman hanya boleh menerbitkan konten yang positif bagi rezim. Di bawah arahan Goebbels, Kementerian Propaganda mengeluarkan lebih dari dua puluh instruksi setiap minggu mengenai berita apa yang boleh dipublikasikan dan sudut pandang apa yang harus digunakan; surat kabar umumnya mengikuti instruksi ini dengan cermat, terutama mengenai berita yang tidak boleh dimuat.[483] Jumlah pembaca surat kabar merosot, sebagian disebabkan oleh menurunnya mutu konten dan sebagian karena meningkatnya popularitas radio.[484] Propaganda menjadi kurang efektif menjelang akhir perang karena masyarakat bisa memperoleh informasi di luar saluran resmi pemerintah.[485]
Para penulis buku berbondong-bondong meninggalkan Jerman dan beberapa penulis menulis materi yang mengkritik rezim ketika berada di pengasingan. Goebbels menyarankan agar penulis yang tersisa berkonsentrasi menulis buku-buku bertema mitos Jerman dan konsep nasionalis darah dan tanah (Blut und Boden). Pada akhir 1933, lebih dari seribu buku dilarang oleh rezim Nazi (sebagian besar ditulis oleh penulis atau tokoh-tokoh Yahudi).[486] Pembakaran buku kemudian dilancarkan; sembilan belas pembakaran dilaksanakan secara serentak pada malam 10 Mei 1933.[384] Puluhan ribu buku karangan puluhan tokoh, termasuk Albert Einstein, Sigmund Freud, Helen Keller, Alfred Kerr, Marcel Proust, Erich Maria Remarque, Upton Sinclair, Jakob Wassermann, H. G. Wells, dan Émile Zola dibakar di depan umum. Karya-karya pasifisme dan literatur yang memuat nilai-nilai liberal dan demokratis turut menjadi sasaran pembakaran, dan begitu pula dengan tulisan-tulisan yang mendukung Republik Weimar atau yang ditulis oleh penulis Yahudi.[487]
Arsitektur dan seni
Hitler menaruh minat pribadi terhadap arsitektur dan bekerja sama dengan arsitek negara Paul Troost dan Albert Speer untuk membangun gedung publik dengan gaya neoklasik berdasarkan arsitektur Romawi.[488][489] Speer membangun struktur besar seperti lapangan rapat raksasa partai Nazi di Nürnberg dan gedung Reichskanzlei baru di Berlin.[490] Rencana Hitler untuk membangun kembali Berlin meliputi pembangunan kubah raksasa yang terinspirasi Pantheon di Roma serta lengkung kemenangan berukuran dua kali lebih tinggi dari Arc de Triomphe di Paris. Namun, tidak ada satu pun dari struktur raksasa ini yang jadi dibangun.[491]
Keyakinan Hitler bahwa seni berhaluan abstrak, dadaisme, ekspresionis, dan modern merupakan suatu kemunduran dijadikan dasar kebijakan seni Nazi.[492] Ia menyebut bahwa "karya seni yang tidak dapat dipahami kecuali dengan kumpulan instruksi yang panjang ... tak akan lagi menjangkau bangsa Jerman dengan terbuka."[493] Banyak direktur museum seni yang dipecat pada tahun 1933 dan digantikan oleh simpatisan partai.[494] Sekitar 6.500 karya seni modern dikeluarkan dari museum dan diganti dengan karya-karya yang dipilih oleh Nazi.[495] Karya-karya seni yang ditolak dipamerkan dengan judul seperti "Kemerosotan Seni" di enam belas kota berbeda pada tahun 1935. Pameran Seni yang Merosot (yang diprakarsai oleh Goebbels) diselenggarakan di München dari bulan Juli sampai November 1937. Pameran ini sangat populer dan menarik lebih dari dua juta pengunjung.[496]
Komposer Richard Strauss ditunjuk sebagai presiden Reichsmusikkammer (Dewan Musik Reich) setelah pendiriannya pada November 1933.[497] Seperti bidang seni lainnya, Nazi mengucilkan musikus dari golongan yang tidak dikehendaki dan melarang pertunjukan musik yang terlalu modern atau atonal.[498] Jaz dianggap sangat tidak pantas dan musisi jaz asing meninggalkan Jerman atau diusir.[499] Hitler sendiri menyukai musik Richard Wagner, terutama karya-karya yang didasari oleh mitos Jerman dan kisah-kisah heroik, dan ia menyaksikan Festival Bayreuth setiap tahun dari 1933 sampai 1942.[500]
Film
Film sangat populer di Jerman pada dasawarsa 1930-an dan 1940-an; selama 1942, 1943, dan 1944 total penonton bioskop mencapai satu miliar.[501][502] Pada 1934, peraturan Jerman yang membatasi pengiriman uang ke luar negeri menyulitkan pembuat film Amerika Serikat untuk membawa pulang keuntungan di Jerman, sehingga studio-studio film besar menutup cabangnya di negara tersebut. Ekspor film Jerman merosot karena kontennya yang berbau anti-Yahudi tidak dapat ditayangkan di negara lain. Dua perusahaan film terbesar, Universum Film AG dan Tobis, dibeli oleh Kementerian Propaganda, dan pada 1939 perusahaan-perusahaan yang dikendalikan negara memproduksi sebagian besar film Jerman. Produksi film tidak selalu berisi propaganda terang-terangan, tetapi pada umumnya memiliki subteks politik dan mengikuti arahan partai terkait tema dan konten. Selain itu, naskah film terlebih dahulu menjalani proses prasensor.[503]
Film 1935 berjudul Triumph des Willens (yang mendokumentasikan Rapat Raksasa Nürnberg 1934) dan film 1938 Olympia (meliput Olimpiade Musim Panas 1936) karya Leni Riefenstahl memelopori teknik penyuntingan dan pergerakan kamera yang memengaruhi film-film berikutnya. Teknik-teknik baru digunakan, misalnya lensa telefoto dan kamera yang diberi roda di atas lintasan. Kedua film tersebut masih dianggap kontroversial karena nilai estetikanya tidak dapat dipisahkan dari propaganda cita-cita Sosialis Nasional.[504][505]
Peninggalan sejarah
Seusai Perang Dunia II, pihak Sekutu menggelar pengadilan kejahatan perang untuk tokoh-tokoh Nazi, dimulai dengan peradilan Nürnberg yang digelar dari November 1945 hingga Oktober 1946 terhadap 23 pejabat tinggi Nazi. Para petinggi ini dikenakan empat dakwaan yang terkait dengan hukum kemanusiaan internasional, yaitu "konspirasi melakukan kejahatan terhadap perdamaian", "kejahatan terhadap perdamaian", "kejahatan perang", dan "kejahatan kemanusiaan".[506] Semua terdakwa (kecuali tiga) dinyatakan bersalah dan dua belas dari mereka dijatuhi hukuman mati.[507] Dua belas pengadilan lanjutan terhadap 184 terdakwa kemudian digelar antara tahun 1946 sampai 1949.[506] Dari tahun 1946 hingga 1949, Sekutu menyelidiki 3.887 perkara, dan 489 di antaranya disidangkan. Pada akhirnya terdapat 1.426 orang yang terbukti bersalah; 297 dari mereka dijatuhi hukuman mati dan 279 lainnya dipenjara seumur hidup, sementara sisanya menerima hukuman yang lebih ringan. Sekitar 65 persen hukuman mati yang telah dijatuhkan benar-benar dilaksanakan.[508] Polandia lebih aktif daripada negara-negara lain dalam menyelidiki kejahatan perang; sebagai contoh, Polandia mendakwa 673 dari total 789 pegawai Auschwitz yang dibawa ke meja hijau.[509]
Program politik yang didukung oleh Hitler dan NSDAP telah mengakibatkan perang dunia yang berujung pada kehancuran dan kemelaratan Eropa. Jerman sendiri mengalami kehancuran besar-besaran, dan akhir Perang Dunia II dijuluki Stunde Null (Pukul Nol).[510] Jumlah warga sipil yang tewas dalam Perang Dunia II merupakan yang terbesar dalam sejarah dunia.[511] Akibatnya, ideologi dan tindakan Nazi sering kali dianggap tidak bermoral.[512] Sejarawan, filsuf, dan politikus sering menggunakan kata "jahat" (evil) untuk menggambarkan Hitler dan rezim Nazi.[513] Penggunaan simbol Nazi seperti bendera, swastika, atau hormat Nazi bahkan dikenakan pidana di Jerman dan Austria.[514][515]
Proses denazifikasi Jerman yang diprakarsai oleh Sekutu sebagai cara untuk melenyapkan anggota Partai Nazi tidak sepenuhnya berhasil karena tingginya kebutuhan para ahli di bidang-bidang seperti kedokteran dan teknik. Sementara itu, pandangan Nazi dianggap tabu, dan mereka yang mengungkapkan pandangan tersebut sering kali diberhentikan dari pekerjaan.[516] Sejak periode pascaperang sampai tahun 1950-an, masyarakat Jerman menghindari pembicaraan mengenai rezim Nazi atau pengalaman masa perang. Walaupun keluarga-keluarga Jerman yang menjadi korban perang memiliki kisah mereka sendiri, warga Jerman tetap bergeming terkait dengan hal tersebut dan malah menanggung semacam "rasa bersalah bersama" meskipun tidak semuanya terlibat langsung dalam kejahatan perang.[517]
Persidangan Adolf Eichmann pada tahun 1961 dan ditayangkannya miniseri televisi Holocaust pada 1979 membawa proses Vergangenheitsbewältigung (menghadapi masa lalu) pada banyak warga Jerman.[518][517] Setelah pelajaran tentang Jerman Nazi mulai diperkenalkan ke dalam kurikulum sekolah sejak dasawarsa 1970-an, masyarakat mulai mencari tahu pengalaman anggota keluarga mereka. Kajian terhadap era Nazi dan kemauan untuk mengakui dan mengkritisi kesalahan-kesalahan masa lalu menjadi faktor kuatnya perkembangan demokrasi di Jerman, walaupun pemikiran antisemitisme dan neo-Nazi tidak sepenuhnya hilang.[517]
Lihat pula
Referensi
Catatan penjelas
- ^ Pada 12 Juli 1933, Reichsinnenminister Wilhelm Frick, Menteri Dalam Negeri, memerintahkan agar Horst-Wessel-Lied dimainkan setelah lagu kebangsaan Das Lied der Deutschen, juga dikenal dengan Deutschland Über Alles.Tümmler 2010, hlm. 63.
- ^ a b Termasuk wilayah yang dianeksasi dan ditaklukkan de facto.
- ^ Pada 1939, sebelum Jerman menguasai dua wilayah yang pernah dikendalikan olehnya sebelum Perjanjian Versailles (Alsace-Lorraine serta Danzig dan Koridor Polandia), luas wilayahnya tercatat sebesar 633.786 kilometer persegi (244.706 sq mi). Lihat Statistisches Jahrbuch 2006.
- ^ "Die Bevölkerung des Deutschen Reichs nach den Ergebnissen der Volkszählung 1939 (Populasi Jerman menurut sensus 1939.), Berlin 1941" (2).
- ^ Menurut Raeder, "Angkatan Udara kita tidak bisa diandalkan untuk menjaga transportasi kita dari Armada Britania, karena operasi mereka akan bergantung pada cuaca, jika tak ada alasan lain. Kita tidak bisa mengharapkan bahkan untuk sesaat saja bahwa Angkatan Udara kita bisa menebus ketiadaan keunggulan angkatan laut kita."Raeder 2001, hlm. 324–325 Laksamana Agung Karl Dönitz meyakini bahwa keunggulan udara tidak cukup, dan mengakui, "Kita tidak memiliki kendali atas udara ataupun laut; kita juga tidak dalam posisi apa pun untuk mendapatkannya."Dönitz 2012, hlm. 114.
- ^ Pada 29 November 2006, Sekretaris Negara di Kementerian Federal Dalam Negeri Christoph Bergner mengungkapkan penyebab data statistik ini tidak cocok karena Haar hanya menyertakan orang-orang yang langsung dibunuh. Angka 2 sampai 2,5 juta juga termasuk warga Jerman yang meninggal karena penyakit, kelaparan, kedinginan, serangan udara, dan penyebab lainnya.Koldehoff 2006 Palang Merah Jerman masih menyatakan bahwa jumlah korban jiwa akibat pengusiran mencapai 2,2 juta.Kammerer & Kammerer 2005, hlm. 12.
- ^ Pada saat itu, Mussolini telah digulingkan dari Kerajaan Italia dan hanya menguasai sebuah republik boneka di utara Italia[138]
- ^ Terdapat distrik-distrik sejenis yang diusulkan untuk dibentuk apabila wilayahnya berhasil dikuasai oleh Jerman, contohnya Reichskommissariat Moskowien (Moskwa), Reichskommissariat Kaukasus (Kaukasus), dan Reichskommissariat Turkestan (Turkistan).
- ^ "Namun demikian, bukti yang ada menunjukkan bahwa secara keseluruhan, masyarakat sipil Jerman tidak menyetujui. Kampanye propaganda Goebbel yang dilakukan pada paruh kedua 1941 dan 1943 gagal memengaruhi mereka". Evans 2008, hlm. 561. Di halaman 560–562, Evans mengajukan beberapa bukti untuk mendukung kesimpulan ini, di antaranya: jarangnya terjadi diskusi di antara warga Jerman tentang persekusi dan pembunuhan kaum Yahudi dalam laporan mata-mata SS, kecaman dari kelompok-kelompok gereja di Bayern dan daerah lainnya, serta kutipan-kutipan laporan yang menunjukkan bahwa rakyat mengecam perlakuan pasukan Jerman terhadap Yahudi dan menyalahkannya sebagai sebab kerusakan yang dilakukan Sekutu di Jerman pada akhir perang.
Kutipan
- ^ Soldaten-Atlas 1941, hlm. 8.
- ^ Lauryssens 1999, hlm. 102.
- ^ Childers 2017, hlm. 22–23, 35, 48, 124–130, 152, 168–169, 203–204, 225–226.
- ^ Evans 2003, hlm. 103–108.
- ^ Evans 2003, hlm. 186–187.
- ^ Evans 2003, hlm. 170–171.
- ^ Goldhagen 1996, hlm. 85.
- ^ Evans 2003, hlm. 179–180.
- ^ Evans 2003, hlm. 180–181.
- ^ Evans 2003, hlm. 181, 189.
- ^ Childers 2017, hlm. 103.
- ^ Shirer 1960, hlm. 136–137.
- ^ Goldhagen 1996, hlm. 87.
- ^ Evans 2003, hlm. 293, 302.
- ^ Shirer 1960, hlm. 183–184.
- ^ Evans 2003, hlm. 329–334.
- ^ Evans 2003, hlm. 354.
- ^ Evans 2003, hlm. 351.
- ^ Shirer 1960, hlm. 196.
- ^ Evans 2003, hlm. 336.
- ^ Evans 2003, hlm. 358–359.
- ^ Shirer 1960, hlm. 201.
- ^ Shirer 1960, hlm. 199.
- ^ Evans 2005, hlm. 109, 637.
- ^ McNab 2009, hlm. 14.
- ^ Bracher 1970, hlm. 281–87.
- ^ a b Shirer 1960, hlm. 200.
- ^ Evans 2005, hlm. 109.
- ^ Koonz 2003, hlm. 73.
- ^ a b Shirer 1960, hlm. 202.
- ^ Shirer 1960, hlm. 268.
- ^ Evans 2005, hlm. 14.
- ^ Cuomo 1995, hlm. 231.
- ^ a b McNab 2009, hlm. 54.
- ^ McNab 2009, hlm. 56.
- ^ Kershaw 2008, hlm. 309–314.
- ^ Evans 2005, hlm. 31–34.
- ^ a b Kershaw 2008, hlm. 306–313.
- ^ Overy 2005, hlm. 63.
- ^ Evans 2005, hlm. 44.
- ^ Shirer 1960, hlm. 226–227.
- ^ Kershaw 2008, hlm. 317.
- ^ Shirer 1960, hlm. 230.
- ^ Kershaw 2001, hlm. 50–59.
- ^ Hildebrand 1984, hlm. 20–21.
- ^ Childers 2017, hlm. 248.
- ^ Evans 2003, hlm. 344.
- ^ Evans 2008, map, p. 366.
- ^ Walk 1996, hlm. 1–128.
- ^ Friedländer 2009, hlm. 44–53.
- ^ Childers 2017, hlm. 351–356.
- ^ Shirer 1960, hlm. 209.
- ^ Shirer 1960, hlm. 209–210.
- ^ Evans 2005, hlm. 618.
- ^ Shirer 1960, hlm. 210–212.
- ^ Evans 2005, hlm. 338–339.
- ^ Evans 2005, hlm. 623.
- ^ Kitchen 2006, hlm. 271.
- ^ Evans 2005, hlm. 629.
- ^ Evans 2005, hlm. 633.
- ^ a b Evans 2005, hlm. 632–637.
- ^ Evans 2005, hlm. 641.
- ^ Shirer 1960, hlm. 297.
- ^ Steiner 2011, hlm. 181–251.
- ^ Evans 2005, hlm. 646–652.
- ^ Evans 2005, hlm. 667.
- ^ Kershaw 2008, hlm. 417.
- ^ Kershaw 2008, hlm. 419.
- ^ Evans 2005, hlm. 668–669.
- ^ a b Evans 2005, hlm. 671–674.
- ^ Evans 2005, hlm. 679–680.
- ^ Evans 2005, hlm. 682–683.
- ^ Kirschbaum 1995, hlm. 190.
- ^ Evans 2005, hlm. 687.
- ^ Mazower 2008, hlm. 264–265.
- ^ Weinberg 2010, hlm. 60.
- ^ Evans 2005, hlm. 689–690.
- ^ Kershaw 2008, hlm. 486.
- ^ Evans 2005, hlm. 691.
- ^ Kershaw 2008, hlm. 496.
- ^ Snyder 2010, hlm. 116.
- ^ Evans 2005, hlm. 699–701.
- ^ Beevor 2012, hlm. 22, 27–28.
- ^ Beevor 2012, hlm. 32.
- ^ Longerich 2010, hlm. 148–149.
- ^ Longerich 2010, hlm. 144.
- ^ Evans 2008, hlm. 15.
- ^ Beevor 2012, hlm. 40.
- ^ Mazower 2008, hlm. 260.
- ^ Tooze 2006, hlm. 332.
- ^ Beevor 2012, hlm. 73–76.
- ^ Evans 2005, hlm. 120.
- ^ Shirer 1960, hlm. 709.
- ^ Beevor 2012, hlm. 70–71, 79.
- ^ Shirer 1960, hlm. 715–719.
- ^ Shirer 1960, hlm. 731–738.
- ^ a b Shirer 1960, hlm. 696–730.
- ^ Kershaw 2008, hlm. 562.
- ^ Mazower 2008, hlm. 265.
- ^ Evans 2008, hlm. 333–334.
- ^ Mazower 2008, hlm. 271.
- ^ Mazower 2008, hlm. 272, 279.
- ^ a b Mazower 2008, hlm. 262.
- ^ Shirer 1960, hlm. 753, 774–782.
- ^ Kershaw 2000b, hlm. 301–303, 309–310.
- ^ Harding 2006.
- ^ Shirer 1960, hlm. 802.
- ^ Evans 2008, hlm. 151.
- ^ Kershaw 2008, hlm. 584.
- ^ Shirer 1960, hlm. 803.
- ^ Weinberg 2005, hlm. 414.
- ^ Evans 2008, hlm. 149.
- ^ Evans 2008, hlm. 153.
- ^ Shirer 1960, hlm. 815–816.
- ^ Tomasevich 1975, hlm. 52–53.
- ^ Richter 1998, hlm. 616.
- ^ Clark 2012, hlm. 73.
- ^ Evans 2008, hlm. 160–161.
- ^ Evans 2008, hlm. 189–190.
- ^ Stolfi 1982, hlm. 32–34, 36–38.
- ^ Stolfi 1982, hlm. 45–46.
- ^ Shirer 1960, hlm. 900–901.
- ^ Shirer 1960, hlm. 894.
- ^ Evans 2008, hlm. 43.
- ^ Mazower 2008, hlm. 284–287.
- ^ Mazower 2008, hlm. 290.
- ^ Shirer 1960, hlm. 1085.
- ^ Glantz 1995, hlm. 108–110.
- ^ Beevor 2012, hlm. 368.
- ^ Beevor 2012, hlm. 372–373.
- ^ Melvin 2010, hlm. 282, 285.
- ^ Evans 2008, hlm. 413, 416–417.
- ^ Evans 2008, hlm. 419–420.
- ^ Kershaw 2011, hlm. 208.
- ^ Shirer 1960, hlm. 1007.
- ^ Evans 2008, hlm. 467.
- ^ a b Evans 2008, hlm. 471.
- ^ a b c Shirer 1960, hlm. 1005.
- ^ Umbreit 2003, hlm. 78.
- ^ Evans 2008, hlm. 461.
- ^ Beevor 2012, hlm. 576–578.
- ^ Beevor 2012, hlm. 604–605.
- ^ Shirer 1960, hlm. 1072.
- ^ Shirer 1960, hlm. 1090–1097.
- ^ a b Kershaw 2008, hlm. 910–912.
- ^ Kershaw 2011, hlm. 224–225.
- ^ Shirer 1960, hlm. 1108.
- ^ Kershaw 2008, hlm. 954–955.
- ^ Beevor 2002, hlm. 386.
- ^ Shirer 1960, hlm. 1126.
- ^ Beevor 2002, hlm. 381.
- ^ Beevor 2002, hlm. 400–403.
- ^ Evans 2008, hlm. 714.
- ^ Kershaw 2011, hlm. 355–357.
- ^ a b Evans 2008, hlm. 711.
- ^ a b Evans 2008, hlm. 713.
- ^ Hubert 1998, hlm. 272.
- ^ a b Overmans 2000, hlm. Bd. 46.
- ^ Overy 2014, hlm. 306–307.
- ^ Germany Reports 1961, hlm. 62.
- ^ Bundesarchiv, "Euthanasie" im Nationalsozialismus.
- ^ Hoffmann 1996, hlm. xiii.
- ^ Beevor 2002, hlm. 31–32, 409–412.
- ^ Time, 9 July 1979.
- ^ Pilisuk & Rountree 2008, hlm. 136.
- ^ Douglas 2012, hlm. 1.
- ^ Die deutschen Vertreibungsverluste, 1939/50, hlm. 38, 46.
- ^ Overmans 1994, hlm. 51–63.
- ^ Haar 2009, hlm. 363–381.
- ^ Hahn & Hahnova 2010, hlm. 659–726.
- ^ Evans 2003, hlm. 62.
- ^ Evans 2005, hlm. 623, 646–652.
- ^ Shirer 1960, hlm. 461–462.
- ^ Evans 2008, hlm. 157.
- ^ Umbreit 2003, hlm. 80.
- ^ a b Evans 2008, hlm. 373.
- ^ Longerich 2010, hlm. 147.
- ^ Umbreit 2003, hlm. 26.
- ^ Shirer 1960, hlm. 824, 841.
- ^ Shirer 1960, hlm. 1006.
- ^ Berlin Declaration 1945.
- ^ Hitchcock 2004, hlm. 19–25.
- ^ Clark 2006, hlm. xii.
- ^ Hitchcock 2004, hlm. 145.
- ^ Smith & Davis 2005, hlm. 289–290.
- ^ Boczek 2005, hlm. 134.
- ^ Evans 2005, hlm. 6–9.
- ^ Kershaw 2008, hlm. 204.
- ^ Kershaw 2008, hlm. 146–147.
- ^ Evans 2008, hlm. 7.
- ^ a b Bendersky 2007, hlm. 161.
- ^ a b c Gellately 1996, hlm. 270–274.
- ^ Bytwerk 1998.
- ^ a b Longerich 2010, hlm. 49.
- ^ a b c Evans 2008, hlm. 759.
- ^ Kershaw 2008, hlm. 81.
- ^ Evans 2005, hlm. 7, 443.
- ^ Evans 2005, hlm. 210–211.
- ^ Evans 2005, hlm. 121–122.
- ^ Kershaw 2008, hlm. 170, 172, 181.
- ^ Evans 2005, hlm. 400.
- ^ Kershaw 2008, hlm. 105–106.
- ^ Gill 2006, hlm. 259.
- ^ Kershaw 2001, hlm. 253.
- ^ Kershaw 2008, hlm. 320–321.
- ^ McElligott, Kirk & Kershaw 2003, hlm. 6.
- ^ Speer 1971, hlm. 281.
- ^ Manvell & Fraenkel 2007, hlm. 29.
- ^ Evans 2005, hlm. 48–49.
- ^ Freeman 1995, hlm. 6.
- ^ Evans 2005, hlm. 14–15, 49.
- ^ Evans 2005, hlm. 49.
- ^ Evans 2005, hlm. 43–44.
- ^ Evans 2005, hlm. 45.
- ^ Evans 2005, hlm. 46.
- ^ a b Evans 2005, hlm. 75.
- ^ Evans 2005, hlm. 76.
- ^ Evans 2005, hlm. 79–80.
- ^ Evans 2005, hlm. 68, 70.
- ^ Evans 2008, hlm. 514.
- ^ Evans 2005, hlm. 72.
- ^ Weale 2012, hlm. 154.
- ^ Evans 2005, hlm. 73.
- ^ Evans 2005, hlm. 539, 551.
- ^ Gellately 2001, hlm. 216.
- ^ Kershaw 2008, hlm. 346.
- ^ a b Evans 2005, hlm. 544.
- ^ Kershaw 2008, hlm. 347.
- ^ Evans 2005, hlm. 43–45.
- ^ Constable 1988, hlm. 139, 154.
- ^ Evans 2008, hlm. 760–761.
- ^ Longerich 2010, hlm. 146.
- ^ Longerich 2010, hlm. 242–247.
- ^ Kershaw 2000b, hlm. 467.
- ^ Longerich 2010, hlm. 198.
- ^ Longerich 2010, hlm. 207.
- ^ Weale 2012, hlm. 15–16.
- ^ Weale 2012, hlm. 70, 166.
- ^ Weale 2012, hlm. 88.
- ^ Kershaw 2008, hlm. 306.
- ^ Tooze 2006, hlm. 67.
- ^ Weale 2012, hlm. 1, 26–29.
- ^ Longerich 2012, hlm. 113, 255.
- ^ Longerich 2012, hlm. 122–123.
- ^ Stein 2002, hlm. 18, 23, 287.
- ^ Weale 2012, hlm. 195.
- ^ Wegner 1990, hlm. 307, 313, 325, 327–331.
- ^ Stein 2002, hlm. 75–76, 276–280.
- ^ Longerich 2012, hlm. 215.
- ^ Kershaw 2008, hlm. 518–519.
- ^ Bartrop & Jacobs 2014, hlm. 1424.
- ^ Rhodes 2002, hlm. 257.
- ^ Weale 2012, hlm. 116.
- ^ a b Evans 2008, hlm. 318.
- ^ Wiederschein 2015.
- ^ Longerich 2012, hlm. 125.
- ^ Longerich 2012, hlm. 212–213.
- ^ Weale 2012, hlm. 411.
- ^ Sereny 1996, hlm. 323, 329.
- ^ Evans 2008, hlm. 343.
- ^ a b c d DeLong 1997.
- ^ Evans 2005, hlm. 345.
- ^ Tooze 2006, hlm. 97.
- ^ Tooze 2006, hlm. 125–127.
- ^ Tooze 2006, hlm. 131.
- ^ Tooze 2006, hlm. 106, 117–118.
- ^ Tooze 2006, hlm. 308–309.
- ^ Evans 2005, hlm. 322–326, 329.
- ^ Evans 2005, hlm. 320.
- ^ Evans 2005, hlm. 330–331.
- ^ Evans 2005, hlm. 166.
- ^ Evans 2005, hlm. 327–328, 338.
- ^ Evans 2005, hlm. 328, 333.
- ^ a b Evans 2005, hlm. 331.
- ^ a b Kershaw 2008, hlm. 289.
- ^ McNab 2009, hlm. 54, 71.
- ^ Tooze 2006, hlm. 61–62.
- ^ Evans 2005, hlm. 357–360.
- ^ Evans 2005, hlm. 360.
- ^ Tooze 2006, hlm. 294.
- ^ Evans 2005, hlm. 141–142.
- ^ McNab 2009, hlm. 59.
- ^ Overy 2006, hlm. 252.
- ^ Speer 1971, hlm. 263–264.
- ^ Tooze 2006, hlm. 354–356.
- ^ Evans 2008, hlm. 333.
- ^ Fest 1999, hlm. 142–44, 146–50.
- ^ Speer 1971, hlm. 337.
- ^ Beyer & Schneider.
- ^ Panayi 2005, hlm. 490, 495.
- ^ Hamblet 2008, hlm. 267–268.
- ^ Nazi forced labour 1942.
- ^ Special treatment 1942.
- ^ USHMM, Women in the Third Reich.
- ^ Evans 2008, hlm. 361.
- ^ Evans 2008, hlm. 358–359.
- ^ Davis 1995.
- ^ Speer 1971, hlm. 524–527.
- ^ Overy 2006, hlm. 128–130.
- ^ a b Shirer 1960, hlm. 943.
- ^ a b Shirer 1960, hlm. 945.
- ^ Spotts 2002, hlm. 377–378.
- ^ Manvell 2011, hlm. 283–285.
- ^ Shirer 1960, hlm. 946.
- ^ Evans 2008, hlm. 334.
- ^ Shirer 1960, hlm. 944.
- ^ Shirer 1960, hlm. 943–944.
- ^ Longerich 2010, hlm. 30–32.
- ^ Shirer 1960, hlm. 203.
- ^ Majer 2003, hlm. 92.
- ^ Majer 2003, hlm. 60.
- ^ Longerich 2010, hlm. 38–39.
- ^ Longerich 2010, hlm. 67–69.
- ^ Longerich 2010, hlm. 41.
- ^ Shirer 1960, hlm. 233.
- ^ Kitchen 2006, hlm. 273.
- ^ Longerich 2010, hlm. 112–113.
- ^ Longerich 2010, hlm. 117.
- ^ Longerich 2010, hlm. 127.
- ^ a b Evans 2005, hlm. 555–558.
- ^ Longerich, Chapter 17 2003.
- ^ Longerich 2012, hlm. 555–556.
- ^ Evans 2008, hlm. 256–257.
- ^ Browning 2005, hlm. 188–190.
- ^ Longerich 2010, hlm. 279–280.
- ^ USHMM, Children during the Holocaust.
- ^ Fleming 2014, hlm. 31–32, 35–36.
- ^ Evans 2008, hlm. 559–560.
- ^ Evans 2008, hlm. 555–556, 560.
- ^ Evans 2008, hlm. 560–561.
- ^ a b USHMM, Genocide of European Roma.
- ^ Longerich 2010, hlm. 138–141.
- ^ Evans 2008, hlm. 75–76.
- ^ a b Kershaw 2008, hlm. 295.
- ^ Longerich 2010, hlm. 47–48.
- ^ Niewyk & Nicosia 2000, hlm. 45.
- ^ Kershaw 2000a, hlm. 111.
- ^ Berghahn 1999, hlm. 32.
- ^ Powszechna PWN 2004, hlm. 267.
- ^ Heinemann et al. 2006.
- ^ a b Snyder 2010, hlm. 416.
- ^ Overy 2005, hlm. 544.
- ^ Nicholas 2006, hlm. 247.
- ^ Lukas 2001, hlm. 113.
- ^ Sereny 1999.
- ^ Kershaw 2008, hlm. 683.
- ^ Snyder 2010, hlm. 417.
- ^ Kershaw 2000a, hlm. 111-112.
- ^ Snyder 2010, hlm. 416-417.
- ^ Snyder 2010, hlm. 162–163, 416.
- ^ Dorland 2009, hlm. 6.
- ^ Rummel 1994, tabel, hlm. 112.
- ^ Hosking 2006, hlm. 242.
- ^ Smith 1994, hlm. 204.
- ^ Materski & Szarota 2009, hlm. 9.
- ^ Wrobel 1999.
- ^ Shirer 1960, hlm. 952.
- ^ Goldhagen 1996, hlm. 290.
- ^ Evans 2008, hlm. 295–296.
- ^ Shirer 1960, hlm. 954.
- ^ Shirer 1960, hlm. 951, 954.
- ^ Umbreit 2003, hlm. 249–250.
- ^ Umbreit 2003, hlm. 250.
- ^ Umbreit 2003, hlm. 252.
- ^ Nakosteen 1965, hlm. 386.
- ^ Pine 2011, hlm. 14–15, 27.
- ^ Shirer 1960, hlm. 249.
- ^ Evans 2005, hlm. 270.
- ^ Evans 2005, hlm. 269.
- ^ Evans 2005, hlm. 263–264, 270.
- ^ a b c Evans 2005, hlm. 264.
- ^ Shirer 1960, hlm. 255.
- ^ Pine 2011, hlm. 13–40.
- ^ Evans 2005, hlm. 263–265.
- ^ Farago 1972, hlm. 65.
- ^ Evans 2005, hlm. 265.
- ^ Evans 2005, hlm. 292.
- ^ Evans 2005, hlm. 302–303.
- ^ Evans 2005, hlm. 305.
- ^ Evans 2005, hlm. 295–297.
- ^ Evans 2005, hlm. 293.
- ^ Evans 2005, hlm. 299.
- ^ Cassidy 1992, hlm. 643–644.
- ^ a b c Evans 2005, hlm. 16.
- ^ Cassidy 1992, hlm. 647.
- ^ Cassidy 1992, hlm. 652.
- ^ a b Cassidy 1992, hlm. 657.
- ^ a b Evans 2008, hlm. 667.
- ^ Evans 2008, hlm. 667–668.
- ^ Evans 2008, hlm. 669.
- ^ a b Evans 2005, hlm. 516–517.
- ^ Heidelberg University Library.
- ^ Rupp 1978, hlm. 45.
- ^ Evans 2005, hlm. 518–519.
- ^ Evans 2005, hlm. 332–333.
- ^ Evans 2005, hlm. 369.
- ^ Kershaw 2008, hlm. 749.
- ^ McNab 2009, hlm. 164.
- ^ Stephenson 2001, hlm. 70.
- ^ Evans 2005, hlm. 297.
- ^ Pauley 2003, hlm. 119–137.
- ^ Overy 2005, hlm. 248.
- ^ Rupp 1978, hlm. 45–46.
- ^ Evans 2005, hlm. 272.
- ^ Grunberger 1971, hlm. 278.
- ^ Biddiscombe 2001, hlm. 612, 633.
- ^ Biddiscombe 2001, hlm. 612.
- ^ Rupp 1978, hlm. 124–125.
- ^ a b Longerich 2012, hlm. 370.
- ^ a b c Longerich 2012, hlm. 371.
- ^ Evans 2005, hlm. 521.
- ^ Evans 2005, hlm. 515.
- ^ Proctor 1999, hlm. 196.
- ^ Proctor 1999, hlm. 198.
- ^ Proctor 1999, hlm. 203.
- ^ Evans 2005, hlm. 319.
- ^ Proctor 1999, hlm. 40.
- ^ Busse & Riesberg 2004, hlm. 20.
- ^ Evans 2008, hlm. 611.
- ^ Evans 2008, hlm. 608.
- ^ Evans 2008, hlm. 609–661.
- ^ Evans 2008, hlm. 612.
- ^ DeGregori 2002, hlm. 153.
- ^ Hanauske-Abel 1996, hlm. 10.
- ^ Uekötter 2006, hlm. 56.
- ^ Closmann 2005, hlm. 30–32.
- ^ Closmann 2005, hlm. 18, 30.
- ^ Uekötter 2005, hlm. 113, 118.
- ^ Evans 2005, hlm. 222.
- ^ USHMM, The German Churches and the Nazi State.
- ^ Ericksen & Heschel 1999, hlm. 10.
- ^ Shirer 1960, hlm. 237.
- ^ a b c Shirer 1960, hlm. 240.
- ^ Shirer 1960, hlm. 234–238.
- ^ Evans 2005, hlm. 220–230.
- ^ Kershaw 2008, hlm. 295–297.
- ^ a b c d Berben 1975, hlm. 140.
- ^ a b Shirer 1960, hlm. 238–239.
- ^ Shirer 1960, hlm. 239.
- ^ Berben 1975, hlm. 276–277.
- ^ Kershaw 2008, hlm. 332.
- ^ Kershaw 2008, hlm. 290.
- ^ Evans 2005, hlm. 234–235.
- ^ Gill 1994, hlm. 57.
- ^ a b Shirer 1960, hlm. 234–235.
- ^ Kershaw 2008, hlm. 315.
- ^ Lewis 2000, hlm. 45.
- ^ Conway 2001, hlm. 92.
- ^ Evans 2005, hlm. 226, 237.
- ^ Evans 2005, hlm. 239–240.
- ^ Evans 2005, hlm. 241–243.
- ^ Evans 2005, hlm. 245–246.
- ^ Fest 1996, hlm. 377.
- ^ Evans 2005, hlm. 244.
- ^ Berben 1975, hlm. 141–142.
- ^ Libionka, The Catholic Church in Poland.
- ^ Davies 2003, hlm. 86, 92.
- ^ Klemperer 1992, hlm. 4–5.
- ^ Cox 2009, hlm. 33–36.
- ^ Shirer 1960, hlm. 372.
- ^ Hoffmann 1988, hlm. 2.
- ^ Evans 2008, hlm. 626–627.
- ^ Evans 2008, hlm. 625–626.
- ^ Evans 2008, hlm. 626–269.
- ^ Evans 2008, hlm. 634, 643.
- ^ Gill 1994, hlm. 2.
- ^ Evans 2008, hlm. 630.
- ^ Evans 2005, hlm. 669–671.
- ^ Shirer 1960, hlm. 659.
- ^ Evans 2008, hlm. 631.
- ^ Evans 2008, hlm. 635.
- ^ Kershaw 2008, hlm. 816–818.
- ^ Shirer 1960, hlm. 1048–1072.
- ^ Grunberger 1971, hlm. 18.
- ^ Kershaw 2008, hlm. 182, 203, 272.
- ^ Evans 2005, hlm. 465–467.
- ^ Shirer 1960, hlm. 265.
- ^ Shirer 1960, hlm. 241–242.
- ^ Evans 2005, hlm. 133–135.
- ^ Evans 2005, hlm. 136.
- ^ Evans 2005, hlm. 143–144.
- ^ Shirer 1960, hlm. 149.
- ^ Dussel 2010, hlm. 545, 555–557.
- ^ Evans 2005, hlm. 146–147.
- ^ Dussel 2010, hlm. 561.
- ^ Evans 2005, hlm. 152–159.
- ^ Shirer 1960, hlm. 241.
- ^ Scobie 1990, hlm. 92.
- ^ Evans 2005, hlm. 181.
- ^ Speer 1971, hlm. 92, 150–151.
- ^ Speer 1971, hlm. 115–116, 190.
- ^ Evans 2005, hlm. 168.
- ^ Shirer 1960, hlm. 243.
- ^ Evans 2005, hlm. 169.
- ^ Shirer 1960, hlm. 243–244.
- ^ Evans 2005, hlm. 171, 173.
- ^ Evans 2005, hlm. 187.
- ^ Evans 2005, hlm. 199.
- ^ Evans 2005, hlm. 204.
- ^ Evans 2005, hlm. 199–200.
- ^ Evans 2005, hlm. 130.
- ^ SPIO, Department of Statistics.
- ^ Evans 2005, hlm. 130–132.
- ^ The Daily Telegraph, 2003.
- ^ Evans 2005, hlm. 125–126.
- ^ a b Evans 2008, hlm. 741.
- ^ Shirer 1960, hlm. 1143.
- ^ Marcuse 2001, hlm. 98.
- ^ Rees 2005, hlm. 295–96.
- ^ Fischer 1995, hlm. 569.
- ^ Murray & Millett 2001, hlm. 554.
- ^ Kershaw 2000a, hlm.��1–6.
- ^ Welch 2001, hlm. 2.
- ^ Strafgesetzbuch, section 86a.
- ^ Allied Agreement 1945.
- ^ Evans 2008, hlm. 748–749.
- ^ a b c Sontheimer 2005.
- ^ The Economist 2015.
Daftar pustaka
- "Agreement Between the Governments of the United Kingdom, the United States of America, and the Union of Soviet Socialist Republics, and the Provisional Government of the French Republic on Certain Additional Requirements to be Imposed on Germany". dipublico.com. 20 September 1945.
- Bartrop, Paul R.; Jacobs, Leonard, ed. (2014). Modern Genocide: The Definitive Resource and Document Collection. 1. Santa Barbara, CA: ABC-CLIO. ISBN 978-1-61069-363-9.
- Beevor, Antony (2002). Berlin: The Downfall 1945. London: Viking-Penguin Books. ISBN 978-0-670-03041-5.
- Beevor, Antony (2012). The Second World War. New York: Little, Brown. ISBN 978-0-316-02374-0.
- Bendersky, Joseph W. (2007). A Concise History of Nazi Germany: 1919–1945. Lanham, MD: Rowman & Littlefield. ISBN 978-0-7425-5363-7.
- Berben, Paul (1975). Dachau 1933–1945: The Official History. London: Norfolk Press. ISBN 978-0-85211-009-6.
- Berghahn, Volker R. (1999). "Germans and Poles, 1871–1945". Dalam Bullivant, Keith; Giles, Geoffrey; Pape, Walter. Germany and Eastern Europe: Cultural Identities and Cultural Differences. Yearbook of European Studies. Amsterdam; Atlanta, GA: Rodopi. ISBN 978-90-420-0688-1.
- Beyer, John C.; Schneider, Stephen A. "Forced Labour under the Third Reich – Part 1" (PDF). Nathan Associates. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 9 May 2013. Diakses tanggal 12 May 2013.
- Biddiscombe, Perry (2001). "Dangerous Liaisons: The Anti-Fraternization Movement in the US Occupation Zones of Germany and Austria, 1945–1948". Journal of Social History. 34 (3): 611–647. doi:10.1353/jsh.2001.0002.
- Boczek, Bolesław Adam (2005). International Law: A Dictionary. Lanham, MD: Scarecrow Press. ISBN 978-0-8108-5078-1.
- Bracher, Karl Dietrich (1970). The German Dictatorship. Diterjemahkan oleh Steinberg, Jean. New York: Penguin Books. ISBN 978-0-14-013724-8.
- Browning, Christopher (2005). The Origins of the Final Solution: The Evolution of Nazi Jewish Policy, September 1939 – March 1942. UK: Arrow. ISBN 978-0-8032-5979-9.
- Busse, Reinhard; Riesberg, Annette (2004). "Health Care Systems in Transition: Germany" (PDF). Copenhagen: WHO Regional Office for Europe on behalf of the European Observatory on Health Systems and Policies. Diakses tanggal 15 May 2013.
- Bytwerk, Randall (1998). "German Propaganda Archive: Goebbels' 1943 Speech on Total War". Calvin College. Diakses tanggal 3 March 2016.
- Cassidy, David C. (1992). "Heisenberg, German Science, and the Third Reich". Social Research. The Johns Hopkins University Press. 59 (3): 643–661. ISSN 0037-783X. JSTOR 40970709.
- Childers, Thomas (2017). The Third Reich: A History of Nazi Germany. New York: Simon & Schuster. ISBN 978-1-45165-113-3.
- Clark, Christopher M. (2006). Iron Kingdom: The Rise and Downfall of Prussia, 1600–1947. London: Penguin Group. ISBN 978-0-674-02385-7.
- Clark, Lloyd (2012). Kursk: The Greatest Battle: Eastern Front 1943. London: Headline Review. ISBN 978-0-7553-3639-5.
- Closmann, Charles (2005). "Legalizing a Volksgemeinschaft: Nazi Germany's Reich Nature Protection Law of 1935". Dalam Brüggemeier, Franz-Josef; Cioc, Mark; Zeller, Thomas. How Green Were the Nazis?: Nature, Environment, and Nation in the Third Reich. Athens: Ohio University Press. ISBN 978-0-8214-1646-4.
- Constable, George, ed. (1988). Fists of Steel. The Third Reich. Alexandria, VA: Time-Life Books. ISBN 978-0-8094-6966-6.
- Conway, John S (2001). The Nazi Persecution of the Churches, 1933–1945. Vancouver: Regent College Publishing. ISBN 978-1-57383-080-5.
- Cox, John M. (2009). Circles of Resistance: Jewish, Leftist, and Youth Dissidence in Nazi Germany. New York: Peter Lang. ISBN 978-1-4331-0557-9.
- Cuomo, Glenn R. (1995). National Socialist Cultural Policy. New York: Palgrave MacMillan. ISBN 978-0-312-09094-4.
- Davies, Norman (2003). Rising '44: the Battle for Warsaw. New York: Viking. ISBN 978-0-670-03284-6.
- Davis, Richard G. (1995). "German Rail Yards and Cities: U.S. Bombing Policy 1944–1945". Air Power History. 42 (2): 46–63.
- "Declaration Regarding the Defeat of Germany and the Assumption of Supreme Authority with Respect to Germany and Supplementary Statements". American Journal of International Law. 39 (3): 171–178. July 1945. doi:10.2307/2213921. JSTOR 2213921.
- DeGregori, Thomas R. (2002). Bountiful Harvest: Technology, Food Safety, and the Environment. Washington: Cato Institute. ISBN 978-1-930865-31-0.
- DeLong, J. Bradford (February 1997). "Slouching Towards Utopia?: The Economic History of the Twentieth Century. XV. Nazis and Soviets". econ161.berkeley.edu. University of California at Berkeley. Diarsipkan dari versi asli tanggal 11 May 2008. Diakses tanggal 21 April 2013.
- Dönitz, Karl (2012) [1958]. Memoirs: Ten Years and Twenty Days. London: Frontline. ISBN 978-1-84832-644-6.
- Dorland, Michael (2009). Cadaverland: Inventing a Pathology of Catastrophe for Holocaust Survival: The Limits of Medical Knowledge and Memory in France. Tauber Institute for the Study of European Jewry series. Waltham, Mass: University Press of New England. ISBN 978-1-58465-784-2.
- Douglas, R.M (2012). Orderly and Humane: The Expulsion of the Germans after the Second World War. New Haven: Yale University Press. ISBN 978-0-300-16660-6.
- Dussel, Konrad (2010). "Wie erfolgreich war die nationalsozlalistische Presselenkung?" [How Successful was National Socialist Control of the Daily Press?]. Vierteljahrshefte für Zeitgeschichte (dalam bahasa German). 58 (4): 543–561. doi:10.1524/vfzg.2010.0026. (perlu berlangganan)
- Encyklopedia Powszechna PWN (dalam bahasa Polish). 3. Warsaw: Państwowe Wydawnictwo Naukowe. 2004. ISBN 978-83-01-14179-0.
- Ericksen, Robert P.; Heschel, Susannah (1999). Betrayal: German Churches and the Holocaust. Minneapolis: Augsberg Fortress. ISBN 978-0-8006-2931-1.
- ""Euthanasie" im Nationalsozialismus". Das Bundesarchiv (dalam bahasa German). Government of Germany. 2012. Diarsipkan dari versi asli tanggal 21 October 2013. Diakses tanggal 19 May 2013.
- Evans, Richard J. (2003). The Coming of the Third Reich. New York: Penguin. ISBN 978-0-14-303469-8.
- Evans, Richard J. (2005). The Third Reich in Power. New York: Penguin. ISBN 978-0-14-303790-3.
- Evans, Richard J. (2008). The Third Reich at War. New York: Penguin. ISBN 978-0-14-311671-4.
- Evans, Richard J. (2009). Cosmopolitan Islanders: British Historians and the European Continent. Cambridge; New York: Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-19998-8.
- Farago, Ladislas (1972) [1942]. German Psychological Warfare. International Propaganda and Communications. New York: Arno Press. ISBN 978-0-405-04747-3.
- Fest, Joachim (1996). Plotting Hitler's Death: The German Resistance to Hitler 1933–1945. London: Weidenfeld & Nicolson. ISBN 978-0-297-81774-1.
- Fest, Joachim (1999). Speer: The Final Verdict. Diterjemahkan oleh Osers, Ewald; Dring, Alexandra. San Diego: Harcourt. ISBN 978-0-15-100556-7.
- Fischer, Klaus P. (1995). Nazi Germany: A New History. London: Constable and Company. ISBN 978-0-09-474910-8.
- Fleming, Michael (Spring 2014). "Allied Knowledge of Auschwitz: A (Further) Challenge to the 'Elusiveness' Narrative". Holocaust and Genocide Studies. 28 (1): 31–57. doi:10.1093/hgs/dcu014.
- Freeman, Michael J. (1995). Atlas of Nazi Germany: A Political, Economic, and Social Anatomy of the Third Reich. London; New York: Longman. ISBN 978-0-582-23924-1.
- Friedländer, Saul (2009). Nazi Germany and the Jews, 1933–1945. New York: Harper Perennial. ISBN 978-0-06-135027-6.
- Gellately, Robert (1996). "Reviewed work(s): Vom Generalplan Ost zum Generalsiedlungsplan by Czeslaw Madajczyk. Der "Generalplan Ost". Hauptlinien der nationalsozialistischen Planungs- und Vernichtungspolitik by Mechtild Rössler; Sabine Schleiermacher". Central European History. 29 (2): 270–274. doi:10.1017/S0008938900013170.
- Gellately, Robert (2001). Social Outsiders in Nazi Germany. Princeton, NJ: Princeton University Press. ISBN 978-0-691-08684-2.
- Germany (West) Presse- und Informationsamt (1961). Germany Reports. With an introduction by Konrad Adenauer (dalam bahasa German). Wiesbaden: F. Steiner. OCLC 5092689.
- Germany (West). Statistisches Bundesamt (1958). Die deutschen Vertreibungsverluste. Bevölkerungsbilanzen für die deutschen Vertreibungsgebiete 1939/50 (dalam bahasa German). Wiesbaden: Verlag W. Kohlhammer. OCLC 7363969.
- Gill, Anton (1994). An Honourable Defeat: A History of the German Resistance to Hitler. London: Heinemann.
- Gill, Roger (2006). Theory and Practice of Leadership. London: SAGE Publications. ISBN 978-0-7619-7176-4.
- Glantz, David M. (1995). When Titans Clashed: How the Red Army Stopped Hitler. Lawrence, KS: University Press of Kansas. ISBN 978-0-7006-0899-7.
- Goeschel, Christian (2009). Suicide in Nazi Germany. Oxford; New York: Oxford University Press. ISBN 978-0-19-953256-8.
- Goldhagen, Daniel (1996). Hitler's Willing Executioners: Ordinary Germans and the Holocaust. New York: Knopf. ISBN 978-0-679-44695-8.
- Grunberger, Richard (1971). The 12-Year Reich: A Social History of Nazi Germany 1933–1945. New York: Holt Rinehart and Winston. ISBN 978-0-03-076435-6.
- Haar, Ingo (2009). Ehmer, Josef, ed. Die deutschen Vertreibungsverluste: – Forschungsstand, Kontexte und Probleme. Ursprünge, Arten und Folgen des Konstrukts "Bevölkerung" vor, im und nach dem "Dritten Reich" : Aspekte und Erkenntnisse zur Geschichte der deutschen Bevölkerungswissenschaft (dalam bahasa German). Springer. ISBN 978-3-531-16152-5.
- Hahn, Hans Henning; Hahnova, Eva (2010). Die Vertreibung im deutschen Erinnern. Legenden, Mythos, Geschichte (dalam bahasa German). Munich; Vienna: Paderborn. ISBN 978-3-506-77044-8.
- Hamblet, Wendy C. (2008). "Book Review: Götz Aly: Hitler's Beneficiaries: Plunder, Racial War, and the Nazi Welfare State". Genocide Studies and Prevention: An International Journal. 3 (2): 267–268. doi:10.3138/gsp.3.2.267 (tidak aktif 2019-05-26). Diakses tanggal 14 April 2017.
- Hanauske-Abel, Hartmut M. (7 December 1996). "Not a slippery slope or sudden subversion: German medicine and National Socialism in 1933" (PDF). BMJ. 313 (7070): 1453–1463. doi:10.1136/bmj.313.7070.1453. PMC 2352969 . PMID 8973235. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 2020-04-17. Diakses tanggal 2019-07-28.
- Harding, Thomas (23 August 2006). "Battle of Britain was won at sea. Discuss". The Telegraph. Diakses tanggal 22 December 2017.
- Heinemann, Isabel; Oberkrome, Willi; Schleiermacher, Sabine; Wagner, Patrick (2006). Nauka, planowanie, wypędzenia : Generalny Plan Wschodni narodowych socjalistów : katalog wystawy Niemieckiej Współnoty Badawczej (PDF) (dalam bahasa Polish). Bonn: Deutsche Forschungsgemeinschaft.
- Richter, Heinz A. (1998). Greece in World War II (dalam bahasa Greek). transl by Kostas Sarropoulos. Athens: Govostis. ISBN 978-960-270-789-0.
- Hildebrand, Klaus (1984). The Third Reich. Boston: George Allen & Unwin. ISBN 978-0-04-943032-7.
- Hitchcock, William I. (2004). The Struggle for Europe: The Turbulent History of a Divided Continent, 1945 to the Present. New York: Anchor. ISBN 978-0-385-49799-2.
- Hoffmann, Peter (1988). German Resistance to Hitler. Cambridge; London: Harvard University Press. ISBN 978-0-674-35085-4.
- Hoffmann, Peter (1996) [1977]. The History of the German Resistance, 1933–1945. Montreal: McGill-Queen's University Press. ISBN 978-0-7735-1531-4.
- Hosking, Geoffrey A. (2006). Rulers and Victims: The Russians in the Soviet Union. Cambridge: Harvard University Press. ISBN 978-0-674-02178-5.
- Hubert, Michael (1998). Deutschland im Wandel. Geschichte der deutschen Bevolkerung seit 1815 (dalam bahasa German). Stuttgart: Steiner, Franz Verlag. ISBN 978-3-515-07392-9.
- Kammerer, Willi; Kammerer, Anja (2005). Narben bleiben: die Arbeit der Suchdienste – 60 Jahre nach dem Zweiten Weltkrieg. Berlin: Dienststelle.
- Kershaw, Ian (2000b). Hitler, 1936–1945: Nemesis. New York; London: W. W. Norton & Company. ISBN 978-0-393-32252-1.
- Kershaw, Ian (2000a). The Nazi Dictatorship: Problems and Perspectives of Interpretation (edisi ke-4th). London: Arnold. ISBN 978-0-340-76028-4.
- Kershaw, Ian (2001) [1987]. The "Hitler Myth": Image and Reality in the Third Reich. Oxford; New York: Oxford University Press. ISBN 978-0-19-280206-4.
- Kershaw, Ian (2008). Hitler: A Biography. New York: W. W. Norton & Company. ISBN 978-0-393-06757-6.
- Kershaw, Ian (2011). The End: Hitler's Germany, 1944–45. London; New York: Penguin. ISBN 978-1-59420-314-5.
- "Kinobesuche in Deutschland 1925 bis 2004" (PDF) (dalam bahasa German). Spitzenorganisation der Filmwirtschaft e. V. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 4 February 2012. Diakses tanggal 10 May 2013.
- Kirschbaum, Stanislav J. (1995). A History of Slovakia: The Struggle for Survival. New York: St. Martin's Press. ISBN 978-1-4039-6929-3.
- Kitchen, Martin (2006). A History of Modern Germany, 1800–2000. Malden, MA: Blackwell. ISBN 978-1-4051-0040-3.
- Klemperer, Klemens von (1992). German Resistance Against Hitler: The Search for Allies Abroad 1938-1945. Oxford University Press. ISBN 978-0-19-160679-3.
- Koldehoff, Stefan (29 November 2006). "Keine deutsche Opferarithmetik" (dalam bahasa German). Deutschlandfunk. Diakses tanggal 29 May 2013.
- Koonz, Claudia (2003). The Nazi Conscience. Cambridge, MA: Belknap Press of Harvard University Press. ISBN 978-0-674-01172-4.
- Lakotta, Beate (March 2005). "Tief vergraben, nicht dran rühren". Der Spiegel (dalam bahasa German). No. 2. Hamburg: Spiegel-Verlag. hlm. 218–221. Diarsipkan dari versi asli tanggal 2020-04-17. Diakses tanggal 2019-07-28.
- Lauryssens, Stan (1999). The Man Who Invented the Third Reich: The Life and Times of Arthur Moeller van den Bruck. Stroud: Sutton. ISBN 978-0-7509-1866-4.
- "Leni Riefenstahl". The Daily Telegraph. London: TMG. 10 September 2003. ISSN 0307-1235. OCLC 49632006. Diakses tanggal 10 May 2013.
- Lewis, Brenda Ralph (2000). Hitler Youth: the Hitlerjugend in War and Peace 1933–1945. Osceola, WI: MBI. ISBN 978-0-7603-0946-9.
- Libionka, Dariusz. "The Catholic Church in Poland and the Holocaust, 1939–1945" (PDF). The Reaction of the Churches in Nazi Occupied Europe. Yad Vashem. Diakses tanggal 26 August 2013.
- Longerich, Peter (2003). "Hitler's Role in the Persecution of the Jews by the Nazi Regime". Atlanta: Emory University. 17. Radicalisation of the Persecution of the Jews by Hitler at the Turn of the Year 1941–1942. Archived from the original on 9 July 2009. Diakses tanggal 31 July 2013.
- Longerich, Peter (2010). Holocaust: The Nazi Persecution and Murder of the Jews. Oxford; New York: Oxford University Press. ISBN 978-0-19-280436-5.
- Longerich, Peter (2012). Heinrich Himmler: A Life. Oxford; New York: Oxford University Press. ISBN 978-0-19-959232-6.
- Lukas, Richard C. (2001) [1994]. Did the Children Cry?: Hitler's War Against Jewish and Polish Children, 1939–1945. New York: Hippocrene. ISBN 978-0-7818-0870-5.
- Majer, Diemut (2003). "Non-Germans" under the Third Reich: The Nazi Judicial and Administrative System in Germany and Occupied Eastern Europe, with Special Regard to Occupied Poland, 1939–1945. Baltimore; London: Johns Hopkins University Press. ISBN 978-0-8018-6493-3.
- Manvell, Roger; Fraenkel, Heinrich (2007) [1965]. Heinrich Himmler: The Sinister Life of the Head of the SS and Gestapo. London; New York: Greenhill; Skyhorse. ISBN 978-1-60239-178-9.
- Manvell, Roger (2011) [1962]. Goering. London: Skyhorse. ISBN 978-1-61608-109-6.
- Marcuse, Harold (2001). Legacies of Dachau: The Uses and Abuses of a Concentration Camp, 1933-2001. Cambridge; New York: Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-55204-2.
- Martin, Bernd (2005) [1995]. Japan and Germany in the Modern World. New York; Oxford: Berghahn Books. ISBN 978-1-84545-047-2.
- Materski, Wojciech; Szarota, Tomasz (2009). Polska 1939–1945: straty osobowe i ofiary represji pod dwiema okupacjami (dalam bahasa Polish). Instytut Pamięci Narodowej, Komisja Ścigania Zbrodni przeciwko Narodowi Polskiemu. ISBN 978-83-7629-067-6.
- Mazower, Mark (2008). Hitler's Empire: How the Nazis Ruled Europe. New York; Toronto: Penguin. ISBN 978-1-59420-188-2.
- McElligott, Anthony; Kirk, Tim; Kershaw, Ian (2003). Working Towards the Führer: Essays in Honour of Sir Ian Kershaw. Manchester: Manchester University Press. ISBN 978-0-7190-6732-7.
- McNab, Chris (2009). The Third Reich. London: Amber Books. ISBN 978-1-906626-51-8.
- Melvin, Mungo (2010). Manstein: Hitler's Greatest General. London: Weidenfeld & Nicolson. ISBN 978-0-297-84561-4.
- Murray, Williamson; Millett, Allan R. (2001) [2000]. A War to be Won: Fighting the Second World War. Cambridge, MA: Belknap Press of Harvard University Press. ISBN 978-0-674-00680-5.
- Nakosteen, Mehdi Khan (1965). The History and Philosophy of Education. New York: Ronald Press. OCLC 175403.
- "NS-Zwangsarbeit: "Verbotener Umgang"" (dalam bahasa German). Stadtarchiv Göttingen Cordula Tollmien Projekt NS-Zwangsarbeiter. 1942.
- Nicholas, Lynn H. (2006). Cruel World: The Children of Europe in the Nazi Web. New York: Vintage. ISBN 978-0-679-77663-5.
- Niewyk, Donald L.; Nicosia, Francis R. (2000). The Columbia Guide to the Holocaust. New York: Columbia University Press. ISBN 978-0-231-11200-0.
- "NS-Frauenwarte: Paper of the National Socialist Women's League". Heidelberg University Library. Diakses tanggal 8 May 2013.
- Oberkommandos der Wehrmacht (1941). Soldaten Atlas (dalam bahasa German).
- Overmans, Rüdiger (2000) [1999]. Deutsche militärische Verluste im Zweiten Weltkrieg. Beiträge zur Militärgeschichte (dalam bahasa German). München: R. Oldenbourg. ISBN 978-3-486-56531-7.
- Overmans, Rűdiger (1994). "Personelle Verluste der deutschen Bevölkerung durch Flucht und Vertreibung". Dzieje Najnowsze Rocznik. 16: 51–63.
- Overy, Richard (2005) [2004]. The Dictators: Hitler's Germany, Stalin's Russia. UK: Penguin Group. ISBN 978-0-393-02030-4.
- Overy, Richard (2006) [1995]. Why The Allies Won. London: Random House. ISBN 978-1-84595-065-1.
- Overy, Richard (2014). The Bombers and the Bombed: Allied Air War Over Europe 1940–1945. New York: Viking. ISBN 978-0-698-15138-3.
- Panayi, Panikos (2005). "Exploitation, Criminality, Resistance: The Everyday Life of Foreign Workers and Prisoners of War in the German Town of Osnabruck, 1939–49". Journal of Contemporary History. 40 (3): 483–502. doi:10.1177/0022009405054568. JSTOR 30036339.
- Pauley, Bruce F. (2003) [1997]. Hitler, Stalin, and Mussolini: Totalitarianism in the Twentieth Century. European History Series. Wheeling, IL: Harlan Davidson. ISBN 978-0-88295-993-1.
- Pilisuk, Marc; Rountree, Jennifer Achord (2008). Who Benefits from Global Violence and War: Uncovering a Destructive System. Westport, CT: Praeger Security International. ISBN 978-0-275-99435-8.
- Pine, Lisa (2011) [2010]. Education in Nazi Germany. Oxford; New York: Berg. ISBN 978-1-84520-265-1.
- Proctor, Robert N. (1999). The Nazi War on Cancer. Princeton, NJ: Princeton University Press. ISBN 978-0-691-07051-3.
- "Refugees: Save Us! Save Us!". Time. 9 July 1979. Diarsipkan dari versi asli tanggal 24 April 2011. Diakses tanggal 28 April 2013.
- Raeder, Erich (2001) [1956]. Grand Admiral: The Personal Memoir of the Commander in Chief of the German Navy From 1935 Until His Final Break With Hitler in 1943. New York: Da Capo Press. ISBN 978-0-306-80962-0.
- Rees, Laurence (2005). Auschwitz: A New History. New York: Public Affairs, member of Perseus Books Group. ISBN 978-1-58648-303-6.
- Rhodes, Richard (2002). Masters of Death: The SS-Einsatzgruppen and the Invention of the Holocaust. New York: Vintage Books. ISBN 978-0-375-70822-0.
- Rummel, Rudolph (1994). Death by Government. New Brunswick, NJ: Transaction. ISBN 978-1-56000-145-4.
- Rupp, Leila J. (1978). Mobilizing Women for War: German and American Propaganda, 1939–1945. Princeton, N.J.: Princeton University Press. ISBN 978-0-691-04649-5. OCLC 3379930.
- Scobie, Alexander (1990). Hitler's State Architecture: The Impact of Classical Antiquity. University Park: Pennsylvania State University Press. ISBN 978-0-271-00691-8.
- Sereny, Gitta (1996) [1995]. Albert Speer: His Battle With Truth. New York; Toronto: Random House. ISBN 978-0-679-76812-8.
- Sereny, Gitta (November 1999). "Stolen Children". Talk. Diakses tanggal 1 July 2012.
- Shirer, William L. (1960). The Rise and Fall of the Third Reich. New York: Simon & Schuster. ISBN 978-0-671-62420-0.
- Smith, J. W. (1994). The World's Wasted Wealth 2: Save Our Wealth, Save Our Environment. Cambria, CA: Institute for Economic Democracy. ISBN 978-0-9624423-2-2.
- Smith, Joseph; Davis, Simon (2005). The A to Z of the Cold War. Lanham, MD: Scarecrow Press. ISBN 978-0-8108-5384-3.
- Snyder, Timothy (2010). Bloodlands: Europe between Hitler and Stalin. New York: Basic Books. ISBN 978-0-465-00239-9.
- "Sonderbehandlung erfolgt durch Strang". Documents for National Socialism (dalam bahasa German). NS-Archiv. 1942.
- Sontheimer, Michael (10 March 2005). "Germany's Nazi Past: Why Germans Can Never Escape Hitler's Shadow". Spiegel Online. Diakses tanggal 11 May 2013.
- Speer, Albert (1971) [1969]. Inside the Third Reich. New York: Avon. ISBN 978-0-380-00071-5.
- Spotts, Frederic (2002). Hitler and the Power of Aesthetics. New York: Overlook Press. ISBN 978-1-58567-345-2.
- Staff (16 December 2015). "What the Führer means for Germans today". The Economist (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 24 September 2018.
- "Statistisches Jahrbuch für die Bundesrepublik Deutschland" (PDF) (dalam bahasa German). Statistisches Bundesamt. 2006. hlm. 34. Diarsipkan dari versi asli (PDF) tanggal 26 September 2007. Diakses tanggal 17 March 2012.
- Stein, George (2002) [1966]. The Waffen-SS: Hitler's Elite Guard at War 1939–1945. Cerberus Publishing. ISBN 978-1-84145-100-8.
- Steiner, Zara (2011). The Triumph of the Dark: European International History 1933–1939. Oxford; New York: Oxford University Press. ISBN 978-0-19-921200-2.
- Stephenson, Jill (2001). Women in Nazi Germany. London: Longman. ISBN 978-0-582-41836-3.
- Stolfi, Russel (March 1982). "Barbarossa Revisited: A Critical Reappraisal of the Opening Stages of the Russo-German Campaign (June–December 1941)". Journal of Modern History. 54 (1): 27–46. doi:10.1086/244076. hdl:10945/44218.
- "Strafgesetzbuch, StGB". IUSCOMP Comparative Law Society. 13 November 1998.
- Tomasevich, Jozo (1975). War and Revolution in Yugoslavia, 1941–1945: The Chetniks. Stanford, CA: Stanford University Press. ISBN 978-0-8047-0857-9.
- Tooze, Adam (2006). The Wages of Destruction: The Making and Breaking of the Nazi Economy. New York; Toronto: Viking. ISBN 978-0-670-03826-8.
- Tümmler, Holger (2010). Hitlers Deutschland: Die Mächtigen des Dritten Reiches (dalam bahasa German). Wolfenbüttel: Melchior Verlag. ISBN 978-3-941555-88-4.
- Uekötter, Frank (2006). The Green and the Brown: A History of Conservation in Nazi Germany. Cambridge; New York: Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-84819-0.
- Uekötter, Frank (2005). "Polycentrism in Full Swing: Air Pollution Control in Nazi Germany". Dalam Brüggemeier, Franz-Josef; Cioc, Mark; Zeller, Thomas. How Green Were the Nazis?: Nature, Environment, and Nation in the Third Reich. Athens: Ohio University Press.
- Umbreit, Hans (2003). "Hitler's Europe: The German Sphere of Power". Dalam Kroener, Bernhard; Müller, Rolf-Dieter; Umbreit, Hans. Germany and the Second World War, Vol. 5. Organization and Mobilization in the German Sphere of Power. Part 2: Wartime Administration, Economy, and Manpower Resources, 1942–1944/5. Oxford; New York: Oxford University Press. ISBN 978-0-19-820873-0.
- USHMM. "Children during the Holocaust". United States Holocaust Memorial Museum—Holocaust Encyclopedia. Diakses tanggal 24 April 2013.
- USHMM. "Genocide of European Roma (Gypsies), 1939–1945". United States Holocaust Memorial Museum—Holocaust Encyclopedia. Diakses tanggal 16 September 2018.
- USHMM. "The German Churches and the Nazi State". United States Holocaust Memorial Museum—Holocaust Encyclopedia. Diakses tanggal 25 September 2016.
- USHMM. "Women in the Third Reich". United States Holocaust Memorial Museum—Holocaust Encyclopedia. Diakses tanggal 19 August 2017.
- Walk, Joseph (1996). Das Sonderrecht für die Juden im NS-Staat: Eine Sammlung der gesetzlichen Maßnahmen und Rechtlinien, Inhalt und Bedeutung (dalam bahasa German) (edisi ke-2nd). Heidelberg: Müller Verlag.
- Weale, Adrian (2012) [2010]. Army of Evil: A History of the SS. New York; Toronto: NAL Caliber (Penguin Group). ISBN 978-0-451-23791-0.
- Wegner, Bernd (1990). The Waffen-SS: Organization, Ideology and Function. Hoboken, NJ: Blackwell. ISBN 978-0-631-14073-3.
- Weinberg, Gerhard L. (2010) [1970]. Hitler's Foreign Policy 1933–1939: The Road to World War II. New York: Enigma Books. ISBN 978-1-929631-91-9.
- Weinberg, Gerhard L. (2005) [1994]. A World at Arms: A Global History of World War II. Cambridge; Oxford: Cambridge University Press. ISBN 978-0-521-85316-3.
- Welch, David (2001). Hitler: Profile of a Dictator. London: Routledge. ISBN 978-0-415-25075-7.
- Wiederschein, Harald (21 July 2015). "Mythos Waffen-SS". Focus (dalam bahasa German). Diakses tanggal 3 October 2018.
- Wrobel, Peter (1999). "The Devil's Playground: Poland in World War II". The Canadian Foundation for Polish Studies of the Polish Institute of Arts & Sciences Price-Patterson Ltd.
Pranala luar
Cari tahu mengenai Germany pada proyek-proyek Wikimedia lainnya: | |
Definisi dan terjemahan dari Wiktionary | |
Gambar dan media dari Commons | |
Berita dari Wikinews | |
Kutipan dari Wikiquote | |
Teks sumber dari Wikisource | |
Buku dari Wikibuku |
- Peta Jerman di Wikimedia Atlas (Inggris)
- "Introduction to the Holocaust". United States Holocaust Memorial Museum. (Inggris)
- German Propaganda Archive di situs Calvin College (Inggris)
52°31′N 13°24′E / 52.517°N 13.400°E